Borong, Vox NTT-Defita Astin (19), penderita lumpuh, tuli, dan bisu sejak lahir asal Kampung Lada, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), NTT dikabarkan hingga kini tak kunjung mendapatkan perhatian serius dari pemerintah setempat.
Padahal sejak lama, keluarga penyandang disabilitas yang lahir pada 15 Agustus 1999 silam itu ingin mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Keluarga sadar, betapa Negara Indonesia sudah memperhatikan khusus warganya yang cacat atau penyandang disabilitas.
Namun perlakuan tersebut tidak untuk putri keenam dari 8 bersaudara pasangan Modestasi Eme (59) dan Fransiskus Nabat (71) itu.
Tibalah tahun 2011 lalu, waktu di mana keluarga Defita Astin sempat bernafas lega.
Pasalnya, rumah mereka di Kampung Lada didatangi petugas pendataan untuk mendapatkan bantuan sosial bagi penyandang disbalitas.
Sayangnya, penantian panjang dengan penuh harapan selama 8 tahun pasca pendataan hingga kini tak terwujud.
Tahun 2016, Defita Astin hanya mendapatkan bantuan berupa kursi roda dari Theresia Wisang, istri dari Wabup Matim Agas Andreas. Saat ini Agas Andreas merupakan bupati Matim terpilih setelah menang dalam Pilkada 27 Juni 2018 lalu.
Baca Juga: Penderita Lumpuh, Tuli, dan Bisu Asal Lamba Leda Ini Butuh Bantuan Pemerintah
Atas kondisi Defita Astin tersebut membuat John Tangur praktisi hukum yang tinggal di Jakarta angkat bicara.
“Seharusnya saudari kita Defita Astin memperoleh hak-haknya sebagai penyandang cacat. Seharusnya Defita Astin mendapatkan bantuan dari pemerintah,” ujar John saat dihubungi VoxNtt.com, Minggu (18/11/2018).
Menurut dia, Indonesia memang kalah selangkah lebih maju ketimbang Jepang dan Malaysia dalam hal memperlakukan dan melindungi warga negaranya yang cacat, difable atau penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas di Indonesia dipandang masih sangat mengenaskan. Sebab itu, sudah semestinya para penyandang disabilitas mendapat perlakuan khusus dari pemerintah sebagai upaya perlindungan dari berbagai pelanggaran HAM.
Advokat PERADI itu menambahkan, saat ini sebagai upaya perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas, Indonesia telah memiliki Undang-undang Penyandang Cacat Nomor 4 tahun 1997.
Pada Pasal 5 UU tersebut berbunyi “Penyandang cacat/disabilitas merupakan setiap orang yang memiliki fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan, hambatan bagi dirinya untuk melalukan kegiatan secara selayaknya yang terdiri dari penyandang cacat fisik dan cacat mental”
Menurut John, hak-hak fundamental beserta kewajiban penyandang disabilitas juga telah diatur dalam Pasal 41 Ayat (2), Pasal 42, serta Pasal 54 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
Sebagai bentuk komitmen dan kepeduliannya terhadap penyandang disabilitas pemerintah RI telah melakukan ratifikasi terhadap internasional tentang hak-hak penyandang disabilitas (Convention On The Rights Of Persons With Dissabilities (CRPD)- Konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas, melalui UU Nomor 19 tahun 2011.
Undang-undang Nomor 18 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, lanjut John, juga sebagai upaya untuk menunjukkan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri tanpa diskriminasi.
Dengan UU ini, menjamin penyandang disabilitas memiliki berbagai hak, yaitu: hidup, bebas dari stigma, privasi, keadilan dan perlindungan hukum, pendidikan, pekerjaan, kewirausahaan, koperasi, kesehatan dan politik.
Prosedur Mendapatkan Bantuan
John menegaskan, berdasarkan aturan-aturan hukum tersebut, maka seharusnya Defita Astin memeroleh hak-haknya.
“Sudahlah tepat apabila Pemerintah Desa (Pemdes) Satar Punda yang harus pro aktif mengurus, membuat surat permohonan bantuan untuk kepentingan Defita Astin,” imbuh pria asal Manggarai itu.
“Pemdes atas sepengetahuan Camat mengirim surat, mengusulkan Defita Astin, dikirim ke Kantor Sosial Kabupaten Manggarai Timur setelah diverifikasi oleh Kantor Sosial selanjutnya akan diproses apakah memakai dana APBD atau lainnya,” sambungnya.
Baca Juga: Soal Defita, DPRD Matim Minta Pemdes Satar Punda Buat Surat ke Bupati
John menambahkan, prosedur mendapatkan bantuan juga telah diatur pada Peraturan Presiden RI Nomor 63 tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Non Tunai.
Pasal 17 “Gubernur, bupati dan Walikota mempunyai tugas: a. Melaksanakan pemantauan atas pelaksanaan pemberian bantuan sosial. b. Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat dalam melaksanakan pentaluran bantuan sosial, dan c. Menyediakan pendamping dan atau aparat setempat untuk membantu kelancaran proses sosialisasi, verifikasi penerimaan bantuan sosial.
Baca Juga: Untuk Defita: Pemdes Satar Punda Segera Buat Surat ke Bupati Matim
Pasal 18 tentang Pembiayaan “segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan penyaluran bantuan sosial secara non tunai (tanpa rekening Bank) bersumber dari APBN dan APBD”
“Nah di sinilah perananan DPRD, fungsi budgeting dan legislasinya karena menggunakan APBD,” ujar John.
Penulis: Ardy Abba