Larantukan, Vox NTT- Nyanyian ‘Lian Tena’, salah satu persembahan utama dalam Festival Riangsunge, Senin (29/10/2018) yang dibawakan komunitas adat desa Lamawohong di Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur mengundang decak kagum para wisatawan yang berkunjung.
‘Lian Tena’ atau nyanyian perahu yang dipentaskan ini sarat nilai religiusitas, pola pikir, dan prinsip-prinsip masyarakat nelayan di Desa Lamawohong, Pulau Solor, Flores Timur.
Seperti apa pandangan hidup, pola pikir, dan prinsip hidup masyarakat nelayan di Desa Lamawohong, Kecamatan Solor Barat, Flores Timur? Selengkapnya dalam ulasan singkat berikut!
Pembuatan Perahu dan Upacara Adat
‘Lian Tena’ atau nyanyian perahu merupakan sebuah nyanyian rakyat yang mengisahkan tentang proses pembuatan perahu dari desa Lamawohong, Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Nyanyian pengisahan ‘lian tena’ ini biasanya dinyanyikan pada saat dilangsungkannya ritual adat ketika warga membuat perahu.
Berikut Videonya:
https://www.youtube.com/watch?v=j6my6yWILj0
Adapun beberapa tahap pembuatan perahu, yakni: Pertama, penentuan atau pemilihan jenis pohon. Tidak semua jenis pohon dapat digunakan untuk membuat perahu. Jenis pohon yang digunakan oleh masyarakat setempat dalam membuat perahu adalah pohon mangga hutan, Pohon Kapuk Hutan, dan ‘Newo’ salah satu jenis pohon berwarna putih yang terdapat di daerah Solor.
Kedua adalah tebang pohon. Tahap ini biasanya didahului dengan ritual adat ‘Bau Lolon’. Upacara ‘bau lolon’ ini bertujuan untuk memohon izin terhadap roh penguasa hutan. Roh penguasa hutan ini oleh masyarakat setempat menyebutnya, ‘Nitun Lolon’. Dalam upacara ‘bau lolon’ inilah, nyanyian pengisahan ‘lian tena’ dinyanyikan.
Upacara ritual adat ‘Bau Lolon’ adalah sesuatu yang mutlak untuk dilaksanakan sebagai simbol permohonan maaf dari warga, karena telah menebang pohon yang merupakan kediaman ‘nitun lolon’, penguasa hutan dan juga memohon keselamatan hidup dari ‘Lera Wulan Tanah Ekan’ sebagai wujud tertinggi.
Masyarakat setempat berkeyakinan, jika penebangan pohon ini tidak didahului dengan ritual adat maka musibah atau malapetaka dapat menimpa warga yang melakukannya, juga masyarakat desa dapat terkena imbas sebagai akibat dari kemarahan ‘nitun lolon’.
Ketiga, pembuatan perahu. Setelah ditebang, batang pohon dipindahkan dari tempat penebangan kira-kira 30 meter dari lokasi penebangan. Lokasi pembuatan perahu ini dipindahkan dengan maksud agar tidak mengganggu kediaman tempat tinggal ‘Nitun Lolon’.
Masyarakat Solor meyakini, setiap pohon-pohon besar di hutan merupakan tempat tinggal ‘Nitun Lolon’ atau roh penguasa hutan.
Dalam pembuatan perahu Warga Desa Lamawohong menggunakan peralatan yang sangat sederhana, yakni ‘Kelewang’ atau parang, ‘Dota’ atau palu, ‘Nake’ atau kapak kecil, dan ‘Soru’ kapak besar.
Keempat, proses penghantaran perahu ke Pantai. Sebelum perahu dihantar ke Pantai untuk digunakan melaut, warga setempat mengadakan seremonial adat ‘wua holo’ atau upacara penghormatan terhadap ‘Hari Botan’ roh penguasa laut.
Masyarakat nelayan Lamawohong meyakini lautan bersemayam ‘Hari Botan’ roh penguasa laut. oleh karenanya ritual adat ‘wua holo’ sebagai bentuk permohonan agar dijauhkan dari malapetaka saat mencari ikan di laut.
Pandangan hidup dan Kearifan Lokal Nelayan Lamawohong
Narasi ‘Lian Tena’ (nyanyian perahu) mengambarkan kehidupan masyarakat Solor, sebagai seorang nelayan yang tidak terlepas dari praktik kepercayaan akan keagamaan tradisional, yang diwarisi oleh para leluhur ‘Lera Wulan Tanah Ekan’, dan kearifan lokal nelayan di Desa Lamawohong dalam berinteraksi dengan alam sekitar, sebagai sumber hidup sehari-hari.
Praktik kepercayaan keagamaan tradisional masyarakat Desa Lamawohong tampak dalam narasi ‘Lian Tena’ pada sapaan pembuka, yakni, Oh Lera Wulan-Tanah Ekan. Sapaan ini menunjukan, wujud tertinggi dalam sistem kepercayaan warga Lamawohong, terbagi dalam oposisi kembar, yakni pihak alam atas dan pihak alam bawah.
Pihak alam atas diwakili oleh ‘Lera-Wulan’ dan pihak alam bawah diwakili oleh ‘Tanah-Ekan’. Sistem kepercayaan ini dianut oleh orang Lamaholot pada umumnya.
Salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat di Pulau Solor dalam menjaga keharmonisan dan keseimbangan hidup manusia terhadap alam dapat dilihat di dalam pandangan mistis masyarakat setempat tentang keberadaan ‘Nitun Lolon’, roh penguasa tanah, gunung, hutan, (alam) dan ‘Hari Botan’ roh penguasa laut.
Musibah atau malapetaka sebagai akibat dari kemarahan atau kemurkaan dari ‘Nitun Lolon’, penguasa alam darat dan ‘Hari Botan’, penguasa laut sebagai akibat penebangan hutan dan penangkapan ikan secara sembarangan, yang merusak hutan kehidupan alam dan biota laut dapat dipandang sebagai sebuah bentuk kearifan lokal masyarakat desa Lamawohong, untuk menjaga keberlangsungan hidup bagi alam sekitar sebagai penyedia sumber kehidupan.
Wujud pandangan mistis ini dapat dilihat dalam keseharian hidup nelayan masyarakat setempat dalam menangkap ikan, yang selalu menggunakan ‘bubu’ alat tangkap ikan dari anyaman bambu dan ‘rompong’. Sebab diyakini, jika warga yang menangkap ikan dengan merusak kehidupan biota laut sebagai tempat bersemayamnya ‘Hari Botan’ maka akan mendapatkan musibah atau malapetaka bagi dirinya dan masyarakat sekitar.
Dalam mencari rejeki di laut, masyarakat nelayan setempat tidak memiliki sistem target. Prinsip yang dipakai hasil melaut adalah wujud syukur pada alam yang telah memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Hal ini dapat dilihat dalam narasi ‘Lian Tena’ yakni: ‘Soro Go Ahik Dike-Nein Go Lean Sare’. Narasi ini bermakna: Berikanlah kepada saya rejeki yang secukupnya.
Sistem kepercayaan, pola pikir dan prinsip-prinsip masyarakat di Desa Lamawohong ini, selain menjaga keselarasan hidup manusia dengan alam (keberlangsungan alam untuk anak cucu) tetapi juga menjauhkan sikap rakus atau ketamakan manusia terhadap alam.
Penulis : Sutomo Hurint
Editor: Boni J