Oleh: Umbu TW Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang
Hari-hari ini kita melihat anak bangsa kerap tiarap diperlakukan semena-mena di negeri orang, sebagaimana nasib para TKI/TKW yang berada di luar negeri.
Di NTT misalnya, TKI yang tewas di luar negeri sudah mencapai 62 orang hingga September 2018 (Vox NTT 1/8). Ada jazad TKI yang dibawa pulang ke NTT dan diterima keluarga dengan tanpa melalui autopsi atau organ tubuh yang sudah tidak lengkap.
Baru-baru ini TKI asal Majalengka Tuti Tursilawai (33 tahun) dieksekusi mati di Arab Saudi pada 29 Oktober 2018. Ironisnya Arab Saudi menjatuhkan sanksi hukuman mati tersebut kepada Tursila secara diam-diam, tanpa menotifikasi kepada perwakilan RI.
Sejak 2009 Tuti bekerja sebagai perawat di sebuah keluarga di Kota Thaif. Tahun 2010 dia didakwa membunuh majikannya Suud Malhaq al-Utibi. Namun menurut keluarganya, pembunuhan itu sebagai cara untuk mempertahankan diri karena Tuti kerap disiksa dan diancam akan diperkosa. Pemerintah Indonesia memprotes keras sikap Arab Saudi yang dianggap menciderai kemanusiaan, melanggar prinsip HAM.
Nasib para TKI kita memang tak seindah seperti yang diiming-imingi para calo TKI yang berkeliaran, membohongi ‘mangsa’ (warga)-nya di desa-desa demi sekadar mendapatkan Rp. 3-5 juta.
Mereka menebar mimpi kepada para calon TKI, bakal hidup dengan gaji tinggi dan bisa mengirimkan uang buat keluarga di kampung halaman untuk menyambung hidup sanak saudara. Tidak sedikit TKI yang berhasil mewujudkan impian surga tersebut. Mereka kembali ke Indonesia, menikmati hasil keringatnya dari luar negeri, bersama orangtua dan sanak saudara. Ada yang membangun rumah mewah, merintis bisnis menjadi pengusaha dan membuka lapangan kerja.
Bernasib Teka Teki
Namun, tak sedikit pula TKI kita yang pergi bekerja di luar negeri dengan nasib berujung ‘teka-teki’ (misterius dan tak menentu). Mereka disiksa, dipekerjakan dengan gaji dan fasilitas minim, dikurung di rumah majikan dan diekploitasi dengan kerja-kerja kasar bak kuli sebagai pembantu, pekerja kasar di perkebunan, buruh pabrik, dll.
Banyak TKI harus menahan diri diperlakukan jauh di bawah derajat kemanusiaan bertahun-tahun lamanya. Hingga pada akhirnya, tidak sedikit yang pulang ke Tanah Air.
Saat menghadapi kekejaman majikan, ada TKI memang nekat kabur tapi di tengah pelarian terperangkap lagi dalam kekerasan baru oleh oknum-oknum tidak bertanggangung jawab yang berpura-pura ingin menyelamatkan dan mengurus pemulangan mereka ke Indonesia.
Seperti dialami Tuti, ketika lari dari rumah majikannya menuju ke Makkah, di tengah perjalanan dia malah bertemu dengan sembilan bajingan yang memerkosanya terlebih dahulu.
Andai saja kita punya sistem perlindungan buruh yang bagus, di mana atase ketenagakerjaan KJRI/KBRI di Arab Saudi proaktif memantau, mengecek langsung secara rutin keadaan dan perkembangan para TKI di tempat kerjanya, Tuti mungkin tak harus melakukan upaya pembelaan seorang diri setragis dan sefatal itu.
Sejak awal, saat perekrutan dan sebelum pemberangkatan mereka ke negara tujuan, nasib TKI kita sudah dilumuri banyak persoalan. Ada yang direkrut dan dikirim dari kampung halaman menuju daerah transit di Jawa atau Kalimantan menggunakan ‘jalur tikus’ karena hanya berbekal dokumen ilegal.
Dokumen ilegal ini diurus oleh calo-calo nakal yang pintar memanfaatkan keadaan para calon TKI yang berlatarbelakang hidup susah, berpendidikan minim dengan wawasan dan kemampuan berpikir yang lemah. Mereka terpaksa mau mengorbankan diri untuk ditipu karena tertelan iming-iming gaji TKI yang tinggi dan impian mentereng lainnya.
