Matim, Vox NTT– Sebagian orang, mungkin hanya mengenal unan–unan, ritual lima tahunan milik Suku Tengger di lereng Gunung Bromo, Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.
Ritual unan-unan dipercaya suku tersebut dapat membersihkan desa supaya selamat dari malapetaka.
Tak hanya Suku Tengger, ritual lima tahunan pun dapat kita jumpai di Desa Selali, Kecamatan Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu. Di desa ini ada ritual “Nundang Padi” atau ritual adat memuliakan benih padi milik petani.
Ritual ini dilakukan saat memasuki musim tanam. Berbagai atraksi kesenian tradisional dan makanan local disuguhkan dalam ritual itu.
Di Manggarai Timur (Matim), Flores NTT juga terdapat ritual adat yang juga digelar sekali dalam lima tahun. Masyarakat setempat menyebutnya, Kebhu.
Ritual ini tidak dilakukan oleh semua suku di Matim, hanya di suku Lowa, Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba. Masyarakat etnik Rongga menyebutnya Limbu. Limbu itu pun bernama Tiwu Lea.
Khebu tidak sama dengan unan-unan dan nundang padi. Khebu adalah prosesi penangkapan ikan di kolam atau muara. Namun, sbelum Khebu (menangkap ikan), terdapat beberapa ritual adat yang dilakukan.
Minggu (29/10/2018) kemarin masyarakat dari suku Rongga kembali menggelar Khebu. Ratusan warga memadati Tiwu Lea, yang terletak di kampung Nangarawa, Desa Bamo, Kabupaten Manggarai Timur.
Mereka terlihat sangat antusias mengikuti rangkaian acara Khebu, mulai dari prosesi adat hingga proses penangkapan ikan dan biota lainnya.
Namun, tak semua yang hadir berasal dari keluarga suku Lowa, dari daerah lain turut hadir meyaksikan dan ikut merayakan prosesi lima tahunan itu.
Menurut Sebastianus Anggal, salah satu peserta Kebhu mengatakan, kebanyakan mereka yang hadir berasal dari kampung tetangga.
“kami yang datang ke sini tak hanya dari suku Lowa, banyak juga yang berasal dari Rende, Mbero, Mbapo, Wae rana, Kobok (kampung tetangga yang berada di Kecamatan Kota Komba),” ungkap Sebastianus saat dihubungi voxntt Minggu (29/10/2018).
Pantangan
Dalam Khebu ini terdapat hal menarik yakni, warga hanya diperbolehkan untuk menangkap ikan menggunakan tangan kosong.
Mereka dilarang untuk menggunakan pukat. Kalaupun membutuhkan alat bantu, hanya diperbolehkan menggunakan ndai sejenis jaring dorong dengan dua tongkat kayu di dua sisi. Ikan yang berhasil mereka tangkap langsung dimasukkan ke dalam mbere, wadah penampung dari anyaman daun lontar, pandan, atau gewang (sebangsa palem).
Selain itu, para peserta kremo (istilah warga setempat untuk menankap ikan) dilarang bertindak emosional. Dan yang paling diharamkan adalah meneriakkan nada-nada provokasi, seperti hia-hia-hia, yang bisa membuat orang berebutan menangkap ikan.
Warga juga dilarang menggigit hasil tangkapannya sebelum dimasukkan ke dalam mbere. Begitu pantangan dilanggar, tetua pemilik kebhu langsung menebarkan jala pusaka bernama ramba ke dalam kolam sebelum waktunya. Konsekuensinya, kalau ramba sudah ditebarkan berarti prosesi Khebu berhenti saat itu juga.
Prosesi Kebhu
Mengutip Kompas, sebulan sebelum hari-H, tetua suku Lowa mengirim utusan ke sejumlah kampung dan desa, mengundang warga kampung lain untuk ikut memanen ikan atau lazim disebut kremo di Tiwu Lea.
Kegiatan kremo diawali dengan serangkaian ritual adat, yang disebut eko ramba, tunu manu, dan nazho. Ritual eko ramba wujudnya berupa penggendongan ramba (jala pusaka) dari ulu nua (hulu kampung) yang berlokasi di Muting menuju eko nua (hilir kampung) di Nangarawa, dekat tepi kolam Tiwu Lea.
