Jika pernikahan hanya membuat kita untuk berpisah, lalu untuk apa kita menikah? Adakah kesedihan yang lebih mendalam selain kesedihan seorang istri yang ditinggal mati suaminya?
Namaku Felitia. Aku menulis kisah ini sebagai pengingat bagi kita bahwa nasib terkadang sulit untuk diramal. Kehendak Tuhan selalu jadi tuan bagi hidup kita – juga bagi pernikahan yang kita lakonkan.
Malam telah larut. Aku masih duduk mengakrabi Samsung Galaxy J1-ku. Sengaja tadi ku beli kuota paket data 1 Gb dengan harapan aku bisa online semalaman sambil membaca pesan masuk atau sekedar menyukai status sahabat dunia maya yang kebanyakan alay.
Sesekali aku melirik kronologi facebook-ku berharap ada sesuatu yang berharga dari sana. Memutar bahasa Buku Suci: mungkinkah sesuatu yang baik dari kronologi? Entahlah, tapi aku menunggu sesuatu dari sana.
Sementara itu, si kecil juga sudah pulas terbuai mimpi malam. Ia yang kini berusia empat tahun lebih, mulai bisa diajak kompromi terutama ketika pasokan susu kaleng habis lalu diganti dengan air tajin atau air rebusan beras. Ia tahu bahwa ibunya tak mampu untuk selalu menyuplai susu untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Akh, anak pintar.
Sejak dilahirkan, ia belum sekalipun melihat sosok ayahnya. Hanya dari foto-foto pernikahan kami, ia jadi tahu rupa ayahnya dan ia jadi tahu bahwa kata orang wajahnya menyerupai wajah ayahnya kecuali rambutnya yang meniru persis rambutku, hitam bergelombang.
Hujan yang tercurah di luar menambah galaunya diriku di penghujung September ini. Aku memandangi jam analog laptopku, pukul 23.42 Wita. Aku kemudian mendesah pelan. Ada perasaan tak terkata ketika seujung kuku lagi hari ini berakhir, belum juga dia mengucap selamat atas ulang tahun pernikahan kami.
Happy Weeding Aniversary, deretan kata-kata ini biasanya tak pernah absen di kronologi facebook-ku setiap tahun tepatnya pada bulan ini, 21 September. Mungkin aku harus menunggu. Masih ada delapan belas menit lagi malam mau menutup hari. Mungkinkah dia sibuk atau sudah lupa? Ah, tidak mungkin. Dia tidak mungkin lupa. Aku melihat kronologi facebook-ku. Lima tahun berturut-turut di bulan ini, di tanggal ini, dia tidak pernah lupa mengirim status di kronologiku. Kata-kata juga bahasanya akrab di benakku.
10 September 2010. Saya masih ingat jelas waktu itu. Dalam balutan busana khas pengantin kami berdua menukar sumpah di depan Altar sakral. Secara bergantian kami menjawab: Ya, saya bersedia untuk sebuah pertanyaan dogmatis yang telah terwaris. Semenjak itu, kami berdua jadi sah dalam hukum dan agama.
Kami bukan lagi dua melainkan satu. Setidaknya, kami telah menggenapi firman yang tertulis dalam Buku Suci: “Karena seorang istri akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk kemudian bersatu dengan suaminya atau juga seorang suami akan pergi meninggalkan ayah dan ibunya untuk tinggal bersama dengan istrinya”.
Hari-hari setelah pernikahan kami berlangsung dengan penuh kebahagiaan. Meski tak ada bulan madu, kami melewatinya dengan penuh romantis. Kecupan hangat di kening, tempat bercinta yang gonta-ganti di dapur, kasur, kamar mandi, menjadi penanda bulan-bulan awal pernikahan kami.
Bahkan cupang bekas gigitannya masih membekas di bagian tertentu tubuhku. Secara bergantian pula kami mengurus tetek bengek rumah tangga. Mencuci pakaian, menyeterika, menyapu rumah, dan lain sebagainya. Aku tahu bahwa jika aku membiarkannya bekerja sendiri, aku akan dikatai sebagai perempuan tak tahu diri.
