Oleh: Edy Soge
Mahasiswa STFK Ledalero
“Hanya orang yang pandai bicara adalah sungguh-sungguh manusia.”
Quintilianus (35-100), bapak ilmu retorika berkebangsaan Romawi mengatakan demikian karena berbicara adalah kemampuan khas manusia.
Hanya manusia yang memiliki kesanggupan untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya secara sistematis lewat bahasa, baik itu bahasa tulis maupun bahasa lisan (berbicara).
Bahasa menjadi medium penting dan utama dalam komunikasi, diskursus atau dialektika di dalam hidup bersama.
Tidak ada komunitas manusia tanpa bahasa. Manusia memiliki bahasa dan dengan itu sanggup berbicara. Dan dari pembicaraanlah seorang manusia dikenal dan diakui.
Debat perdana capres dan cawapres paslon Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandi yang diselenggarakan di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (17/1/2019) dengan tema hukum, HAM, terorisme dan korupsi menjadi contoh bagaimana kesanggupan berbicara-retorika-berargumentasi turut menentukan kualitas manusia dan perolehan kemenangan dalam sebuah diskusi atau debat.
Dari pemaparan visi dan misi, pengungkapan opini, saling beradu argumen, menjawab pertanyaan, mencecar pertanyaan dan closing statement, kita bisa menilai pihak mana yang kemampuan dialektikanya mantap dan elocutio (kelancaran berbicara) yang cermat.
Di sini ditekankan kesenian untuk berbicara baik (Kunst, gut zu reden atau Ars bene dicendi) atau secara teoretis kita sebut retorika yang (menurut saya) merupakan dinamika penting dalam debat pilpres 2019.
Dengan ini kedua paslon dituntut untuk menggunakan hukum-hukum retorika (doctrina), melakukan latihan berbicara yang teratur (exercitum), penguasaan bahan (res), dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa (verba).
Menafsir Debat Perdana Pilpres 2019
Dari sudut pandang paradigma defenisi sosial, kita bisa menafsir dan memahami (interpretative understanding) momentum debat perdana pilpres 2019 yang secara sosiologis bisa disebut sebagai tindakan sosial.
Menurut Max Weber (1864-1920), pelopor dari paradigma ini, tindakan sosial adalah tindakan yang mempunyai arti bagi dirinya sendiri dan diarahkan kepada orang lain; tindakan yang penuh arti dari seorang individu. Sebaliknya tindakan yang diarahkan kepada benda mati bukanlah suatu tindakan sosial, kecuali tindakan kepada benda mati memancing reaksi dari orang lain (Raho, 2016: 43).
Kedua paslon berada di atas pentas diskursus (debat), saling berbicara, adu argumentasi didasari oleh kesadaran dialektis dan diarahkan kepada telos (tujuan) yang akan dicapai. Apapun yang dibuat dalam debat itu memiliki arti dan maksud dan itu mendapat tanggapan dari pihak di luar dirinya.
Dengan ini kemungkinan interpretasi dapat dijabarkan, diungkapkan dengan patokan pada teori tindakan sebagai bagian dari paradigma defenisi sosial.
Teori tindakan menyatakan bahwa tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subjek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai objek. Sebagai subjek, manusia bertindak untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Aktualisasi diri ini menggunakan cara, teknik, prosedur, metode, serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut. Kemudian manusia memilih, menilai, dan mengevaluasi tindakan yang akan, sedang, dan telah dilakukannya. Manusia bisa membuat pertimbangan-pertimbangan tertentu (Raho, 2016: 44-45).
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelenggarakan debat calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) dengan tujuan baik yaitu supaya kedua pihak dapat menyampaikan visi dan misi di depan publik Indonesia, memberikan gagasan dan solusi serta cita-cita kebangsaan; tanggap-menanggap dan dengan itu publik menilai mana yang tepat menjadi pilihan.
Debat ini bisa saja kita baca sebagai “promosi” politik menjelang pesta demokrasi yang turut membangun opini publik, menarik perhatin warga pemberi suara, dan serentak menunjukkan “produk” ide penyelenggaraan negara yang terpercaya. Jokowi- Ma’ruf Amin atau Prabowo-Sandi tergantung rakyat pemilih sebab kuasa itu milik rakyat. Demikian substansi demokrasi.
Saya berpendapat bahwa debat perdana pilpres 2019 tidak begitu alot dan sedikit saja menyinggung hakikat sebuah debat. Berikut kurang adanya tanggap menanggap, tetapi berpusat pada ide utama pihak sendiri.
Debat juga mempertontonkan kurangnya saling pengertian rasional dan kurangnya disiplin waktu. Waktu yang ditentukan untuk berbicara sudah selesai, tetapi sepertinya pembicara belum menyelesaikan uraiannya.
Sebaliknya waktu berbicara masih tersedia, tetapi pembicara memilih tidak bicara. Dialektika dan elocutio masih harus dipertimbangkan.
Pos Kupang edisi Kamis, 17 Januari 2018 mengekspos sebuah berita dengan judul: Jokowi Tak Ada Persiapan Khusus, Prabowo Pilih Istirahat. Jokowi mengakui tidak melakukan persiapan secara khusus.“Ya, kita datang saja,” kata Jokowi usai menghadiri acara wiraswasta ASN dan Pensiunan di Sentul, Bogor, Rabu (16/1/2019).
Sementara capres nomor urut 02 Prabowo memilih untuk beristirahat menjelang debat perdana. “Istirahat, santai-santai,” kata Zulkifli (Ketua Dewan Penasehat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi), ketika ditanya kegiatan Prabowo-Sandiaga hari Rabu (16/1/2019).
