Kupang, Vox NTT- Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dua Hakim dan satu pengacara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Jaksel) serta seorang Panitra di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu, 28 November 2018 lalu mendapat respon dari Komunitas Peduli Peradilan Bersih (Kp2b ) NTT.
Melalui press release yang diterima VoxNtt.com, Jumat (30/11/2018) pagi, perwakilan KP2B, Hendrikus Ara Kian mengungkapkan kekecewaannya terhadap oknum hakim yang terlibat dalam praktek “jual beli” putusan perkara.
Hendrik, demikian ia disapa mengutuk keras perilaku kedua hakim dan pengacara yang terjaring OTT KPK dalam kasus suap yang diduga untuk mempengaruhi putusan perkara yang sedang digulirkan di pengadilan Jaksel tersebut.
Menurut Hendrik, apa yang dialami oleh kedua hakim dan seorang pengacara dalam kasus itu adalah duka mendalam bagi keadilan di bangsa ini.
Perilaku oknum aparat penegak hukum (APH) itu, juga menjadi bukti lemahnya independensi APH dalam menegakkan supremasi hukum.
Dalam catatan Hendrik, hingga saat ini telah terjadi 18 kali penangkapan terhadap oknum hakim di Indonesia karena terjerat kasus korupsi.
Jumlah ini jelas Hendrik, bertambah jika kasus dua hakim PN Jaksel itu terbukti bersalah.
Fakta ini, lanjut Hendrik, kemungkinan akan terus bertambah jika Mahkamah Agung (MA) yang membawahi seluruh hakim di Indonesia tidak melakukan pengawan ekstra terhadap para hakim.
Dengan peristiwa ini juga tegas dia, MA jangan lagi menganggap dirinya telah melakukan segalanya untuk mencegah kejadian-kejadian seperti ini (pelanggaran kehakiman), sementara fakta di persidangan kasus, seperti ini kian berulang.
Ada dua permasalahan besar menurut Hendrik yang memungkinkan hal seperti ini terus terjadi yakni:
Pertama, MA sebagai lembaga tertinggi kehakiman tidak cukup obyektif dalam merekrut dan mengangkat hakim.
Obyektivitas MA jelas dia, akan terlihat pada kejelian MA dalam melihat noumena-noumena (sesuatu yang tersembunyi) dalam diri para hakim terutama berkaitan dan moral integritas para hakim, sebelum kemudian muncul fenomena buruk seperti ini dan terus berkembang dalam rahimnya (lembaga kehakiman).
Banyaknya oknum hakim yang terjerat kasus korupsi hingga terjaring OTT KPK kata dia, ibarat Tumor Ganas dan sel kanker yang lama kelamaan menggerogoti rahim MA.
Hal ini jelas dia, menghancurkan wibawa Indonesia sebagai Negara yang meletakan hukum sebagai pang lima tertinggi. Tentu hal ini juga, demikian Hendrik membuat citra MA dan lembaga peradilan di Negeri ini menjadi rusak.
Dia menegaskan, lembaga kehakiman, khususnya MA harus sesegera mungkin mendeteksi letak Tumor dan Kanker di tubuh lembaga kehakiman itu, sebelum menjalar ke seluruh lembaga kehakiman di Indonesia.
Kedua, MA mempunyai beban tugas yang sangat berat. Sebab, MA membawahi 8 ribu lebih Hakim di seluruh Indonesia, dengan tugas pokoknya memutus perkara serta administrasi sebagai tanggung jawab besar dan utama mereka.
Sementara terang dia, penanganan perkara membutuhkan keseriusan, profesionalisme, kedisiplinan dan tanggung jawab.
“Beban MA dan lembaga peradilan di bawahnya dalam menyelesaikan perkara saja sudah begitu berat, ditambah lagi harus mengurus manajemen hakim (rekruitmen/pengangkatan, pembinaan (promosi – mutasi), pengawasan, perlindungan, dan pemberhentian), sungguh pikulan berat buat MA,” ujar Hendrik.
Kejadian OTT Hakim oleh KPK tegas dia adalah buah dari dua permasalahan besar di atas yang tidak mampu diemban oleh MA.
Kondisi inilah yang menurut dia, MA membutuhkan kehadiran lembaga lain (eksternal) untuk mengawasi kinerjanya agar tetap dalam koridor hukum yang berlaku.
