Editorial, Vox NTT-Bagi penggemar film horror atau fantasi, istilah zombie bisa jadi tidak asing terdengar.
Zombie sering digambarkan sebagai mayat hidup yang tidak punya pikiran dan bernafsu memangsa bagian otak manusia.
Di balik film-film tersebut setidaknya ada suatu sejarah yang menceritakan asal-usul manusia zombie.
Laman British Broadcasting Corporation (BBC) Online, 09 September 2015, pernah merilis berita berjudul “Where do Zombies Come From?”
Dikisahkan, William Seabrook, seorang penulis travel, wartawan dan peneliti hal-hal ‘gaib’ berkunjung ke Haiti pada 1927. Di sana dia menulis The Magic Island yang bercerita tentang perjalanannya.
Dalam tulisan itu, Seabrook mengaku ikut dalam ritual lokal bersama dukun Voodoo.
Dalam sebuah bab yang berjudul “Orang Mati yang Bekerja di Kebun Tebu”, orang lokal mengajaknya ke sebuah perkebunan tebu untuk bertemu para Zombie.
Seabrook panik sesaat. Dia menyadari takhayul Zombie ternyata benar adanya.
Tetapi, penjelasan rasional muncul di kepala Seabrook: mereka pada kenyataannya adalah “orang miskin bodoh yang terpaksa bekerja keras di ladang”.
Bab ini yang kemudian menjadi dasar film White Zombie dan Seabrook sering mengklaim bahwa dialah yang memperkenalkan kata zombie ke budaya Amerika.
Di balik kisah perjalanan Seabrook, ternyata asal-asal usul lain menyingkap sejumlah fakta. Konteks dan lokusnya masih berkisah tentang praktek gaib dukun-dukun Voodoo di Haiti.
Zombie dikisahkan sebagai orang yang hampir mati dan dihidupkan kembali oleh dukung Voodoo. Zombie-Zombie ini dijadikan budak di perkebunan tebu.
Dilansir Wikipedia, seorang profesor antropologi Amerika, DR. Wade Davids yang karyanya fokus pada budaya pribumi di seluruh dunia, meluncurkan buku The Serpent and the Rainbow, tentang zombie di Haiti pada tahun 1985.
Wade dalam karyanya mengaku bertemu dengan dukun Voodoo yang mempraktekan cara pembuatan Zombie. Intinya, buatlah mereka ‘seolah mati’ dan gila sehingga pikirannya dapat ditundukan.
Caranya, para calon Zombie diberi kulit katak bufo dan ikan puffer (Kulit katak jenis bufo dan ikan puffer ini mengandung zat beracun mematikan). Campuran ini ditambahkan dalam makanan atau dioleskan pada kulit calon korban.
Setelah itu korban terlihat seperti mati dengan detak jantung yang berlahan dan lemah. Keluarga menganggap korban sudah mati lalu dikuburkan.
Setelah itu dukun Voodoo menggali kembali kuburan itu dan memberikan korban semacam pasta yang terbuat rumput jimsons yang berfungsi memutuskan ingatan. Begitulah asal usul Zombie yang kemudian diperbudak di kebun-kebun tebu kaum kapitalis.
Catatan ini tentu tidak sedang mencari fakta tentang asal-usul Zombie secara empirik-komperhensif.
Terlepas dari benar atau tidaknya cerita di atas, namun realitas demokrasi digital saat ini setidaknya menggambarkan fenomena zombifikasi demokrasi.
Pemebentukan zombie-zombie politik di alam demokrasi digital ini tampak dalam strategi merebut persepsi publik lewat kampanye bermetode neuro-politik, dimana rakyat pemilih dijadikan semacam budak informasi.
Tak peduli informasi yang disebarkan itu benar atau tidak yang penting dapat menguasai persepsi pemilih untuk mendukung kandidat tertentu.
Neuro-politik merupakan ilmu terapan yang digunakan untuk memahami perilaku, keputusan, atau sikap politik masyarakat tertentu.
Dengan pendekatan neuro-politik, pakar neurologi, konsultan politik dan tim sukses dapat membaca sekaligus menyetel informasi, isu dan iklan politik yang sesuai dengan kepribadian pemilih. Data-data kepribadian pemilih salah satunya dapat dilacak lewat profil akun media sosial.
Strategi ini pernah dimainkan Cambridge Analytica (CA), sebuah perusahaan analitik data yang berbasis di Inggris untuk memenangkan Trump di Amerika.
Cambridge Analytica membantu kampanye politik menjangkau pemilih potensial secara online. Perusahaan ini menggabungkan data dari berbagai sumber, termasuk informasi online dan polling, untuk membangun “profil” pemilih.
Kemudian CA menggunakan program komputer untuk memprediksi perilaku pemilih, yang dapat dipengaruhi melalui iklan khusus yang ditujukan untuk pemilih.