Barangkali kesibukan atau rasa percaya diri sebagai “tokoh” yang mengurangi persiapan-persiapan teoretis dan empiris menjelang debat.
Paslon nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf Amin saat pemaparan visi dan misi dan saat menjawab pertanyaan tampak santai (tidak ragu), suara mengalun tegar dan tenang berwibawa (percaya diri). Ada keyakinan dari dalam diri bahwa apa yang dikatakan merupakan cita-cita bersama demi bonum communae Indonesia, dan yang dikatakan itu ada yang sudah dan sedang terealisasikan.
Tindakan berbicara Jokowi dilandasi kesadaran dan diarahkan pada tujuan dan itu dibuat dengan penuh keyakinan. Tatapan wajah yang teduh dan kemampuan menyatakan tidak setuju terhadap lawan bicara memancing respon pendengar yang ramai bertepuk tanga nsambil bersorak, menyebut nama Jokowi.
Jokowi dalam konteks debat berbicara sebagai calon presiden mungkin saja menggugah kesadaran dan menumbuhkan keyakinan publik. Beliau tentunya berbicara dari apa yang dialaminya dan dibuatnya sebagai presiden, tahu duduk persoalan berbangsa dan tahu solusi. Jelas dalam kata penutupnya.
Tindakan Jokowi sebetunya diapresiasi dan dibawa terus untuk refleksi hidup berbangsa dan bernegara. Namun Jokowi menolak memberikan apresiasi, sapaan damai dan positif untuk lawan bicara.Ia mengatakan “cukup” dan hanya ingin “ayo kerja”. Apakah ada sedikit amarah yang terselip dalam hatinya? Wajar dan rasional jika manusia merasa marah dan jengkel. Namun, apakah perasaan itu realis dan masuk akal?
Sedangkan paslon nomor urut 02 Prabowo-Sandi tampak bersemangat, berwibawa, dan elegan. Keduanya cukup lancar dalam memaparkan visi dan misi, mencoba mengajukkan pertanyaan yang menggugat otoritas, dan sesekali menyelipkan frasa bahasa Inggris.
Orang bisa saja menilai Prabowo pintar berbicara. Namun apakah kelancaran berbicara itu mendukung kecermatan dan ketelitian berbahasa? Ada kata yang salah diucapkan atau dilafalkan oleh Prabowo saat mengungkapkan gagasannya (misalnya kata membingungkan). Dan ia dinilai menuduh oleh Jokowi terkait kasus hoax Ratna Sarumpeat.
Apakah benar Prabowo menuduh atau sekedar taktik membidik titik lemah lawan bicara? Ada saat ketika Prabowo ingin memberikan tanggapan tetapi moderator tidak mengizinkan sebab segmen berbicara, bertanya dan menjawab sudah ditentukan.
Probowo kemudian spontan menari santai entah didorong oleh situati psikis tertentu. Ekspresi lahiriah adalah cerminan jiwa tentang disposisi batin dan suasana hati. Apakah menari karena gembira atau sekedar topeng menutupi kesalahan?
Kemudian tambah riuh saat wakilnya memijat punggung Prabowo tanpa sebuah permintaan. Apakah Prabowo kelelahan atau kecapaian dalam debat yang tidak menguras daya kerja otot? Dinamika-dinamika sederhana yang spontan memancing tawa pendengar dan itu menunjukkan lemahnya performance Prabowo-Sandi.
Setiap kata yang diutarakan paslon nomor urut 02 adalah untaian-untaian cita-cita, harapan, utopia yang selalu tidak pasti dan menyisihkan banyak pertanyaan.
Dikatakan demikian karena Prabowo-Sandi meskipun tokoh penting dalam Gerindra, belum pernah merasakan kursi empuk presiden. Mereka berbicara dari hasil pengamatan dan refleksi pribadi atas setiap problem negara.
Mereka berbicara tentang apa yang akan mereka realisasikan jika terpilih. Mereka menamai visi dan misi mereka dengan Indonesia Menang. Pertanyaannya apakah ada musuh yang harus dilawan dan dikalahkan untuk memperoleh kemenangan? Jika ada, musuh-musuh apa saja yang harus dilawan? Apakah ada “peperangan” dalam negara ini sehingga harus Indonesia menang? Apakah mungkin Indonesia menjadi pemenang?Barangkali latar belakang pengalaman hidup turut menentukan opini seorang pemimpin.
Debat Dialektika dalam Politik
Dalam bidang politik bentuk percaturan pendapat sering dipraktekkan. Debat adalah dialektika dalam berpolitik untuk menemukan kebenaran politik dalam negara demokrasi.
Tanpa debat dan diskursus, politik mati negara berlalu. Politik adalah dialog rasional. Maka politisi adalah “pakar” dialog (pembicara atau retor yang baik) yang sanggup menyapa semua orang, rajin berpikir, memiliki kesempatan bincang-bincang, bertanya dan menjawabi persoalan secara bersama.
Debat pilpres 2019 adalah dialektika politik yang mengagumkan. Kesempatan bagi calon pemimpin untuk berbicara kepada publik tentang visi dan misi serta cita-cita kebangsaan. Saling adu gagasan, berbantah lewat argumentasi untuk menentukan pendapat siapa yang berhasil dan menarik perhatian publik.
Kesempataan ini menjadi peluang bagi masyarakat untuk menilai dan menafsir siapa yang terbaik dan pantas menjadi presiden NKRI. Akhirnya, salam dialektika, salam diskursus!