Sejak Awal reformasi, tuturnya, semangat perbaikan pengadilan dan sistem peradilan menjadi Isu utama. Saat ini, 20 tahun waktu berselang, begitu banyak OTT telah dilakukan KPK.
Kondisi ini adalah buah dari kinerja hakim yang kurang diawasi dengan baik. Didirikannya lembaga pengawasan eksternal yang bernama Komisi Yudisial, sebagai pengawas eksternal Mahkamah Agung sesuai amanat konstitusi UUD 1945 Pasal 24 (b) seolah dianggap duri dan mengganggu eksistensi berkedok independensi.
Padahal kehadiran KY dari sisi penegakan hukum, sangat membantu Mahkamah Agung agar mereka tidak menyimpang. Kehadiran KY juga seharusnya mendorong MA agar lebih membuka diri tanpa harus merasa terganggu ataupun terkoyak eksistensinya.
Ini penting, sebab pergantian demi pergantian Pimpinan Mahkamah Agung, namun tidak juga mengubah pandangan publik kepada pengadilan/Hakim dan sistem peradilan di Indonesia, yang saat ini masih di anggap salah satu yang paling koruptif. Kecenderungan itupun meningkat.
Gaji Besar Bukan Jaminan Independensi Hakim
Hendrik menjelaskan, pendapatan hakim dan Pimpinan Pengadilan terhitung cukup. Hal itu terbukti dengan diterbitkannya PP 94 tahun 2012 untuk meningkatkan pendapatan para hakim.
Namun, ini seakan belum cukup untuk membentengi Hakim dari perilaku-perilaku menyimpang. Kemauan dan kemampuan Negara untuk memberikan kepastian dan keadilan Hukum sesungguhnya sudah sedemikian besarnya.
Akan tetapi semua itu tidak merubah pelaku dan praktek penyimpangan di dalam pengadilan
Perkuat Peran Komisi Yudisial
Penegakan hukum dan independensi aparat penegak hukum tak terlepas dari peran penting KY sebagai mitra MA dalam mengawasi serta memastikan para hakim bekerja sesuai kode etik kehakiman.
Oleh karena itu, Hendrikus mengharapkan agar lembaga itu (KY) ikut berbenah diri dan diperkuat lagi.
“Mengeluh saja tentu tidak akan menyelesaikan persoalan,” tegasnya.
Eksekutif dan Legislatif juga menurutnya, harus melakukan upaya konkret dalam penguatan Komisi Yudisial secara kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM), agar mampu menjadi mitra sepadan dengan MA, misalnya dimulai dengan kebijakan legislasi tentang sistem Jabatan Hakim.
“Saat ini memang sedang dibahas RUU Jabatan Hakim dengan konsep share responsibility, mengupgrade struktur kerja organisasi K. Dan yang tak kalah penting adalah meminta MA untuk mau tunduk pada ketentuan Peraturan Perundang undangan yang ada terkait rekomendasi dan pemberian/penjatuhan sanksi dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011,” pinta Hendrik.
Terkait penangkapan Hakim di atas, beberapa sikap yang disampaikan Kp2b yakni:
Pertama, Mengecam segala bentuk tindakan suap, pungli, gratifikasi terkait penanganan perkara di seluruh lapisan lembaga peradilan, yang dilakukan oleh siapapun juga, terlebih oleh hakim yang merupakan pemegang palu keadilan.
Kedua, Mengapresiasi langkaH KPK yang terus dan selalu melakukan OTT terhadap hakim dan panitra/pegawai pengadilan guna mewujudkan peradilan yang bersih.
Ketiga, Meminta Presiden, DPR dan MPR untuk berkomitmen konkret kepada perbaikan dan perubahan peradilan, khususnya di Lingkungan Mahkamah Agung.
Keempat, Menyerukan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk mengundurkan diri, sesuai dengan janjinya, karena tidak mampu mengemban kepercayaan publik untuk melakukan perbaikan dan mengembalikan kepercayaan publik kepada pengadilan.
Kelima, Meminta kepada semua pelaku sistem peradilan, khususnya Pimpinan Pengadilan dan Mahkamah Agung selalu membuka diri dan menerima masukan atau kritikan dari stake holder untuk perbaikan peradilan (KY, KPK dan organisasi kemasyarakatan).
Keenam, Menghukum seberat-beratnya para pelaku mafia peradilan, dengan pidana tambahan dan pemiskinan.
Ketujuh, Mendorong KY dan KPK untuk terus bersinergi dalam memberantas Korupsi dan mafia peradilan di lingkungan peradilan.
Kronologis Penangkapan
Sebagaimana dilansir Kompas, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata memaparkan, operasi tangkap tangan (OTT) terhadap dua hakim Pengadilan Negeri Jaksel, Iswahyu Widodo dan Irwan berawal pada Selasa (27/11/2018).
“Tim KPK mengamankan AF (seorang pengacara, Arif Fitrawan) dan rekannya di sebuah restoran cepat saji di daerah Tanjung Barat,” kata Alexander dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Pada saat yang sama, tim KPK lainnya mengamankan panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Muhammad Ramadhan di kediamannya di kawasan Pejaten Timur. KPK juga sempat mengamankan seorang petugas keamanan.
“Di rumah MR, tim KPK mengamankan uang yang diduga terkait dengan suap dalam perkara ini, sebesar 47.000 dollar Singapura,” kata Alexander Marwata.
Pada pukul 23.00 WIB, tim KPK bergerak secara terpisah untuk mengamankan Iswahyu dan Irwan di kawasan Jalan Ampera Raya.
Usai pengamanan, KPK menetapkan Iswahyu, Irwan, Ramadhan dan Arif sebagai tersangka.
KPK juga menetapkan Martin P Silitonga. Martin diduga berkepentingan dalam kepengurusan perkara perdata yang ditangani dua hakim tersebut.
Realisasi Suap Sekitar Rp 650 juta
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengungkapkan, pada awalnya Arif dan Martin menyepakati akan memberikan uang sebesar Rp 2 miliar kepada dua hakim yang menangani perkara perdata tersebut.
“Ternyata ketika dibicarakan ke panitera pengganti MR sebenarnya dealnya Rp 950 juta. Dan ternyata yang direalisasikan ke hakim oleh MR kami duga lebih kecil lagi, sekitar Rp 650 juta,” kata Febri seperti dilansir Kompas.
Ramadhan tercatat pernah menjadi panitera pengganti di Pengadilan Negeri Jaksel sebelum dimutasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Ia diduga menjadi perantara suap dalam kasus ini. Realisasi suap tersebut dalam pecahan uang rupiah senilai Rp 150 juta dan 47.000 dollar Singapura.
Namun, yang baru diterima oleh kedua hakim tersebut sekitar Rp 150 juta.
Sementara, 47.000 dollar Singapura yang akan diserahkan oleh Ramadhan terhadap dua hakim itu disita oleh KPK. Pemberian uang terkait kepengurusan perkara perdata Nomor 262/Pdt.G/2018/PN Jaksel.
Perkara yang didaftarkan pada tanggal 26 Maret 2018 itu dengan penggugat atas nama Isrulah Achmad dan tergugat Williem J.V Dongen serta turut tergugat PT APMR dan Thomas Azali.
Gugatan itu adalah pembatalan perjanjian akuisisi PT CLM oleh PT APMR di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“PT CLM itu kan punya kekayaan dan punya saham kemudian salah satu pihak itu yang punya PT CLM melakukan perjanjian dengan PT APMR. PT ini mengakuisisi saham CLM,” kata Febri.
Menurut Febri, pihak penggugat keberatan dengan akuisisi tersebut dan ingin mengembalikan saham tersebut sepenuhnya ke PT CLM lagi.
“Ini yang diduga diurus oleh orang-orang ini agar untuk dua hal, keputusan selanya tidak NO (Niet Ontvankelijke Verklaard). Artinya, lanjut ke pokok perkara. Kedua, agar dimenangkan, jadi akuisisi itu dibatalkan sehingga seluruh saham itu masuk kembali ke perusahaan asal,” papar Febri.
KPK, demikian Febri, menduga, pihak yang berkepentingan dalam kepengurusan perkara perdata itu adalah Martin. Saat ini, Martin sedang dalam penahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan atas dugaan pelanggaran pidana umum.
“Ada pihak yang diduga berkepentingan, meskipun dia (Martin) tidak masuk sebagai penggugat secara formil. Penggugat formilnya kan Isrulah Achmad,” ungkap Febri.
Iswahyu, Irwan, dan Ramadhan disangka melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara, Arif dan Martin disangka melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penulis: Boni J