Borong, Vox NTT- Proyek tower Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) di Wae Sele, Desa Lembur, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), NTT, ditolak tuan tanah.
Pasalnya, pembangunan SUTT tersebut tidak melalalui prosedur dan standar yang benar.
Bonefasius Bola (56), tuan tanah di Wae Sele, membeberkan alasan penolakannya.
Pertama, kata dia, ritual adat yang dilakukan oleh pemerintah desa tidak melalui pemilik tanah. Kedua, survey tidak melalui pemilik tanah dan ketiga penebangan secara ilegal tidak sepengetahuan pemilik tanah.
” Harus tidak boleh babat dan tidak boleh lewat kabel,” tegas Bone kepada VoxNtt.com, Rabu (16/1/2019) malam.
Kata dia, tidak ada sosialisasi kepada pemilik tanah. Ia bahkan siap bertanggung jawab dengan berbagai risiko akan diterima di balik penolakannya.
Kronologis
Bone mengaku sudah melakukan upaya pemberhentian atas proyek SUTT tersebut.
“Setelah kami melakukan penolakan upacara adat yang dilakukan oleh pemerintah desa. Desa janji nanti kami panggil kamu untuk melakukan upacara adat,” ungkapnya.
Namun, hingga kini surat pemanggilan itu belum diterima Bone dan pemilik tanah lainnya.
Namun, kata Bone, tanggal 14 Januari 2019 ada penebangan hutan Wae Sele.
“Saya tanya siapa yang suruh, mereka jawab kepala desa Lembur. Kamu yang tebang di sini ada tidak aparat desa, ada pak kepala dusun dan satu aparat desa, maka saya bilang hari ini stop, waktu itu saya hitung sudah ada 10 kayu besar yang ditebang,” aku Bone.
Karena tak puas, Bone dan 15 orang tuan tanah lainnya menghadap kepala desa.
” Tanggal 15 Januari saya bersama anggota, 15 orang ke rumah pribadinya kepala desa. Kami beritahu bapak kepala desa hutan yang melindungi mata air Wae Sele telah dibabat orang, anda yang suruh atau tidak?” tanya Bone kala itu.
“Jawaban kepala desa tidak. Saya tidak tau. Setelah itu dia bilang kamu tunggu surat panggilan dari saya,” imbuhnya.
Senada dengan Bone, Nikolaus Jala (67) selaku tua adat mengungkapkan tanah itu merupakan warisan leluhur yang perlu dijaga.
” Di situ ada mata air dan di situlah harapan para petani bahkan seluruh masyarakat Desa Lembur,” ungkapnya.
Sejarah
Menurut Niko demikian ia disapa, Tanah Wae Sele dibagikan pada tahun 1950 oleh Fedatus Kembung.
Tanah itu pun dibagi menjadi beberapa bagian.
Di bagian atas milik Kembung, Nggada, Ndolu, Mando, Ndo’i, Jama. Sebelah bawah milik Tanggang, Tanis, Taros, Jani.
Sedangkan di bagian bawah dari Tanggang dan anggotanya, dapatlah mereka yang dari Tanah Rata yang dipimpin oleh Dominikus Sarong dan beberapa orang lainnya yakni Jani, Jala, Babu, Latu, Wajo.
Menurut Niko, pertama kali, air Wae Sele dimanfaatkan, dibuatlah ritual adat dengan dokong torong (kerbau berwarna merah). Kerbau dipotong oleh Fedatus Kembung selaku pemilik tanah ulayat.
” Yang awal satu kali dengan tiga ekor kerbau dan dibunuh, sebagai bagian dari ritual adat dan hadiri oleh para pemilik tanah,” imbuh Niko.
Menurut Niko, air Wae Sele pernah diminta oleh pihak seminari, namun ditolak oleh Fedatus kembung.
“Dari seminari pada tahun 1953 datang minta air oleh Pater Foensia tapi tidak diizinkan, setelah itu datang Pater Leo Perik tidak izin, terakhir datang Pater Gregorius Mantero namun Fedatus Kembung tidak mengizinkan untuk memakai air itu,” jelasnya.
Alasan Kembung, jelas dia, yakni memikirkan anak dan cucunya kelak.
Setiap tahun kata Niko, para petani Wae Sele sebelum memulai mengolah tanah, wajib melakukan ritual adat dengan seekor babi dan ayam. Ritual itu dilaksanakan di bagian hulu (dekat mata air).
Bahkan kata Niko, persawahan yang diairi dari mata air Wae Sele sudah pernah mendapatkan bantuan berupa irigasi sejak tahun 2015 hingga 2017.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba