Oleh: Ben Senang Galus
Hak perempuan untuk turut berpartisipasi aktif dalam politik sejatinya sudah dilindungi oleh beberapa regulasi dan konvensi internasional, tetapi hal tersebut bukan hal yang mudah untuk direalisasikan.
Kita tidak bisa mengabaikan bahwa hegemoni patriarki telah membentuk image politik yang cenderung maskulinitas. Karakteristik yang seringkali diasosiasikan dengan maskulinitas seperti kejantanan, ketegasan, keberanian, kekuasaan, kemandirian, dan kekuatan fisik menjadi hal-hal yang sangat dipentingkan dalam menangani politik (Djelantik, 2009). Tanpa mengabaikan kemajuan yang sudah tercapai sejauh ini, secara umum harus diakui bahwa kultur patriarkis belum sepenuhnya bisa dihilangkan dari masyarakat modern (Darwin, 1999).
Partisipasi merupakan komponen utama dalam sebuah negara demokrasi. Hal ini dapat diartikan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengambil bagian dalam kegiatan politik di negaranya. Demokrasi tidak akan tercipta tanpa adanya partisipasi dari masyarakat untuk menentukan setiap kebijakan yang diambil oleh negara.
Partisipasi politik secara umum dapat didefinisikan sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara dan langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan publik.
Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, mengahadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota perlemen, dan sebagainya (Budiardjo, 2008).
Wacana peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di dalam parlemen merupakan bagian dari agenda perjuangan kesetaraan dan keadilan gender di seluruh dunia, begitu pula dengan Indonesia. Jumlah yang begitu timpang antara laki-laki dan perempuan di dalam tubuh parlemen disinyalir merupakan salah satu faktor dari belum terbentuknya infrastruktur hukum yang berkeadilan gender.
Dengan demikian, meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen diharapkan mampu menjadi penyeimbang dalam proses politik yang terjadi di tubuh parlemen dan meminimalisir adanya bias gender dalam produk hukum yang dihasilkan oleh parlemen.
Namun jika diamati lebih lanjut, problematika mengenai partisipasi perempuan dalam politik, khususnya keterwakilan perempuan di ranah parlemen tidak hanya persoalan kuantitas, tetapi juga bagaimana kualitas politisi perempuan.
Hal ini tentunya menyangkut bagaimana politisi perempuan yang duduk di parlemen mampu peka dan tanggap terhadap permasalahan gender sehingga mampu memperjuangkan hal tersebut dan menghasilkan produk hukum yang adil.
Setidaknya terdapat tiga persoalan representasi perempuan dalam politik di Indonesia. Persoalan pertama yaitu mengenai hubungan perempuan dan partai sendiri yang masih timpang sehingga demokrasi berlangsung tidak sehat.
Kedua yaitu kualitas internal partai memiliki pengaruh terhadap kondisi persoalan rekrutmen, seleksi dan regenerasi politisi. Ketiga yaitu terkait dengan kualitas individu politisi yang masih rendah (Nataresmi, 2014).
Patriarki merupakan salah satu variasi dari ideologi hegemoni, suatu ideologi yang membenarkan penguasaan satu kelompok terhadap kelompok lainnya (Darwin, 1999). Dalam hal ini masyarakat telah terhegemoni bahwa terdapat pemisahan peran dan ketimpangan yang amat jelas antara perempuan dan laki-laki. Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat, terutama perempuan sendiri, belum memiliki kesadaran penuh atas hegemoni patriarki yang seringkali mensubordinasikan perempuan.
Maka dari itu dalam upaya peningkatan partisipasi perempuan di ranah politik seharusnya tidak hanya dimaknai atau didorong dari sisi kuantitas, tetapi juga dimulai dari membangun kesadaran baru untuk menggeser konstruksi yang telah lama mapan. Begitu pula dengan membangun kesadaran perempuan untuk melawan pikiran awam yang membuat perempuan pasrah dengan kondisi yang ada.
Partai politik memiliki peranan yang sangat penting untuk menunjang kualitas dan kuantitas perempuan untuk masuk ke dalam politik praktis. Partai politik merupakan wadah untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan gender (Napsiah, 2009).
