Kefamenanu,Vox NTT- Pemerintah kabupaten TTU dinilai kurang serius untuk mengembangkan garam sebagai salah satu sentra produksi, yang dapat mendatangkan penambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pasalnya, untuk tahun anggaran 2019 Pemkab TTU melalui dinas kelautan dan perikanan, hanya mengajukan usulan anggaran untuk pengembangan garam sebesar Rp 30 juta untuk dibahas dan disetujui oleh DPRD setempat.
“Saya secara pribadi melihat, kalau pengalokasian anggaran seperti ini terkesan tidak maksimal. Dan bahkan, kalau seperti ini kita hanya mau coba-coba. Karena memang kita tidak mungkin kelola garam hanya dengan Rp 30 juta. Kalau di wilayah lain itu, pengalokasian anggaran untuk pengembangan garam itu sampai Rp 5 miliar, itu baru kita bisa maksimal,” ujar anggota DPRD TTU, Arifintus Talan saat diwawancarai VoxNtt.com usai rapat badan anggaran di ruang sidang utama DPRD Rabu (14/11/2018).
Arif mengungkapkan, pada tahun 2017 lalu secara nasional terjadi kelangkaan garam.
Sehingga kata dia, setelah pihak DPRD melakukan studi banding, kemudian pihaknya bersama pemerintah mendorong agar wilayah Pantura menjadi sentra produksi garam yang hasilnya bisa dikirim ke luar daerah.
Untuk kondisi saat ini, tambahnya, produksi garam di wilayah Pantura memang sudah mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Namun, itu berkat hasil dan kerja keras masyarakat sendiri.
Sedangkan, intervensi pemerintah untuk membantu peningkatan hasil produksi garam masih sangat minim.
“Bila perlu daerah itu harus berpikir untuk memploting anggaran untuk diberikan kepada masyarakat, agar mendorong peningkatan hasil produksi garam karena dengan sendirinya apabila hasil produksi garam meningkat, maka tingkat perekonomian masyarakat juga akan semakin meningkat,” ujar legislator asal dapil TTU I itu.
Kepala dinas kelautan dan perikanan kabupaten TTU, Alfons Ukat saat dikonfirmasi media ini menuturkan jika dilihat dari besaran anggaran yang dialokasikan untuk pengelolaan garam di tahun 2019 memang sangat kecil.
Namun, ia menegaskan hal tersebut tidak menunjukkan jika pihaknya tidak serius untuk mengembangkan garam untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi alokasi anggaran tersebut disesuaikan dengan kondisi kemampuan daerah saat ini.
“Alokasi anggaran Rp 30 juta itu untuk beli geomembran untuk pengembangan tambak garam milik dinas seluas 2 hektar. Kita memang tidak terlalu besar kembangkan tambak garam dinas, karena kita mau masyarakat yang harus produksi lebih besar,” tuturnya.
“Kalau bilang main-main ya mau bilang apalagi, tapi memang ini kita menyesuaikan dengan kondisi keuangan daerah setelah dibagi-bagi ke seluruh kegiatan rutin lainnya, yang tersisa hanya seperti ini,” tuturnya.
Untuk pendanaan pengembangan garam milik masyarakat sendiri, lanjut dia, sudah merupakan kewenangan dari pihak pemerintah provinsi berkaitan dengan pengembangan wilayah pesisir.
Sehingga nantinya, pihak Alfons akan berkoordinasi dengan pemerintah provinsi guna mendapatkan kepastian, apakah penganggaran untuk pengadaan Geomembran dan peralatan pendukung pengembangan garam masyarakat disediakan oleh pemerintah propinsi atau pusat.
“Nanti. Pastinya kita akan berkoordinasi dengan pemerintah propinsi agar kita bisa tahu penganggaran untuk pengadaan genset itu dari propinsi atau langsung dari pusat. Pada prinsipnya, kita sangat mendukung agar produksi garam yang dihasilkan masyarakat harus terus meningkat setiap tahunnya,” ujar Alfons.
Penulis: Eman Tabean
Editor: Boni J