Kupang, Vox NTT–Suasana remang diiringi musik dangdut seperti menyambut setiap tamu yang berkunjung ke lokalisasi Karang Dempel, Alak, Kota Kupang, Senin (19/11/2018) malam.
Malam itu suasananya tampak ramai. Maklum waktu masih menunjukan pukul 20.30 Wita saat tiba di sana.
Bermodal keberanian, saya mencoba memasuki lokasi yang sedang ramai diperbincangkan warga Kota itu. Pasalnya pemerintah Kota Kupang berencana menutup tempat tersebut pada 1 Januari 2019 mendatang.
Di depan tempat parkir ada beberapa pemuda sedang minum alkohol.
Sementara di parkiran lain bagian Timur, penjaganya seorang wanita remaja. Tak tahu pasti nama dari gadis itu. Tapi kayaknya ia gadis pribumi. Usianya diperkirakan 15 tahun.
Saat menyusuri lorong demi lorong, tampak para wanita sudah berhamburan memamerkan diri di depan kamar. Sesekali mereka bergoyang mengikuti irama dangdut sambil mengisap rokok.
Sayapun memberanikan diri menyusuri area yang agak gelap. Di sana, tampak beberapa wanita sedang duduk di depan pintu kamar.
Beberapa laki-laki berperawakan dewasa memasuki area itu. Ada yang bergerombolan adapula yang sendiri-sendiri.
Saat sedang asyik memantau, saya dikejutkan dengan cahaya senter dari bagian kanan. Seolah ada aba-aba dari seorang wanita yang datang mendekat.
“Mau masuk?” sahutnya sambil menebar senyum.
“Berapa mba,” tanyaku pura-pura berani.
“25.000 itu harga pas,”
“Oh, maaf mba terima kasih, saya permisi dulu,” jawabku sambil berjalan ke kamar lain.
Di kamar lain yang sederet dengan gedung itu, para pramuria menawari dengan harga 40.000. Namun jika ditawar, angkanya mentok di 25.000.
Sekitar 5 meter dari gedung itu, saya mencoba mendekati seorang wanita yang sedang asyik bermain HP. Namanya Mawar (bukan nama sebenarnya). Dia mengaku umurnya 35 tahun.
“Mau masuk? 25 ribu mas,” tanyanya sambil menepuk bahuku. Rambutnya yang lurus sesekali diputar-putar menggunakan jari telunjuknya.
“Tidak mba, saya hanya mau pesiar di sini,” sahutku yang mendadak gugup.
Mendengar jawaban itu mukanya tampak cemberut sambil kembali membuka layar hp yang terkunci.
Takut kehilangan nara sumber, sayapun cepat-cepat memperkenalkan diri sebagai wartawan yang datang meliput ke daerah itu.
“Tenang mba, saya hanya datang meliput. Soalnya saya dengar tempat ini mau ditutup, jadi boleh kan saya minta pendapatnya mba” jelasku sambil tersenyum kaku, maksud menggoda.
“Boleh tapi jangan lama ya, soalnya aku harus kerja” ketusnya sedikit kesal.
“Mba asal dari mana, mba tau tidak kalau tempat ini akan ditutup?”
“Saya dari Jawa Timur, iya sudah diberitahu tanggal 1 Januari akan ditutup,”
“Kalau tutup bagaimana mba?”
“Ya pulang, saya juga ingin pulang ke kampung halaman,”
“Jadi, mba setuju kalau tempat ini ditutup?” tanyaku hati-hati.
“Sebenarnya tidak sih pak, aku kerja di sini karena memang desakan ekonomi. Mau cari nafkah untuk anak dan orang tua di kampung,” jelasnya.
“Kerjaan lain tidak ada ya mba sampai harus begini” tanyaku sedikit berani.
“Bagaimana mau kerja pak, saya saja tamat SD. Kalau kerjakan harus sarjana,” jawabnya.
Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan lagi namun mengingat Mawar harus kerja lagi, sayapun terpaksa mengurung nafsu bertanya.
Setidaknya dari Mawar, saya mendapat informasi berharga bahwa dirinya terjebak dalam bisnis lendir karena alasan ekonomi, disusul rendahnya pendidikan.
“Aduh mba maaf ya, saya bisa masuk untuk melihat kamarnya” tanyaku lagi.
“Oh boleh tapi jangan lama ya, kalau lama nanti aku tutupin pintunya loh,” pinta Mawar sedikit menggoda.
Sayapun segera memasuki kamar miliknya. Kamar yang berukuran 4×6 meter itu diterangi lampu 10 Watt.