Akh, aku tak mau suamiku jadi seperti Akum dalam sinetron dunia terbalik.
07 Mei 2011. Tanggal ini masih kucatat dalam diari klasik hadiah seorang sahabat waktu pernikahan kami. Setelah makan malam, sebagaimana biasa kami berdua bercengkrama tentang perilaku anak kami yang suka menendang dinding perutku, tentang persiapan kelahirannya, tentang masa depannya, tentang apa saja.
“Ma, ……………”, agak ragu ia memanggilku.
“Kenapa, Pa?”, jawabku sepontan.
“Saya mau ke Malaysia, Ma. Seorang teman kuliah saya dulu menelpon saya dan meminta saya ke Malaysia. Di sana ada lowongan guru untuk anak-anak TKI”, katanya kepadaku.
Mendengar kata merantau itu, aku serasa ditampar berpuluh kali.
“Apa? Papa mau ke Malaysia? Apa tidak cukup dengan gaji dari sekolah sampai Papa merantau ke Malaysia?”, jawabku agak marah.
“Ma, coba Mama bayangkan. Dengan gaji 400 ribu per bulan, kita mau makan apa? Apalagi semenjak sekolah di alihkan ke Propinsi, kami sudah tidak mendapat Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA). Mungkin lebih baik di sana Ma, lebih baik kita mencerdaskan anak di Negeri tetangga daripada anak Indonesia. Di sini guru tidak dihitung, baik profesi maupun penghasilannya”, Ia menimpal lagi.
“Saya memikirkan masa depan Ma, masa depan kita nanti. Masa depan dari buah hati kita. Meski masih dalam perut, aku tak mau ia terlahir langsung melihat orang tuanya tidak punya persiapan menyambut kedatangannya. Apa kata Tuhan, nantinya? Ia telah berbaik hati menitipkan anak ini pada kita.”, katanya lebih lanjut.
Aku ingat malam itu, malam ketika semuanya tak punya titik temu dan kata sepakat. Awalnya berat memang tetapi lambat laun aku mulai pasrah pada keinginannya.
Ahh, air mata tumpah membasahi bantal tidurku, malam ini.
Tiga tahun sudah kami berpisah. Uang bulanan kirimannya masih bisa mencukupi kebutuhan mendasar, aku dan anakku. Dan malam ini, entah kenapa ia begitu terlambat mengirim statusnya atau juga sekedar text ke handphone-ku. Akupun sudah lelah untk menunggu momen terpenting di kronologi facebook-ku. Aku mulai dipeluk kantuk. Tiba-tiba, HP-ku berdering. Sebuah nomor baru memanggil pada jam selarut ini. Perlahan ku angkat.
“Hallo, selamat malam. Dengan siapa?, kataku dengan suara yang mulai melemah.
“Maaf, ini dengan istrinya, Pa Ricky?”, suara pria di seberang sana menyahutku.
“Ia, ini dengan istrinya”, kata saya mulai penasaran. “Kenapa?”, lanjutku.
“Ibu, maaf. Suami anda kecelakaan, korban tabrak lari. Saya menemukannya tergeletak di jalan kemudian saya hantar ke Rumah Sakit. Nomor ibu saya ambil dari HP-nya. Maaf, ibu, saya hanya menyampaikan: Nyawanya tidak tertolong. Dia sudah………..hhhhh…. me – ning – gal.”, suara itu begitu pelan dan perlahan mengeja kalimat terakhirnya.
Semenjak kejadian itu, aku belajar satu hal: Pernikahan bukan satu-satunya jalan menuju bahagia. Pernikahan juga bisa menjadi jalan bagi terbukanya pintu duka – juga tanggung jawab. Takdir kehidupan – juga pernikahan – selalu mengikuti. “Wada” barangkali itu kata yang tepat untuk perjalanan hidupku.
Catatan:
Wada* dari bahasa Manggarai yang artinya nasib, takdir.
Penulis
De Durung
Tinggal di Waerana – Manggarai Timur