Kualitas dan kuantitas adalah dua hal penting yang harus diperhatikan dalam rangka mendorong partisipasi perempuan di dalam politik. Partai politik harus bisa terbebas dari stereotip yang menganggap bahwa politik merupakan ranah maskulin yang tidak cocok untuk perempuan. Penting untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik dengan meningkatkan kesadaran akan peluang yang ada, membangun kepercayaan diri dan keterampilan yang dimiliki oleh perempuan. Hal ini diperlukan sehingga kehadiran perempuan dalam arena politik tidak hanya sebatas formalitas belaka.
Kata patriarki secara harafiah berarti kekuasaan bapak atau “patriarkh (patriarch)”. Awalnya patriarki digunakan untuk menyebut suatu jenis “keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki”, yaitu rumah tangga besar patriarch yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak, dan pelayan rumah tangga yang semuanya berada di bawah kekuasaan si laki-laki penguasa itu.
Sekarang istilah tersebut digunakan untuk menyebut kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa dengan apa laki-laki menguasai perempuan, dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara. Di Asia Selatan, contohnya, disebut pitrasatta dalam bahasa Hindi, pidarshahi dalam bahasa Urdu, dan pitratontro dalam bahasa Bangla .
Patriarki juga dapat dijelaskan di mana keadaan masyarakat yang menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan5. Max Meber, sebagaimana dikutip Walby, misalnya, mendefinisikan patriarki sebagai sebuah sistem kekuasaan/pemerintahan yang mana kaum laki-laki mengatur dan mengendalikan masyarakat melalui posisi mereka sebagai kepala rumah tangga.
Yayasan Kesatuan Pelayanan Kerjasama (SATUNAMA), di bawah Unit Demokrasi dan Politik–Departemen Politik dan Demokrasi menyelenggarakan penelitian Perempuan di Pilkada: Studi Komparatif Pilkada 2015, 2017, dan 2018. Sekurang-kurangnya ada tujuh arus utama hasil penelitian ini, berikut rekamannya.
Pertama, perempuan menghadapi tantangan ganda dalam arena politik yaitu: struktur politik yang patriarkhi (tidak diprioritaskannya perempuan dalam kandidasi) dan elitisme politik (perempuan harus berkompetisi baik dengan aktor laki-laki maupun sesama perempuan dengan modal finansial, politik dan sosial yang kuat).
Kedua, masih kuatnya politik arus lelaki. Hal ini bisa dilihat dari: a) Minimnya perempuan yang terlibat dalam Pilkada serentak baik 2015, 2017 dan 2018. Dari ketiga pilkada di atas prosentasenya di bawah 10%. b) Prosentase jumlah kandidat perempuan yang diusung oleh partai politik pada Pilkada masih rendah yaitu di bawah 10%. Pilkada 2017 prosentase kandidat perempuan yang diusung oleh Partai Politik adalah 8,2% sementara pada Pilkada 2018 adalah 9,4%.
Ketiga, perempuan kandidat yang maju dalam Pilkada serentak 2018 didominasi oleh aktor dari kelompok yang dekat dengan lingkar kekuasaan, dan kecenderungannya meningkat.
Pada Pilkada serentak 2015 persentase kandidat perempuan yang berada pada lingkar kekuasaan 23% naik menjadi 24% pada Pilkada 2017 dan naik lagi menjadi 42% pada Pilkada 2018.
Keempat, kandidasi perempuan pada Pilkada serentak 2018 meningkat terlihat dari meningkatnya prosentase perempuan yang maju pada pilkada serentak 2018.
Kelima, terlihat kecenderungan progresif pada posisi yang diperebutkan kandidat yaitu 52% (atau 49 dari 94 kandidat) memperebutkan posisi kepala daerah.
Keenam, persentase kandidat perempuan yang memiliki perspektif gender pada Pilkada serentak 2018 adalah 40%. Ini meningkat jika dibandingkan dengan Pilkada serentak 2017 yaitu 37,8% namun menurun jika dibandingkan dengan Pilkada serentak tahun 2015. Persentase kandidat perempuan yang memiliki perspektif gender pada pilkada serentak 2015 adalah 57%.