Prosesi eko ramba disertai kelong (nyanyian mistis). “Oru lau mbawu oru lau, renggo ika rele lia…,” begitu syair kelong. Mereka memohon kepada leluhur agar menghalau mbawu, ikan belanak yang mendominasi kolam muara, belut, dan berbagai biota lain supaya keluar dari lia (sarang) menuju kolam Tiwu Lea.
Penggendongan ramba hanya dilakukan oleh wanita dewasa yang masih berstatus anggota suku Lowa dan belum menikah.
Boleh juga wanita yang sudah menikah, tetapi dipastikan kawin masuk (menjadi anggota suku). Prosesi eko ramba berlangsung sejauh lebih-kurang 1,5 km, berujung di kaki nangge (pohon asam) di Nangarawa. Kaki pohon asam itu konon pernah mati, tetapi hidup kembali.
Usai eko ramba, prosesi selanjutnya adalah tunu manu, yaitu pemotongan ayam kurban. Sebagian darah ayam dioleskan ke permukaan batu sesajen dan sebagian lain dioleskan pada ramba. Jala pusaka selanjutnya diserahkan kepada tetua yang akan memimpin kremo.
Kegiatan dimulai setelah sang tetua menebarkan ramba ke kolam. Penebaran didahului lima kali ancang-ancang (nazho). Tetua juga menebarkan jawa pena (jagung titi) ke kolam.
Dari kegiatan itu, tetua langsung memberi tanda-tanda yang mengisyaratkan apakah kremo akan mendapatkan hasil tangkapan memuaskan atau mengecewakan.
“Kalau ikan-ikan langsung datang menyerbu, itu pertanda baik. Pertanda kurang memuaskan, kalau tidak banyak ikan yang datang menyambut ramba atau jawa pena,” kata Nikolaus Gelang, tetua etnis Rongga asal Desa Watu Nggene, tetangga Bamo, seperti dilansir Kompas.
Dalam prosesi kemarin menunjukan, hasilnya mengecewakan tak banyak ikan yang didapatkan. Bahkan ada warga yang pulang dengan tangan kosong.
Tertunda
Ritual Kebhu sebelumnya pernah ditunda. Seharusnya dilakukan pada tahun 2012 tetapi diberhentikan sementara karena berbagai alasan. Menurut Sebastianus, penundaan ini pasalnya disebabkan oleh musim hujan yang terus menerus.
Hal ini pun mengakibatkan terbelahnya Tiwu Lea. Sehingga biota laut yang sudah mendiami Tiwu Lea kembali ke laut.
“tahun 2012 itu tidak jadi karena hujan. Sehingga Tiwu Lea terbelah. Ikan-ikan dan biotan lainnya kembali ke laut,” tuturnya.
Namun, penundaan ini justeru membawa malapetaka bagi pemilik Tiwu Lea yakni suku Lowa. Para anggota keluarga mengalami gangguan kesehatan alias sakit.
Setelah dilakukan eko jawa (mencari tau alasan sakit pada paranormal atau dukun) ternyata hal tersebut disebabkan karena suku Lowa tidak melakukan ritual Kebhu.
Tantangan dan Harapan
Keindahan tradisi Kebhu akhir-akhir ini dicemari oleh perilaku manusia serakah dan melanggar ketentuan pemilik Khebu, misalnya tidak boleh melakukan penangkapan ikan dan biota lainya di muara, Tiwu Lea selain Khebu.
Kalau dilanggar, konsekuensinya adalah, saat Khebu dilakukan hasilnya pasti tidak memuaskan bahkan ada warga yang pulang dengan tangan hampa tanpa membawa seekor ikanpun.
Menurut Sebastianus, ini adalah tantangan akan pelestarian budaya, adat Khebu. “Dari laporan warga, banyak anggota masyarakat yang melakukan pencurian ikan dan pemberian obat di Tiwu Lea ini,” tuturnya.
Dia berharap, keunikan ritual Kebhu semestinya menjadi perhatian khusus pemerintah terkait agar dilestarikan dan dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata budaya di Matim.
“Saya berharap ritual ini tetap terpelihara dan harus ada kerjasama dengan pemerintah khususnya pemerintah terkait,” imbuhnya.
Saat ini sudah ditetapkan peraturan desa (Perdes) tentang pelarangan terhadap warga untuk melakukan penangkapan di Tiwu Lea sebelum Khebu digelar.
Penulis: Sandry Hayon
Editor: Boni J