Oleh: Norbertus Jegalus
BACA ulasan sebelumnya di SINI Toleransi dan Perjumpaan Agama-Agama dalam Perspektif Katolik (Part 1)
Toleransi, Menghormati Perbedaan
Ajaran Gereja dari Konsili Vatikan II jelas dan tegas bahwa kita harus menghormati agama lain, terutama konteks kita di Indonesia adalah Islam.
NOSTRA AETATE artikel 2 berkata: “Maka, Gereja mendorong para utranya supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberikan kesaksian tentang iman serta perihidup Kristiani, mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nioai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka”.
Ada dua alasan mengapa kita perlu berusaha menjalin hubungan bersahabat dengan saudara-saudara Muslim. Di satu pihak “cinta Kristus mendorong kita”. Tak mungkin kita menjadi murid Yesus kecuali kita diresapi oleh pancaran hatiNya, cinta kasih. Bahwa kita sering tersinggung dan mungkin juga sampai marah, dapat dimengerti. Kita manusia biasa, manusia penuh dosa, dan karena itu pada setiap permulaan Ekarsti, kita dengan tulus mohon pengampunan atas dosa-dosa kita.
Kekristenan kita harus tampak dalam sikap kasih yang nyata, yang tidak dibuat-buat, yang juga tidak hanya taktis, melainkan tulus. Kasih sayang itu harus terentang juga kepada saudara-saudara kita yang Muslim.
Dari pihak lain kenyataan bahwa kita hidup dalam masyarakat yang sama, sering berdampingan dengan, bahkan seakan-akan tenggelam di antara kaum Muslim dengan sendirinya mendorong kita untuk tidak menutup diri, untuk menjalin hubungan baik dengan mereka, untuk bekerja sama, untuk tidak membesar-besarkan gesekan dan kesulitan dalam hidup bersama, untuk saling menghormati.
Dari kita adalah sikap mau menghormati mereka. Kita juga bisa bicara tentang toleransi positif. Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya. Itu baru namanya toleransi, dimana kita menerima yang lain sebagai yang lain.
Akan tetapi, menghormati di sini tidak berarti asimilasi. Meskipun ada banyak hal yang kita miliki bersama dengan umat Islam, Konsili Vatikan II menyebutkan antara lain penyembahan Allah yang esa, namun keyakinan agama kita memang lain daripada keyakinan Islam.
Bagi kita Yesus Kristus adalah “jalan, kebenaran dan hidup;” (Yoh. 14:6), bukan hanya “salah satu jalan”. Kita yakin bahwa segenap manusia yang diselamatkan, termasuk mereka di luar Gereja, diselamatkan karena dan dalam Yesus Kristus.
Kita yakin seyakin-yakinnya bahwa “tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan (Kis. 4: 12). Padahal bagi umat Islam Yesus hanyalah salah seorang nabi dan nabi penutup adalah Nabi Muhammad dan Al Quran adalah wahyu akhir Allah yang membatalkan semua wahyu sebelumnya.
Kita baru memiliki toleransi pisitif manakala kita mengakui bahwa antara keyakinan kita dan keyakinan mereka terdapat perbedaan-perbedaan yang tidak dapat diatasi. Hal itu membedakan dialog kita dengan Islam dan dialog ekumensi kita dengan Gereja-gereja Kristen.
Tujuan dialog kita dengan saudara Gereja-gereja lain adalah persatuan, karena kita orang Kristen bersatu dalam keyakinan tentang Yesus Sabda Allah dan satu-satunya penyelamat.
Toleransi positif menuntut kita untuk menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama, kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima mereka bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini.
Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan daripada hati kita dan menyerahkan kepada Allah bagaimana ia memandang saudara-saudari yang berlainan agamanya dengan kita. Kita pun menyerahkan diri kepada kebesaranNya.
Penutup
Toleransi tidak menuntut dari kita semua menjadi sama, baru kita bersedia saling menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain, agama lain, dengan baik, mengakui dan mengakui keberadaan mereka dalam keberlainan mereka.
Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan hormat penuh terhadap identitas masing-masing yang tidak sama.
Toleransi berarti bahwa meskipun saya tidak meyakini iman-kepercayaan anda, meskipun iman anda bukan kebenaran bagi saya, namun saya sepenuhnya menerima keberadaan anda, saya gembira bahwa anda ada, saya beresedia belajar dari anda, saya bersedia bekerja sama dengan anda.
Untuk bersikap toleran terhadap agama lain, tidak diandaikan anggaan dangkal bahwa “semua agama sama saja”. Semua agama tentu tidak sama.
Kepercayaan mendalam mereka sangat berbeda, bahasa mereka berbeda, banyak pandangan moal mereka berbeda, sejerah mereka berbeda. Adapun sikap yang tepat adalah mengakui perbedaan, menghormati seratus persen identitas masing-masing agama dan tidak menuntut agar agama merelativisasi diri. Artinya, saya menghormati agama lain dengan segala kebenaran yang dimilikinya tanpa saya merelativisasi iman saya sendiri akan Yesus Kristus sebagai penyelamat tunggal.
Ketika saya menghormati agama lain, saya tetapa berkeyakinan teguh dan penuh pada iman agamaku sendiri. *
Tentang Penulis
Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA
Pekerjaan: Sejak 1991 sampai sekarang, dosen tetap pada Fakultas Filsafat Agama Unika Widya Mandira Kupang (Seminari Tinggi St. Mikhael Kupang: pendidikan calon Imam dioesen Kupang, Atambua dan Weetebula serta calon imam biarawan CMF, OCD dan Hati terkudus Yesus). Di samping itu mengabdi pada Gereja Indonesia sebagai Badan Pengurus Komisi Komunikasi Sosial Koferensi Wali Gereja Indonesia, di Jakarta.
Pendidikan Formal: (1) SMP dan SMA Seminari Kisol. (2) Gelar Sarjana Filsafat pada STFK Ledalero. (3) Gelar MA (Magister Artium) dalam bidang filsafat politik pada Sekolah Tinggi Filsafat Yesuit, Munchen, Jerman. (4) Gelar Dr. phil (Doctor philosophiae) juga dalam bidang filsafat politik, pada Universitas Munchen, Jerman. Studi S2 dan S3 di Jerman dengan beasiswa KAAD, dari Konferensi Uskup Jerman, untuk kaderisasi awam Katolik.
Pengabdian 8 tahun terakhir: (1) Menulis di Koran, Majalah, dan Jurnal Ilmiah; menulis buku, satu buku dalam Bahasa Jerman diterbitkan di Jerman dan dua buku dalam bahasa Indonesia. (2) Konsultan ahli lepas partai politik di tingkat provinsi: PDI Perjuangan, Demokrat, Gerindra, PKB dan NasDem. (3) Memberikan Pendidikan dan Pelatihan Pejabat Eselon III pada Badiklat Provinsi NTT, bidang materi: birokrasi dan politik; wawasan kebangsan, dan intergritas. (4) Memberikan Pendidikan dan Pelatihan DPRD se-Indonesia, di Kemendagri di Jakarta, dalam bidang optimalisasi peran legislasi DPRD, tahun 2012-2013. (5) Narasumber tetap di Kanwil Agama NTT pada setiap pertemuan antarpimpin agama dan antartokoh agama se-NTT. (6) Sejak 2012 memberikan ceramah dan seminar, di tingkat daerah dan nasional, tentang politik, hukum, pendidikan, dan kerukunan agama. (7) Narasumber dalam pelbagai pertemuan gerejani di tingkat paroki, dekenat dan keuskupan di NTT dan di tingkat KWI.