Ketujuh, karena jumlah perempuan yang maju pada Pilkada 2018 persentasenya di bawah 10% maka jumlah perempuan yang terpilih juga persentasinya sangat kecil yaitu 2,7% dari keseluruhan kandidat yang berkontestasi (29 dari 1044 kandidat).
Pentingnya Keterwakilan Perempuan
Mengapa penting mendorong keterwakilan perempuan dalam politik? Pertama, berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, dari total 261,9 juta penduduk Indonesia pada 2017, penduduk perempuannya berjumlah 130,3 juta jiwa atau sekitar 49,75 persen dari populasi, namun pertanyaannya berapa persen perempuan yang maju dan terpilih dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah?
Kedua, kehadiran perempuan dalam politik diharapkan dapat membawa dan memperjuangkan hak-hak “perempuan” meliputi hak atas kesehatan, perlindungan dari kekerasan, kesehatan reproduksi, hak pekerja perempuan, jaminan ibu dan anak dan sebagainya.
Selain dua hal tersebut, ada tiga hal lain yang membuat partisipasi perempuan sangat penting dalam satu dekade belakangan ini: Pertama, tidak ada demokrasi yang sejati, dan tidak ada partisipasi masyarakat yang sesungguhnya dalam tata kelola pemerintahan dan pembangunan tanpa adanya kesetaraan dan keadilan partisipasi laki-laki dan perempuan di semua lini kehidupan.
Kedua, tujuan pembangunan tidak dapat dipelihara dan dipertahankan tanpa partisipasi perempuan. Ketiga, partisipasi perempuan membawa perubahan terhadap dunia yang kita huni dengan mempromosikan perspektif dan prioritas yang baru terhadap proses politik dan organisasi masyarakat.
Namun mendorong keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia merupakan hal yang tidak mudah. Salah satu upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan sudah dilakukan dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin peningkatan keterwakilan perempuan di kursi DPR.
Peraturan ini dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang di dalamnya juga mengatur pemilu tahun 2009.
Beberapa tantangan yang dialami kandidiat perempuan dalam politik bisa dilacak dari sebab kemungkina berikut ini: Pertama, perempuan kandidat menghadapi tantangan ganda (dual challenges) dalam arena politik. Struktur politik patriarki yang berujung pada tidak diprioritaskannya perempuan dalam kandidasi politik dan elitisme politik yang mengharuskan perempuan berkompetisi baik dengan aktor laki-laki maupun sesama perempuan dengan modal finansial, politik dan sosial yang kuat.
Kedua, masih kuatnya struktur politik arus lelaki (malestream political structure) dalam Pilkada. Hal ini ditunjukkan oleh minimnya calon perempuan yang terlibat dalam kontestasi Pilkada. Ketiga, perempuan kandidat yang maju dalam Pilkada didominasi oleh aktor dari kelompok yang dekat dengan lingkar kekuasaan (legislatif, petahana, pengusaha, birokrat), meski sebagian tidak memiliki pertalian dengan elit dominan. Keempat, Kandidasi perempuan dalam Pilkada mengalami stagnasi.
Kelima, meskipun stagnan dari segi kandidasi, terlihat kecenderungan progresif pada posisi yang diperebutkan oleh calon perempuan dalam setiap Pilkada. Keenam, rendahnya perspektif gender calon perempuan di Pilkada.
Namun yang menjadi persoalan ialah wacana “merangkul” perempuan sering hanya upaya menambah perolehan “suara partai” dan bukan untuk menerima “suara perempuan”. Itulah sebabnya perempuan sedikit “alergi” dengan politik. pengembangan program bagi penguatan kapasitas politik perempuan dan mendorong perempuan menduduki posisi-posisi penting pengambilan keputusan bersama/publik merupakan sebuah keniscayaan dalam perpolitikan Indonesia. Keterwakilan perempuan dalam perpolitikan nasional membawa warna tersendiri terhadap perubahan Indonesia ke depan.**
*) Ben Senang Galus, penulis buku “Kosmopolitanisme Satu Negeri Satu Jiwa”, tinggal di Yogyakarta