Kefamenanu, Vox NTT-Meski kaki kirinya cacat akibat kecelakaan bus pada tahun 1986 lalu, wanita yang kini memasuki usia uzur ini mampu menyekolahkan 2 putrinya hingga meraih gelar sarjana di bidang kesehatan dari berjualan kain tenun ikat.
Dia adalah Elisabeth Suni (62), warga RT 004/RW 002 desa Letmafo, kecamatan Insana Tengah, kabupaten TTU.
Saat VoxNtt.com dan 2 wartawan media lainnya berkunjung ke kediamannya, Sabtu (13/10/2018), wanita yang akrab disapa mama Beth itu sedang asyik menenun di sudut kanan belakang rumahnya.
Melihat kedatangan awak media, dengan langkah tertatih dibantu tongkat penyangga Mama Beth langsung bergegas ke arah kami. Senyumnya ramah, sapaanya hangat.
Usai disuguhkan sirih pinang, kami langsung diajak berbincang di tempatnya biasa menenun.
Sambil tangannya terus menenun, Ia berkisah kalau mulai belajar menenun sejak tamat sekolah dasar pada tahun 1969.
Keterampilan menenun diperolehnya dari orang tuanya kala itu.
“Kalau dulu itu saya belajar tenun dari orang tua, sekarang ini baru ada dari dinas yang sering datang kasih pelatihan di sini,” ujar ketua kelompok pengrajin tenun Sonaf Liurai Maubes itu.
Sambil tangannya terus menari-nari di atas benang, Mama Beth mengaku lebih banyak menenun kain jenis buna dan sotis lantaran banyak diminati pembeli.
Untuk kain jenis Buna,jika lengkap dengan selendang biasa dijual hingga Rp 7 juta sedangkan kalau hanya selendangnya saja dijual dengan harga Rp 150 ribu.
Untuk jenis sotis, jika lengkap dengan bete (kain untuk laki-laki) dan tais (kain untuk perempuan) serta selendang maka harganya Rp 500 ribu namun jika hanya selendang saja cuma Rp 25 ribu per selendang.
“Kain Buna mahal karena cara kerja agak sulit dan 1 kain itu bisa kerja sampai 2 tahun tapi kalau selendang biasanya kerja 2 minggu,kalau kain sotis paling 1 kain bisa 1 Minggu selesai kita kerja,” tuturnya.
“Harga tergantung jenis kain dan tingkat kesulitan kerja tapi kadang kalau anak sekolah sudah butuh kami biasa jual dengan harga murah saja asalkan kebutuhan anak sekolah terpenuhi dulu”ujarnya.
Lebih jauh ia menuturkan, kain tenun yang dihasilkannya itu biasanya dijual di beberapa daerah seperti Kefamenanu, Atambua dan kota Kupang.
Jika kain yang mau dijual itu sudah dipesan terlebih dahulu, dia sendiri yang pergi mengantar ke pelanggan. Namun jika harus berjualan dari toko ke toko atau ke perkantoran maka dirinya dibantu oleh salah seorang kerabatnya.
“Kalau toko yang di Kupang sudah pesan memang ,biasanya mama jalan sendiri dengan bis langsung pulang memang tapi kalau mau jual di Atambua atau kantor-kantor di kefa berarti ada adik yang antar” tutur mama Beth.
Lebih Dari Sekedar Nilai Ekonomi
Kain tenun bagi Mama Beth dan wanita Dawan lainnya tidak sekedar dibuat untuk kepentingan ekonomi.
Lebih dari itu, kain tenun yang dihasilkan itu juga digunakan untuk urusan adat seperti perkawinan,kematian maupun kegiatan budaya lainnya.
Ia berkomitmen untuk terus mengajarkan keterampilan menenun kepada anak cucunya sehingga nantinya adat kebudayaan bisa terus dipelihara.
“Orang meninggal kita harus pakai kain adat atau untuk anak nikah,jadi supaya anak dong tetap tahu tenun pasti saya akan kumpul anak semua untuk ajar mereka tenun”tuturnya.
Motif Timor
Setiap motif tenun adat TTU dan daerah Timor umumnya punya kekhasan tersendiri.
Motif-motif itu merupakan cerminan kebiasaan, gagasan, nilai dan memiliki ikatan emosional yang cukup erat dengan masyarakat di tiap suku.
Kain Timor umumnya memiliki tiga motif dari sisi cara pembuatannya yakni bermotif ikat, buna dan sotis. Kesamaanya terletak pada warna latar yang gelap.
Warna-warna ini dihasilkan dari bahan-bahan alami seperti akar pohon Ka’bo (warna merah), daun Ru Dao (Warna Nila), dan daun Mengkude (Warna Kuning).
Dilansir Oesoko.desa.id, pola dan motifnya dibentuk dengan cara mengikat benang sebelum ditenun dan mencelupkannya pada zat pewarna. Uniknya, benang yang diikat adalah benang lungsi.
Berdasrkan fungsinya, kain tenun Timor dapat berupa selendang, sarung dan selimut.
Kain tenun Timor dapat digunakan untuk pakaian sehari-hari dan juga untuk busana tari adat, pakaian untuk upacara adat, sebagai mahar atau hadiah, dan lain sebagainya.
Kini kain tenun Timor juga dapat dijadikan busana dengan desain modern yang bernuansa tradisional.
Penulis:Eman Tabean
Editor: Irvan K