Menurut Humas BNP2TKI, dilihat dari latar belakang pendidikan, para TKI yang bekerja di luar negeri masih didominasi lulusan SD/SMP dengan angka 6 persen (detiknews 27/9/2018).
Mereka tidak mengerti bahasa Inggris, bahasa Arab sehingga akan kesulitan untuk beradaptasi dan berinteraksi sesuai dengan tradisi dan budaya negara tujuan kerja mereka. Mereka juga tidak mendapat pendidikan hukum negara tujuan tentang bagaimana mereka bersikap jika menghadapi kekerasan di tempat mereka bekerja.
Di tempat penampungan para TKI kerap dikurung, tidak boleh berkomunikasi dengan siapa pun, dokumen diri mereka dimanipulasi, termasuk profil kesehatan mereka.
Tidak heran jika membaca data BNP2TKI Oktober 2017 lalu, dimana dari 145 orang TKI yang wafat di luar negeri sejak Januari-Agustus 2017, sebagian besarnya karena mengalami kecelakaan kerja dan sakit berat seperti sakit kanker hati, dll.
Tamparan
Secara umum, untuk sampai ke negara tujuan ada dua pola migrasi yang ditempuh para TKI kita (Santoso, 2014). Pertama, pola migrasi legal (legal scheme migratory flows), yakni menggunakan saluran-saluran resmi, dokumen yang resmi dan melewati tempat-tempat penerimaan resmi. Untuk jalur ini, negara asal TKI akan diuntungkan melalui remitansi para TKI-nya.
Kedua, arus migrasi dengan pola tidak sah (ilegal scheme migratory flows). Dalam pola ini arus migrasi dapat menggunakan: a) modus legal entry and ilegal stay, dari segi prosedural pengiriman, keberadaan para TKI memang legal, namun kegiatan kerja yang dilakukan di negara tujuan tersebut tidak sesuai dengan izin kerja; b) modus ilegal entry and ilegal stay, di mana mereka masuk negara tujuan tanpa dokumen-dokumen sah, tanpa melalui tempat-tempat resmi.
Mereka menempuh perjalanan dari negara asal menuju negara tujuan lewat negara singgah. Di negara singgah tersebut mereka berusaha mencari peluang dengan berbagai cara untuk dapat sampai ke negara tujuan, salah satunya melalui organisasi penyelundupan manusia.
Maraknya perdagangan manusia yang banyak menjerat kaum perempuan dan anak-anak merupakan salah satu sumber penghasilan sekelompok mafia kejahatan. Mereka memanfaatkan efek migrasi global, situasi krisis tenaga kerja, kesenjangan ekonomi, kemiskinan atau tuntutan untuk sekadar mendapatkan hidup yang layak, untuk menjaring sebanyak mungkin warga miskin, berangkat ke luar negeri untuk melakoni pekerjaan-pekerjaan ‘kuli’, yang sarat eksploitasi.
Apa yang dialami Tuti dan kawan-kawan lainnya yang senasib adalah tamparan bagi negara. Negara harus membangun kekuatan diplomasi lebih gigih terkait nasib tenaga kerjanya di luar negeri, termasuk yang ada di Arab Saudi.
Kita semua tahu Indonesia dan Arab Saudi, sejauh ini belum mendatangani perjanjian “Mandatory Consular Notification Agreement (MNCA)” yang mewajibkan penyampaian notifikasi terhadap Indonesia tatkala ada TKI yang dihukum di Arab Saudi. Padahal selama ini hubungan Presiden Joko Widodo dengan Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Azis sangatlah baik.
Ini juga menunjukkan bahwa masih banyak persoalan keadilan dan kesejahteraan rakyat yang harus diurus tuntas, termasuk menjawab krisis lapangan kerja.
Membangun sumber daya manusia yang berkualitas dan kompetitif adalah investasi kemanusiaan yang harus diurus serius oleh negara secara profesional tanpa embel-embel politik.
Moga-moga moratorium pengiriman TKI oleh Gubernur NTT saat ini diikuti pula dengan kebijakan penyediaan Balai Latihan Kerja di NTT untuk membekali para calon TKI dengan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan permintaan perusahaan di negara tujuan, termasuk membekali mereka dengan pengetahuan tentang adat, budaya dan bahasa di negara tujuan. Ini pekerjaaan mendesak yang tak boleh sebatas wacana, karena mau sampai kapan kita terus memproduksi peti mati untuk para pahlawan devisa itu?