Oleh: Ben Senang Galus
Pemberantasan korupsi mesti sistematis dan masif. Pendidikan antikorupsi menjadi sarana sadar untuk itu. Pendidikan antikorupsi baiknya menyentuh aspek kognitif, afektif, dan konasi.
Tujuan utama pendidikan antikorupsi adalah mengubah sikap dan perilaku koruptif yang tertanam lewat kebiasaan dan pola pikir dalam masyarakat dan lingkungan.
Pendidikan antikorupsi membentuk kesadaran akan bahaya korupsi, kemudian bangkit melawannya. Menjadi champion dalam pemberantasan korupsi.
Pendidikan anti korupsi juga berguna mempromosikan nilai-nilai kejujuran dan tidak mudah menyerah demi kebaikan.
Seyogianya, pendidikan antikorupsi dikelola sebagai sebuah dialog, hingga tumbuh kesadaran kolektif tiap warga akan pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi.
Namun agar pendidikan anti korupsi di sekolah berhasil dijalankan, hendaknya juga terkoneksi dengan pendidikan di keluarga.
Pengalaman kami di Yogyakarta misalnya, sebelum siswa diajarakan pendidikan anti korupsi, terlebih dahulu orang tua murid diundang, diadakan sosialisasi, sehingga ada kesinambungan nilai yang diajarkan di sekolah dengan di rumah.
Pada periode tertentu diadakan pertemuan rutin dengan orangtua murid, semacam evaluasi.
Maka arah dari semua langkah itu adalah membangun kultur perlawanan terhadap budaya korupsi yang dimulai dari pendidikan keluarga, dengan sifat menciptakan efek jera, menanamkan budaya malu, menciptakan budaya kejujuran, budaya tanggung jawab dan berupaya untuk mencegah agar calon pelaku korupsi takut untuk berbuat serupa.
Maka untuk mewujudkan pendidikan antikorupsi, pendidikan di sekolah harus diorientasikan pada tataran moral action, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will) dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.
Lickona (1991), menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action.
Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang. Dengan demikian diharapkan potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal, baik pada aspek kecerdasan intelektual, yaitu penguasaan aspek kognitif, kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, serta menentukan mana yang bermanfaat.
Kecerdasan emosional, berupa kemampuan mengendalikan emosi, menghargai dan mengerti perasaan orang lain, dan mampu bekerja dengan orang lain.
Keecerdasan sosial yaitu memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerja sama, senang berbuat untuk menyenangkan orang lain.
Kecerdasan spritual, yaitu memiliki kemampuan iman yang anggun, merasa selalu diawasi oleh Allah, gemar berbuat baik karena lillahi ta’alah, disiplin beribadah, sabar, ikhtiar, jujur, pandai bersyukur dan berterima kasih.
Sedangkan kecerdasan kinestetik, adalah menciptakan kepedulian terhadap dirinya dengan menjaga kesehatan jasmani, tumbuh dari rezeki yang hahal, dan sebagainya.
Manusia yang mengembangkan berbagai kecerdasan tersebut, diharapkan siap menghadapi dan memberantas perbuatan korupsi atau bersikap antikorupsi.
Selain itu, untuk mewujudkan pendidikan anti-korupsi menurut Hujair AH.Sanaky, diperlukan partisipasi publik sendiri yang merupakan syarat mutlak agar kontrol publik bisa dilakukan secara efektif.
Partisipasi publik akan terwujud bila publik memperoleh cukup informasi. Lantas apa yang terjadi bila informasinya sengaja ditutupi? Ini berarti tidak ada keterbukaan. Bila tidak ada keterbukaan, tidak akan ada partisipasi publik, apalagi kontrol publik. Dan jika tidak ada kontrol publik, kekuasaan akan menjadi absolut yang artinya parktek-praktek korupsi makin menjadi-jadi.
Sebagaimana dikatakan Lord Acton; “Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutly”.
Karena itu memberikan informasi dan pendidikan bagi publik agar melek informasi, khususnya terkait dengan korupsi bukan hanya perlu tetapi sesuatu yang mendesak dilakukan.
Kearifan Lokal
Pendidikan antikorupsi juga perlu ditopang oeh kearifan-kearifan lokal (Local Wisdoms). Menggali kembali ajaran-ajaran luhur guna diterapkan dalam pendidikan antikorupsi.
Keunikan tradisi lokal selama ini tidak ditempatkan sebagai akar kebangsaan. Kebijakan politik, termasuk kebijakan sistem pendidikan, bersumber dari konsep monokultur. Akibatnya keunikan lokal tidak berkembang secara wajar. Karena itu kesadaran keunikan diri sebagai pengalaman otentik mesti ditempatkan sebagai akar pendidikan.
Pendidikan yang ada harus melihat keunikan-keunikan budaya lokal. Penerapan kearifan-kearifan lokal dalam pendidikan antikorupsi dapat memudahkan peserta didik memahami pengertian, bahaya, dan jenis perilaku korupsi.
Selain itu, mereka sadar bahwa leluhur memiliki ajaran-ajaran luhur yang amat menghargai kejujuran, keadilan, dan integritas. Di Manggarai, misalnya, dikenal budaya Ritak dan Rantang (malu dan takut).
Dalam kehidupan orang-orang Manggarai, Ritak dan Rantang menjadi unsur prinsipil dalam diri mereka. Ritak dan Rantang adalah jiwa, harga diri, dan martabat orang Manggarai.
Tidak ada nilai paling berharga dan patut dipertahankan selain Ritak dan Rantang. Dia menjadi inspirasi setiap langkah orang Manggarai.
Orang Manggarai bersedia mengorbankan apapun demi tegaknya Ritak dan Rantang dalam kehidupan sehari-hari. Korupsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan budaya Ritak dan Rantang. Budaya melayani dan berbuat jujur adalah implementasi Ritak dan Rantang. Dalam masyarakat Manggarai, seseorang disebut manusia bila memiliki Ritak dan Rantang.
Masih banyak kearifan-kearifan lokal di Manggarai. Kearifan-kearifan lokal seperti ini mestinya digali, dikembangkan, dan diawetkan guna dimasukkan dalam materi pendidikan antikorupsi.
Dengan begitu penanaman nilai-nilai antikorupsi akan lebih mudah dipahami dan diterima oleh seluruh peserta didik.
*)Ben Senang Galus, penulis buku “Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi, tinggal di Yogyakarta