Ruteng, Vox NTT- Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng menemukan kejanggalan dalam penyerahan hibah aset tanah kepada Depot Pertamina Reo.
Tanah seluas 24.640 meter persegi yang berlokasi di Kelurahan Wangkung, Kecamatan Reok itu sudah direkomendasikan oleh Pansus DPRD Manggarai saat paripurna pada Rabu, 28 November 2018 lalu.
Ketua PMKRI Ruteng, Servasius S Jemorang menjelaskan, kejanggalan pertama yang ia ditemukan terdapat dalam surat rekomendasi Bupati Manggarai Deno Kamelus Nomor: Pem. 130/73/IV/2018 tertanggal 11 April 2018.
Baca Juga: Ada Dugaan Gratifikasi di Balik Penyerahan Hibah Tanah Pemkab Manggarai ke PT Pertamina
Dalam surat itu, Bupati Deno merekomendasikan agar memroses sertifikat hak pakai tanah bernomor: 00003 NIB.24.10.09.14.00281 dengan luas 24.640 M2 milik Pemkab Manggarai yang terletak di Kelurahan Wangkung menjadi hak pengelolaan atas nama PT Pertamina (Persero) Reo. Tanah ini telah digunakan sebagai Sub Depot/ Terminal BBM Reo sejak tahun 1976.
Servas sendiri mempertanyakan dasar hukum Pemkab Manggarai menyerahkan tanah ini sejak tahun 1976.
“Saya tidak menemukan dalam surat itu, apa dasar hukum Pemkab Manggarai menyerahkan hak pakai kepada PT Pertamina. Padahal itu dokumen resmi Negara. Hukum ini tidak berlaku surut kan?” ujar Servas kepada VoxNtt.com di Ruteng, Minggu (2/12/2018).
Kejanggalan kedua, lanjut dia, dalam dokumen pendapat hukum kantor pengacara Negara Kejaksaan Agung RI menyebutkan, pembangunan Depot/Pertamina BBM diatur dalam surat Mendagri No: Btu.8/171/8-79, tanggal 13 Agustus 1979.
Pada surat Mendagri itu disampaikan bahwa sehubungan dengan pembangunan Depot/Terminal BBM oleh Pertamina, maka Pemda setempat diberi kewajiban untuk mengadakan tanahnya sampai dengan tingkat siap pakai. Hal ini dengan ketentuan tata tertib penggunaan lahan dan penguasaan tanahnya.
Baca Juga: Marsel Ahang Duga Osi Gandut Terima Suap dari PT Pertamina
Sementara dalam laporan hasil kerja Pansus DPRD Manggarai tentang permohonan persetujuan pemindahtanganan tanah dan bangunan aset pemerintah, justru memakai terminologi lain dalam surat Mendagri No: Btu.8/171/8-79, tanggal 13 Agustus 1979.
Pansus DPRD menyebutkan, pembangunan depot-depot di Indonesia Timur, mewajibkan pemerintah daerah menghibahkan tanah untuk membangun depot-depot/terminal BBM.
“Terminologi hak pakai dan hibah, tentu saja beda. Jadi, antara pandangan pengacara Negara Kejaksaan Agung RI dan laporan kerja pansus berbeda. Ini kejanggalan menurut saya,” tandas Servas.
Ia menjelaskan, berdasarkan pasal 41 UU Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria (UUPA), hak pakai adalah; hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UU ini.
Sementara hibah berdasarkan pasal 1.666 KUHPerdata adalah: suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
Penulis: Ardy Abba