*)Puisi-Puisi Rian Odel

Membunuh Orang Mati?

Kemerdekaan mulut berbicara terpancar kebenaran

Ketika ia menyadari lidahnya

Sebagai penyusun kata-kata

Mata menyadari jarak jauh pandangannya kepada bulan

Dan matahari hanya menguasai siang. Lalu pelangi

Adalah jembatan warna merah dan hijau

 

Bulan yang terbit di atas kepala adalah

Sebuah keindahan yang hadir menciptakan malam

Ayam berkokok dan azan berkumandang

Waktu subuh, menggambarkan kehidupan baru.

Bahwa: tak ada matahari tanpa malam berganti

 

Wahai saudaraku,

Sampai kapan kau menghayal tentang surga, jika

Darah panas selalu mengalir dari lidahmu dan pisau

Selalu tajam pada tanganmu.

Kau ingin menggambarkan dunia samudera dalam teluk kepalamu?

Dan membunuh jenazah seperti rindumu menghidupkan orang sehat?

 

Saudaraku,

Perjalanan kita adalah keindahan pelangi; adalah perbedaan siang dan malam.

Orang hidup versus orang mati; dan payudara wanita bukan dada laki-laki

Tapi “yang tertusuk padamu, berdarah padaku,” demikian kata Sutardji.

 

Mari kita bersaksi, “bagimu agamamu, bagiku kebebasanku”

 

Jika kematian yang kau inginkan, tebaslah leher orang tuamu

Jika kesucian yang kau inginkan, perbaikilah celana dalammu

Sebab Tuhan yang Satu menurut kitab suci

Selalu ada dalam (ke)maluan kita masing-masing

Baik penis maupun vagina; yang bersunat pun tak.

Katakan bahwa selalu ada gereja dengan lonceng pada menaranya,

Katakan juga bahwa ada mesjid di sampingnya berdiri kokoh

Seperti kau dan aku berpelukan, mungkin!

Jujurlah pada nuranimu bahwa, ada Al’quran dan Injil

Dengan huruf berbeda-beda tapi catatan kaki pada sudut halaman terakhir

: Hyang Sama

Kita hanyalah pendoa dan pembaca dengan 2 bola mata sipit

Yang kecil sekali seperti kelereng

Kita hanyalah penyair yang berimajinasi tentang realitas alam baka

Nun jauh di seberang .

 

Mari kita selesaikan sepiring nasi, untuk hidup hari ini.

Dan selesai

(Usai Malam Natal, 2018)

 

Segala Mitos

Tentang segenap kesempurnaan alam

Dari langit terbentuklah mendung awan dan jatuhlah hujan

Dan bersoraklah makhluk hidup remuk

Dari puncak gunung mengalirlah angin

Dan hati tersayat bencana

Banjir, sunami, doa yang palsu

Lalu dosa

 

Mentari dengan kemilau cahaya emas

Selalu datang meranggas di balik dedaunan kopi

Ketika burung pipit berdongeng tentang romantisme pagi

 

Anak-anak dunia merapikan tempat tidur

Dan memulai sarapan di tengah kota. Orang tua merapikan pakaian

Menuju kuburan dan meratapi bayangan tubuhnya

 

Begitulah cerita ini terus berputar pada porosnya

Azan berkumandang megajak lonceng katedral berdentang

Semua tertunduk dan memanjat harapan

Masing-masing kita masuk ke dalam tubuh

Dan mulai membaca mitos tentang kesempurnaan

Pada kamus kecil di kepala.

###

Segala tentang kesempurnaan adalah mitos

Yang membuka mata bahwa kita tak mampu menatap

Dan lidah tak mampu mengajar

Namun segala-galanya adalah air yang selalu mengalir dari sumbernya

Anak yang selalu datang dari orang tua

Pohon yang selalu hijau dari akarnya

Dan seterusnya

Ada.

Bunga plastik di depan altar Tuhanpun mekar

Seekor babi menjelma gadis

Anjing penjaga rumah mendatangkan petaka bagi tuannya

Batu bisa berbicara tentang perjalanan di tengah lumpur

Dan kita?

Hanya membaca zaman; menulis mimpi dan menduga-duga jawaban.

(2018)

 

Celana Alas

Hadiah ulang tahun pertama

Tempat orang-orang  menghitung usia

Dan mengeja panjang nama

“berapa celana alas yang telah kau pakai?”

(2017)

 

Sebelum ke Sekolah

: Ine nore Ame

Ine, pada ujung telunjukmu, kau teteskan embun kata,

Yang mengalir murni dari muara tubuh dan jiwamu.

Agar kelak, lidah mungilku menjelma seperangkat buku

Sedangkan engkau, ame

Setia membajak tubuh gundul gulana ini

Sambil menaburkan doa pagi

Lalu menyiramnya pakai peluh, agar kelak tumbuh

sebatang cendana berakar kekar

Putih pucuk, dan hijau rindang daunnya indah bentuk,

Agar burung pipit bersayap elang yang

Bersiul bebas di langit biru pun,

Boleh bersarang padanya,  

(2016)

*Rian Odel, bergiat dalam kelompok Arung sastra Ledalero