Borong, Vox NTT- Adalah langkah bijak kalau setiap calon legislatif asal daerah pemilihan Manggarai Raya mengawali perjuangannya dengan “wuat wa’i”.
Alasannya karena “wuat wa’i” adalah ritual adat khas Manggarai Raya.
Maknanya berupa pembekalan secara moral yang melibatkan para leluhur, demi kemulusan hingga keberhasilan usaha atau perjuangan seseorang atau beberapa orang dari lingkungan keluarga.
Hal itu disampaikan oleh Frans Sarong, penulis buku: Serpihan Budaya NTT (2013), menanggapi maraknya acara “wuat wa’i” yang digelar para caleg di Manggarai Raya, belakangan ini.
Salah satu di antaranya ritual “wuat wa’i” bagi Hendrikus Harum yang rencananya akan dilaksanakan di Kampung Wangkung, Desa Sita, Kecamatan Ranamese, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, malam hari ini, Sabtu (6/10/2018).
Hendrikus Harum adalah caleg Golkar DPRD Manggarai Timur nomor urut 5 daerah pemilihan atau dapil 1 yang meliputi Kecamatan Borong dan Ranamese.
Kata Hendrikus Harum, “wuat wa’i” bagi dirinya akan dihadiri sekitar 200 orang sanak keluarga.
Mereka berasal dari kampung setempat, Wangkung, juga dari kampung tetangga, seperti Gurung dan Waetegel.
Menurut Frans Sarong – mantan wartawan Kompas, yang kini juga caleg provinsi nomor urut 4 dari Golkar dapil Manggarai Raya – acara “wuat wa’i” bagi orang Manggarai Raya juga bagian dari peneguhan sekaligus perekatan diri dengan akar budayanya.
Kata Fran Sarong, kalau di Manggarai Raya, mereka yang telah mengawali perjuangannya dengan “wuat wa’i”, biasanya terasa mendapat keteduhan hingga menguatkan keyakinan akan meraih hasil positif.
Karena itu, Frans Sarong menganjurkan agar “wuat wa’i” selalu dijaga kelestariannya. Karena ritual adat itu mengusung pesan luhur berupa peneguhan sekaligus merupakan jati diri orang Manggarai Raya.
Penulis: Ardy Abba