Borong, Vox NTT- Pendidikan memang merupakan senjata yang memiliki kekuatan untuk mengubah dunia.
Sehingga tidak heran setiap manusia masing-masing berusaha dengan seluruh basis kekuatan untuk menggapai senjata perubahan itu.
Setiap orang memiliki cerita sendiri-sendiri dalam mengenyam pendidikan. Ada yang dengan mudah melewati berbagai level pendidikan, termasuk akses transportasi yang mulus, Ada pula yang membuntuhkan perjuangan yang cukup menantang demi menggapai ilmu sebagai muatan dasar pendidikan.
Perjuangan yang cukup menantang inilah yang setiap hari boleh dirasakan anak-anak dari Desa Lidi dan Bea Ngencung, Kecamatan Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), NTT.
Demi memeroleh pendidikan dan pengetahuan, para siswa SD dan SMP dari dua desa tersebut harus melintasi kali besar melalui jembatan darurat.
Melewati titian yang membela sungai Pinarangkat itu, para siswa memang harus ekstra hati-hati. Jika tidak hati-hati, maka maut masih menanti.
Para siswa melangkah dengan penuh kehati-hatian saat berjalan di atas jembatan yang terbuat dari kayu dan bambu tersebut.
Jarak dari rumah ke sekolah agak jauh, sekitar satu kilometer lebih. Setiap hari, mereka tiba di titian penuh maut di sungai Pinarangkat sekitar pukul 06.30 Wita.
Sedihnya, memasuki musim hujan air sungai Pinarangkat menutupi titian itu karena bah. Kondisi ini tentu saja menghambat anak-anak pergi dan pulang sekolah.
“Kalau hujan, airnya meluap sampai tutup jembatan. Kami bisa lewat karena dibantu guru dan orang tua. Kalau tidak ya, tunggu air surut baru kami lewat,” tutur Paulus, salah satu siswa SMP Satap Nangalanang kepada VoxNtt.com di lokasi, Selasa (13/11/2018).
Meski harus melintasi jembatan darurat, semangat anak-anak Nangalanang untuk bersekolah tidak pernah surut.
Paulus mengungkapkan, kondisi itu tidak membuatnya malas ke sekolah. Jalan yang penuh tantangan ini justru membuat anak-anak desa Bea Ngencung dan Lidi semangat ke sekolah.
“Tidak ada kata lain, kami harus berjuang keras untuk masa depan. Jembatan ini nanti jadi sejarah bagi kami,” ucap Paulus.
Fransiskus, salah satu tokoh masyarakat Bea Ngencung mengatakan, kondisi desanya memang luput dari perhatian pemerintah, terlebih khusus infrastruktur jalan dan jembatan.
Kata dia, jembatan darurat di sungai Pinarangkat itu dibuat secara swadaya oleh masyarakat pada tahun 2017 lalu.
Titian darurat itu dibuat untuk memudahkan anak-anak pergi dan pulang sekolah.
“Ini adik bisa lihat sendiri to, kalau tidak ada jembatan ini, anak-anak pasti langsung nyebrang kali. Bahaya sekali. Apalagi airnya besar. Apalagi kalau musim hujan. Bisa ancam nyawa anak-anak dan masyarakat,” ujar Fransiskus.
Kata dia, sungai Pinarangkat tersebut merupakan perbatasan Desa Lidi dan Bea Ngencung.
Baca Juga: Ada Hasrat di Balik Langkah Kaki Sejauh 6 Kilometer Tiap Hari
Ia sangat berharap agar Pemkab Matim agar memperhatikan infrastruktur di desa Lidi dan Bea Ngencung.
“Bagaimana pun juga, kita itu bagian dari Matim dan butuh perhatian pemerintah daerah,” ujarnya.
Penulis: Nansianus Taris
Editor: Ardy Abba