Di belakangnya, ada kamar mandi lengkap dengan bak besar dan dua ember cat mateks. Di tali gantungan ada tiga buah handuk kecil.
Omset Parkiran Mencapai 600.000 Semalam
Beberapa saat kemudian saya keluar dan menuju tempat parkiran. Seorang pemuda datang mendekat. Beberapa di antara mereka terlihat sudah mabuk.
Sempat gugup, namun saya memberanikan diri bertanya kepada pemuda itu.
“Kaka semalam biasanya penghasilan parkir berapa?” kataku sambil memberikan uang 10 ribu untuk bayar parkir.
Pemuda itu tak menjawab, dia mendekati temannya yang lain. Tak lama berselang, dia kembali membawa uang kembalian.
“600.000 ribu kaka,” katanya sambil memberikan uang kembalian Rp.8000. Itu artinya sekitar 300-an orang yang datang bertamu malam itu.
“Apakah itu tiap malam kaka?”
Dengan suara kecil ia menjawab, “ia,”
Alasan Ekonomi
Menjadi pekerja seks komersial (PSK) ternyata bukan pilihan pertama bagi mereka yang menjalaninya.
Kebanyakan dari mereka terhimpit lilitan ekonomi. Tak jarang perlakuan kasar sering mereka terima.
Para tamu, tak terkecuali masyarakat, umumnya menganggap mereka manusia terendah di bawah kolong langit bumi.
Seorang PSK dari Karang Dempel bernama Ayu (34) membagikan pengalaman pahitnya itu kepada VoxNtt.com 16 Agustus lalu.
Salah satu yang paling berkesan ialah perjuangan dia menyekolahkan kedua anaknya.
“Saya kerja setiap hari layani tamu, namun semua itu saya lakukan untuk menyekolahkan kedua anak saya,” ungkap Ayu.
Ayu mengaku penghasilannya semalam rata-rata mencapai Rp 100-200 ribu.
Dari jumlah itu, 10 ribu-20 ribu dia sisihkan untuk makan, sementara sisanya buat tabungan sekolah kedua anaknya. Anak yang pertama sudah masuk kuliah dan yang bungsu masih SMP.
Ayu mengaku bangga dengan anak pertama yang kini mulai masuk kuliah.
“Sejak kelas 1 SMP, dia selalu juara satu di kelasnya. Padahal saya selalu tinggalkan dia untuk kerja,” pungkas Ayu sambil meneteskan air mata.
Perasaan duka itu seperti diobati oleh prestasi sang anak. Bahkan Ayu selalu menangis saat kali menemani anaknya itu menerima raport akhir semester.
“Guru-gurunya bilang kalau anak saya ini kemampuan bagus, sayang kalau nanti sekolahnya putus,” terang Ayu.
Prestasi sang anak ini yang kemudian terus memotivasi Ayu untuk bekerja, walaupun mengorbankan dirinya.
“Saya kadang melayani tamu yang mabuk-mabukan. Rambut saya dijambak bahkan diludahi. Kadang juga pura-pura mendesah. Saat mata tutup, di situlah saya ingat anak saya” aku Ayu sambil menangis.
Saat itu, Ayu mengaku tidak bisa marah dan menolak. Satu tujuan yang ada dibenaknya yaitu mendapatkan rupiah untuk dirinya dan sang buah hati.
Ayu juga bersyukur karena kedua anaknya menerima dia apa adanya.
“Mereka ditinggalin bapaknya sejak lulus SMP. Jadi saya yang cari makan untuk mereka. Untungnya mereka mengerti dan mau menerima saya sebagai PSK” kata Ayu.
Pro-Kontra Penutupan Lokalisasi
Penutupan tempat prostitusi di Kota Kupang rupanya bukan gertak sambal.
Bisnis esek-esek itu pun, sudah disosialisasikan kepada masyarakat, pada Kamis (11/10/2018) silam, di Hotel Maya, Kota Kupang, NTT.
Wali Kota Kupang, Jefri Riwu Kore mengungkapkan, PSK yang berada di Kota Kupang akan segera difasilitasi, direhabilitasi dan dilatih untuk usaha-usaha produktif.
“Ada sekitar 700 PSK yang ada di Kota Kupang di semua lokalisasi. Kebanyakan saudara-saudari kita dari Jawa, nanti kita akan fasilitasi rehabilitasi dan melatih untuk usaha-usaha produktif,” katanya.
Mantan anggota DPR RI itu juga menegaskan, tempat prostitusi yang ada maupun yang diduga sebagai lokasi praktek prostitusi terselubung, semuanya akan ditutup.
Wacana ini, pernah ditanggapi anggota DPRD Kota Kupang Livingston Ratu Kadja.
