Oleh: Irvan Kurniawan
Merasa jauh dari gegap gempita politik ibu kota membuat kami yang tinggal di pelosok Nusantara ini hanya mampu mengunyah remah-remah demokrasi. Sekadar diketahui, seabrek tulisan ini dibuat di Kota Kupang, ibu kota Propinsi NTT. Propinsi yang dikenal terbelakang, tertinggal dan terpencil. Walau demikian, butir-butir Pancasila yang ‘diilhamkan’ di tempat ini menambah spirit untuk melihat Indonesia secara keseluruhan.
Meski sudah ditakdirkan untuk lahir dan dibesarkan di sini, kami terus merekam setiap detail perpolitikan tanah air menjelang pemilihan presiden 2019. Setidaknya lewat pemberitaan media massa, kami dapat mengunyah bincang-bincang hangat politik nasional yang masih berkutat seputar tiga kata sakti yakni Sontoloyo, Tampang Boyolali, dan Genderuwo . Entah kata apalagi setelah ini.
Ketiga kata ini begitu akrab dalam perbincangan publik. Getarannya begitu kuat mengguncang nalar dan emosi sampai ke pelosok negeri. Itu terbukti dari ramainya netizen di daerah yang mengunggah, membagikan, retwitte dan mengomentari ketiga kata ini. Reaksinya pun beragam. Ada yang marah, nyinyir, merasa lucu dan serius.
Dalam kaca mata politik awam, fenomena ini lumrah dalam kompetisi politik. Seorang politisi pasti memilih diksi yang sensasional agar kuat tertanam dalam persepsi publik. Strategi ini mendapat jawaban dalam ilmu terapan neuro-politik dimana otak manusia cenderung reaktif terhadap kata-kata yang mengandung daya sensasi apalagi jika menyentuh naluri primitifnya. Di sini taktik komunikasinya jelas, jika ingat kata itu pasti ingat pengucapnya (Baca: Capres).
Namun sadar atau tidak, secara berlahan daya sensasi kata itu menguasai memori public. Publik akhirnya lupa bahwa substansi dari semua permainan kata ini ialah memilih presiden dan wakil presiden yang paling tepat untuk memimpin bangsa ini keluar dari segala kepelikan hidup.
Diskursus di ruang publik pada akhirnya kering kerontang dari substansi. Politik kata-kata membuat banyak orang tenggelam dalam sensasi kenikmatan semu, lalu lupa hakikat dirinya sebagai demos dalam demokrasi. Padahal, ruang demokrasi seharusnya menjadi ruang transaksi dan pasar ide gagasan untuk mencapai bonum commune.
Pada taraf tertentu, rakyat akhirnya melupakan persoalan dasar seperti infrastruktur, kemiskinan, korupsi, ketidakadilan, rendahnya mutu pendidikan, dan dehumanisasi yang masih lekat di akar rumput.
Rakyat pun menjadi tercerabut dari hakikatnya sebagai ‘demos’ dimana seharusnya semua masalah mendasar yang ia hadapi menjadi diskursus utama dalam demokrasi.
Begitu pula dengan kedua capres yang maju bertarung. Suara rakyat yang terekam oleh mereka bukan lagi menyangkut kebutuhan krusial tetapi hanyalah pantulan ujaran kebencian, amarah, ketakutan bahkan lelucon semata.
Ketiga kata sakti ini sesungguhnya bentuk paling jelas dari strategi komunikasi emotional branding. Tujuannya agar pengucap dan orang yang melihat serta mendengarnya dapat terikat dalam rasa yang sama.
Prabowo menyebut tampang Boyolali tidak bisa masuk hotel mewah, sesungguhnya ingin menghimpun emosi pemilih kelas bawah atau akar rumput untuk berjuang bersamanya. meraih kursi kekuasaan. Dalam imajinasi Prabowo frasa ‘Tampang Boyolali’ dapat menggerakan emosi pemilih untuk menghantarnya meraih kekuasaan.
Sementara Jokowi menyebut politisi sontoloyo dan genderuwo sebagai reaksi protes atas politisi yang gemar menyebar hoax dan fitnah. Dengan mengeluarkan kata itu, Jokowi ingin membangkitkan emosi marah bahkan rasa benci pendukung terhadap kubu penyebar hoaks yang oleh tim suksesnya sering diasosiasikan dengan kubu Prabowo.
Imajinasinya sama yakni kembali meraih kekuasaan dengan menggerakan emosi pendukungnnya yang menurut survei akhir-akhir ini melampaui Prabowo.
Jadi sebenarnya ketiga kata ini tak lebih dari stimulus untuk membangkitkan emosi pemilih. Demokrasi pada akhirnya terjebak dalam permainan kata tanpa gagasan. Padahal demokrasi dapat menjadi jembatan penyebrang menuju kesejahteraan rakyat jika para elit menjual gagasan. Itu artinya kedua capres harus merangsang sisi rasionalitas sekalgius mengedukasi pemilih untuk secara objektif melihat rekam jejak dan program unggulannnya masing-masing.
Terhanyut dalam politik kata-kata pada akhirnya hanya menyisakan lupa, baik di memori kedua capres maupun pemilih. Kita lupa bahwa masih banyak pekerjaan rumah bangsa yang harus diselesaikan seperti kemiskinan dan pelanggaran HAM masa lalu. Lupa bahwa masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Lupa bahwa korupsi terus menjalar dari pusat sampai ke desa.
Rakyat pun lupa bahwa perhelatan demokrasi seharusnya menjadi ruang transaksi masalah mendasar dan karenanya di ruang public seperti media sosial, harus mempertanyakan program para kandidat demi menyelesaikan masalah tersebut.
Menutup tulisan ini, saya teringat dengan sepenggal kata-kata Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya berjudul “Sepotong Senja untuk Pacarku”.
“Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina. Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.”
Semoga penggalan cerpen ini menjadi titik permenungan kedua capres agar kami yang ditakdirkan lahir di pelosok Nusantara ini tidak mengunyah remah-remah demokrasi.