Pemilih dapat ‘distel’ menggunakan kecerdasan buatan dengan bantuan big data untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Kampanye Trump menyewa Cambridge Analytica untuk menjalankan operasi data selama pemilihan 2016. Perusahaan CA membantu kampanye mengidentifikasi pemilih untuk menargetkan dengan iklan, dan memberikan saran tentang cara terbaik untuk memfokuskan pendekatannya.
Dengan metode ini, pilihan rakyat atau yang bisa disebut suara rakyat menjadi tidak otentik lagi.
Kedaulatan rakyat menjadi hilang ketika dalam memori otaknya dirasuki isu-isu murahan racikan para konsultan politik. Pilihan politik bukan lagi mencerminkan kebutuhan dasar rakyat, seperti persoalan pangan, sandang dan papan. Tetapi lebih kepada reaksi emosional dan sentimental terhadap isu-isu yang terus dipompa elit politik ke ruang publik.
Emosi manusia seperti ketakutan dan kebencian dieksploitasi secara masif demi menggiring pemilih. Akibatnya, politik kebencian dan ketakutan terhadap perbedaan suku, ras, agama dan antargolongan bak racun yang menyebar kemana-mana, menyambar ke kepala siapa saja. Tak peduli apakah Anda pastor, pendeta, guru, akedemisi, aktivis, ibu rumah tangga, tukang ojek, pekerja LSM, bahkan seorang profesor.
Narasi-narasi itu sangat tampak dalam pertarungan isu ‘Kami Pancasila vs Kalian Anti-Pancasila, Kami Toleran vs Kalian Intoleran, Kami Asli Islam Nusantara vs Kalian Islam Imitasi, Kami Paling Indonesia vs Kalian Antek Barat, dll.’
Bisa jadi, kontestasi politik yang sudah melekat dengan ekspresi racun emosional ini akan jatuh pada strategi big data seperti di Amerika.
Hal ini kemudian memunculkan kebencian terhadap orang asing, keragaman, perbedaan pendapat, atau bahkan kemiskinan.
Demokrasi kita pun semakin candu pada narasi emosional dan menghindar dari diskusi yang bersifat rasional.
Begitu pula pandangan politik, pilihan, bahkan perilaku politik, bukan lagi representasi angan-angan untuk hidup lebih baik sesuai kebutuhannya, tetapi berdasarkan pada angan-angan bahkan ilusi persepsi yang dikendalikan pihak ketiga. Kesadaran menjadi palsu, kata Karl Marx.
Di Indonesia termasuk NTT, kehadiran para buzzer politik yang bertugas untuk memproduksi sekaligus menyebarkan isu politik semakin nyata terasa. Rakyat terkotak-kotak berdasarkan ilusi dan angan-angan sendiri dan kelompoknya.
Ada yang berangan-angan menjadi pribadi toleran lalu melabel orang lain bahkan saudaranya sebagai intoleran.
Ada yang melihat dirinya paling Pancasilais karena mendukung kandidat tertentu dan melihat kelompok yang berbeda dukungan dengannya sebagai anti-Pancasila. Padahal kalau ditanya lebih jauh tentang hakikat Pancasila, penjelasannya gagap dan terbata-bata. Kadang juga malah berlawanan dengan nilai Pancasila.
Ada yang berangan-angan kelompoknya paling demokratis dan menuduh kelompok lain yang berbeda pandangan anti-demokrasi, meski tindakan dan gerakan politiknya berwatak premanisme.
Anehnya mereka tetap menyebut dirinya demokratis dan toleran meski turut menyebarkan ajakan persekusi terhadap orang yang berbedap pandangan dan pilihan.
Itulah fenomena zombifikasi demokrasi yang akhir-akhir menyebar di ruang publik terutama media sosial.
Di NTT lebih parah lagi, semakin banyak orang yang terjangkit virus Zombie. Mereka tidak lagi berpikir tentang kemiskinan, kemelaratan, rendahnya pendidikan, berbagai macam sakit penyakit dan korupsi terus yang menggurita.
Ketika terjangkit virus akal budi dan perasaan itu, nyata terlihat di media sosial orang makin sakau menyebarkan ujaran kebencian, permusuhan dan ketakutan terhadap kelompok yang berbeda pilihan.
Begitulah cara virus bekerja. Penyebarannya begitu cepat ketika didukung perangkat teknologi digital seperti Facebook, WhatsApp, Twitter, Line, Instagram, dll. Semua orang bebas berpendapat meski bertumpu pada ilusi yang telah diracuni kebencian.
Seperti Zombie di perkebunan tebu, kita menjadi tidak sadar kalau otak dan perasaan kita telah diperbudak oleh kelompok yang punya ambisi pragmatis dalam politik.
Satu pertanyaan reflektif yang patut dicamkan dalam sanubari kita, apakah Anda masih menjadi manusia otentik atau telah menjadi zombie-zombie di perkebunan demokrasi?
Penulis: Irvan K