Menurut Livingston, penutupan lokasi prostitusi akan mematikan perekonomian masyarakat setempat.
“Pemerintah rencananya akan menutup tempat lokalisasi, sebaiknya dipikirkan lagi. Bagaimana dampaknya dan apakah memang keputusan itu sesuai dengan kehidupan masyarakat. Jika tujuannya hanya ingin mencegah penyebaran HIV AIDS maka saya rasa bukan langkah yang tepat,” katanya.
Menurut dia, jika memang penutupan tempat lokalisasi adalah instruksi dari Kementerian Sosial (Kemsos), maka seharusnya disesuaikan dengan kondisi daerah. Apalagi banyak masyarakat menggantungkan hidupnya dari tempat lokalisasi.
Tak hanya Livingston, Gusti Brewon pembicara dari Forum Academia NTT menyoroti wacana pemerintah Kota Kupang untuk menutup lokalisasi Karang Dempel (KD).
Dalam sebuah seminar publik bertajuk Lokalisasi dan Pencegahan HIV/AIDS yang dilaksanakan di Karang Dempel, Rabu, (14/11/2018), Gusti mengatakan penutupan lokalisasi KD hanya akan menyiapkan bom waktu yang akan meledak kapan saja.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah mesti menjamin ketika para PSK keluar dari KD harus difasilitasi dengan baik dari segi kesehatan, ekonomi serta hak-hak sosial mereka. Jangan sampai akan menimbulkan masalah baru dan beragam.
Kata Pendeta Emmi
Pendeta Emmi Sehertian menilai rencana penutupan lokalisasi Karang Dempel oleh pemerintah Kota Kupang sebagai kebijakan yang keliru.
Pasalnya, data menyebutkan, sumbangan angka penularan HIV/AIDS NTT dari tempat lokalisasi hanya sebesar 10%. Sementara angka terbesar adalah wiraswasta dan ibu rumah tangga masing-masing, 20% dan 13%.
“Pemkot Kupang harus belajar sejarah tentang Karang Dempel. Masa Ben Mboi dulu, tempat ini pernah ditutup namun setahun kemudian dibuka kembali karena tingkat kekerasan sex terhadap anak di bawah umur di Kupang meningkat, ” ungkap Pendeta Emmi dalam seminar publik bertajuk Lokalisasi dan Pencegahan HIV/AIDS yang dilaksanakan di Karang Dempel, Rabu, (14/11/2018).
Aktivis perempuan NTT itu pun menantang Pemerintah Kota Kupang dengan beberapa pertanyaan.
“Siapa pembeli jasa sex yang datang dan melakukan transaksi sex di Kupang? Siapakah yang datang ke mereka? Kalau mau menertibkan pekerja sex, silahkan tertibkan juga pembeli jasa sex yang datang ke lokasisasi,” tegasnya.
Dalam pandangan gereja, pendeta Emmi mengatakan pelacuran merupakan indikator paling telanjang dari ketidakadilan.
Mendukung itu, beliau mengutip perikop Kitab Suci dimana Yesus menantang orang Farisi yang hendak melempari seorang pelacur dengan batu.
“Yesus pernah menantang para kaum Farisi, siapakah yang merasa lebih baik dari wanita itu hendaklah ia melempar batu duluan”, ungkap Emmi.
Lebih jauh Emmi menuturkan, pekerja seks adalah korban dimana hak-hak sosial dan ekonomi mereka tidak diperhatikan oleh Negara.
Pandangan Sosiologis
Menurut Sosiolog asal Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Balkis Soraya, posisi tawar laki-laki sebagai pembeli jasa sex lebih agresif ketimbang perempuan di tempat lokalisasi Karang Dempel.
Pernyataan itu merujuk kajian ilmiah yang dilakukan oleh dosen ilmu Sosiologi itu pada tahun 2000 dimana pekerja sex tidak punya posisi tawar saat meakukan transaksi sex.
Kata dia, laki-laki lebih dominan untuk menentukan harga.
“Laki-laki lebih agresif. Itu menunjukkan kerentanan terhadap ketidakadilan gender. Perempuan yang pasrah saja”, jelas Balqis pada 14 November 2018 lalu saat acara diskusi publik di Lokalisasi Karang Dempel.
Ia juga menambahkan, tidak ada satu perempuan pun yang mau dilahirkan sebagai pekerja sex. Mereka yang menjadi penyedia jasa sex karena tuntutan ekonomi.
Ia berharap, jika pemerintah melakukan penertiban, harus menyiapakan bimbingan konseling, pelatihan keterampilan dan juga pendampingan kesehatan.
Penulis: Sandry Hayon
Editor: Irvan K