Kupang, Vox NTT- Dosen pada Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa Yogyakarta, Goris Sahdan menjelaskan dengan apik terkait tantangan dan problem pembangunan desa saat ini, di tengah keseriusan pemerintah Indonesia membangun desa.
Menurutnya, pemerintah Indonesia saat ini sedang serius memerhatikan pembangunan di desa. Keseriusan itu, nampak sangat jelas setelah disahkannya UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Goris, demikian ia disapa menerangkan, pemberlakukan UU ini menghadapkan masyarakat pada tuntutan baru dalam pembangunan nasional. Bahwasannya, UU ini menunjukan ada perubahan dalam pola pendekatan pembangunan secara nasional.
Sebagaimana biasanya, pendekatan pembangunan nasional selalu menggunakan pendekatan top-down. Kehadiran UU Desa, membalikan kebiasaan itu menjadi sistem pembangunan bottom up. Hal itu, tentu saja dengan pengalokasian dana yang menembus angka miliaran setiap tahun per desa.
“Kalau dari dulu pendekatan yang digunakan di dalam pembangunan desa adalah pendekatan indonesa membangun. Dan sekarang, menjadi pendekatan desa membangun. Kalau dulu itu dari atas, sekarang ini dari bawah ke atas,” jelas Goris saat bertemu wartawan, Kamis (06/12/2018) malam di SwissBellin Kristal.
Pola pendekatan baru ini kata dia, menjadi tantangan bagi pemerintah, terutama pemerintahan tingkat desa dalam mengaplikasikan pembangunan sesuai amanat UU desa.
Karena itu tegas dia, pemerintah desa dan masyarakat desa harus didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang cukup, agar pengelolaan dana desa itu tidak bermasalah dan menjadi tepat sasaran.
Baca: Desa Jadi Salah Satu Fokus Utama Kongres Pemuda Katolik
Diapun menjelaskan, beberapa point penting terkait pembangunan dan pengelolaan dana desa. UU Desa ini jelas dia, sebenarnya mecoba melakukan terobosan pada tiga level.
Pertama, pengetahuan berdesa. Pengetahuan tentang hidup berdesa adalah hal yang sangat penting menurut Goris. Hal ini, karena sudah terlalu lama desa medapatkan perlakuan yang tidak adil.
“Desa kita itu sudah lama diperlakukan tidak adil. Diperlakukan sebagai anak tiri dari Republik. Dulu kalau berbicara tentang ketertinggalan, tentang kemiskinan, itu pasti, orang selalu mengambil contoh tentang desa,” tuturnya.
Oleh karena itu, jelas Goris, yang perlu digerakkan oleh pemerintah sekarang, termasuk Pemuda Katolik adalah menjadikan desa sebagai leading sektor.
Mencapai titik itu, Pemuda Katolik harap dia harus ikut ambil bagian di dalamnya, menjadi bagian dari mesin yang menggerakan pemerintahan desa, termasuk juga pemberdayaan masyarakat dalam akses pengetahuan tentang hidup berdesa.
Mengapa ini penting jelas Goris, karena sudah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka tetapi perhatian terhadap desa belum optimal.
Kendati demikian, dia menerangkan jika pada tahun 2019, jumlah dana desa akan ditingkatkan lagi. Penambahan jumlah dana ini kata dia, membawa tantangan baru bagi pemerintah desa dalam mengelola desa.
Kedua, keterampilan berdesa. Menurut dia, tidak semua masyarakat di desa mempunyai sumber daya manusia yang mumpuni, yang bisa mengoperasionalkan konsep berdesa terutama dalam mengimplementasikan UU Desa.
“Saya rasa konsep yang sekarang itu cukup tinggi dan agak sulit dioperasionalkan di tingkat desa, karena ini juga terkait dengan pendidikan. Mulai dari pendidikan masyarakat sampai dengan pendidikan perangkat desa. Saya rasa itu ada dalam setiap level di seluruh desa,” ujarnya.
Berkaitan dengan hal ini, Pemuda Katolik harap dia harus merasa terpanggil untuk mengambil bagian dalam menggerakan pembangunan di desa dengan mengoptimalkan keterampilan berdesa. Mulai dari masyarakat hingga pemerintah desa.
Khusus di NTT, dia menilai, problem yang cukup serius berkaitan dengan kemampuan untuk mengatur dan mengelola dana desa.
Goris menyampaikan, desa-desa di NTT ini mengalami masalah dengan SDM. Tidak memiliki kemampuan untuk mengatur dan mengelola dana desa.
Tak hanya itu, tata kelola pemerintahan dan pengelolaan sumber ekonomi desa serta pemberdayaan masyarakatnya lemah.
Ketiga, secara kondisional, Indonesia memiliki tiga problem yang sangat serius tentang kepemimpinan di desa.
Di NTT menurut dia, tipe yang paling menonjol itu adalah model-model desa yang sangat oligarkis. Desa yang sangat dikuasai, dikendalikan oleh kepala desa dan aparat desa.
“Kepala desa dan aparat desa itu merasa pintar sendiri, merasa hebat sendiri. Dan karena dia merasa pintar dan hebat sendiri, demokrasi desa kadang-kadang dikendalikan. Partisipasi kadang-kadang lebih banyak karena dimobilisasi,” ujarnya.
Sementara di Jawa, yang paling menonjol itu tipe Patronase. Tipe ini jelas dia rentan dengan politik uang. “Kalau Pemilihan Kades itu diawali dengan pembagian uang. Membeli atau ijon jabatan. Sehingga prinsip bonum commune itu kadang-kadang dipertanyaakan. Karena itu, Kepala desa itu sulit untuk melayani kepentingan umum tetapi lebih banyak melayani kepentingan pribadinya,” jelasnya.
Kalimantan, dia kategorikan sebagai desa-desa bertipe klientelisme. Tipe ini warna keluarga dan hubungan kekeluargaan itu menjadi karakter yang paling unggul di dalam pengelolaan desa.
Penulis: Boni J