Oleh: Dominggus Elcid Li
Korps kepolisian RI di bawah Tito memanggil Rocky Gerung untuk meminta keterangan terkait pernyataan Rocky yang berbunyi ‘kitab suci itu fiksi’. Ya, entah, apa yang ada di benak Tito dan kalian?
Sebagai aktivis politik berlatar pendidikan filsafat Rocky sedang bermain dengan nalar. Ucapannya mungkin dianggap ekstrim, tetapi jika membandingkan dengan ucapan Rodrigo Duterte, ucapan Rocky belum seberapa. Rocky berbicara dari panggung pemilihan presiden yang memilukan, sedangkan Duterte berbicara dari posisi kursi presiden. Rocky dalam posisi menentang kekuasaan, dan Duterte dalam posisi memainkan kekuasaan. Duterte memicu kemarahan para pemimpin Katholik karena menyebut ‘God is stupid’.
Ide tentang tubuh politik (body politics)-nya Jokowi yang dikritik Rocky Gerung dalam orasi-nya terbukti saat ini. Jokowi sebagai seorang manusia adalah manusia yang sangat sederhana dan baik, tetapi Jokowi sebagai rezim politik tidak mampu membedakan wilayah kritis yang bisa dibahas dengan menggunakan hukum postif atau tidak.
Saya berpandangan bahwa Tito sebagai komandan polisi dalam kasus Rocky Gerung sedang bermain api yang tidak perlu, ranah kritis tidak perlu dijawab dengan surat panggilan. Apa tidak ada intelektual kaliber dari kubu Jokowi yang bisa menyampaikan tanggapan secara elegan, bahkan berdebat dengan Rocky, sehingga elemen koersif negara harus dipakai untuk berhadapan dengan Rocky?
Kenapa Tito main api? Pertama, negara kita bukan negara theokrasi. Meskipun kita hidup dalam budaya politik Jawa yang lebih mementingkan populasi (cacah) daripada luas wilayah, memang ada kelompok mayoritas beragama Islam yang hidup di pulau-pulau tertentu. Pertanyannya, dalam kasus kitab suci ini kelompok Islam mana yang tersinggung? Jika Gus Dur masih hidup, apakah Gus Dur akan tersinggung? Ataukah ia lebih cerdas dari Jokowi untuk berbicara berhadapan dengan Gerung? Involusi nalar semacam ini tidak bisa ditutupi.
Kedua, Tito sebagai pemimpin sebuah institusi seharusnya paham bahwa ia harus menjaga jarak dari ‘politik kekuasaan’. Apa buktinya? Dalam kasus Rocky kaum beragama di kubu mana yang tersinggung?
Ketiga, dalam logika oposisi biner, artinya ‘jika bukan A maka B’, strategi komunikasi politik yang diterapkan oleh kubu Jokowi menelan semua yang busuk dari kubu Prabowo. Entah naif, atau sekedar kesalahan yang sengaja dibuat, terasa bahwa para pendukung Jokowi sedang mengambil alih posisi Alumni 212 yang pernah dikritik.
Mengapa demikian? Ketika Rocky berbicara di masjid, pendukung Jokowi malah berujar ‘kenapa ada orang kafir bicara di masjid’. Sebagai bahan debat kusir di media sosial bisa saja menggiring agar Rocky diadili oleh para pendukung 212, tetapi implikasi yang sedang dibentuk bertentangan dengan konstitusi republik.
Pemilihan presiden, manusia yang konon dipilih dari 200-an juta manusia di kepulauan ini, untuk mengurus nasib bangsa umurnya cuma sekian hari, keberlanjutan republik lebih dari itu. Jangan hanya permainan kekuasaan, lantas rumah yang bernama republik itu dianggap tiada. Dalam kacamatan Republiken, alumni 212 dan Amien Rais keliru dalam aksi politik, dan apa yang dibuat Tito sebagai Kapolri dalam kasus Rocky juga sama kelirunya.
Keempat, polisi bisa punya waktu untuk menangani kasus politik kekuasaan, tetapi terhadap sekian kasus perdagangan orang di neraka kemiskinan di rumah saya di Nusa Tenggara Timur tidak ditangani, malah korps polisi mengurusi sesuatu yang abstrak, kecuali anda turunkan dalam kacamata iman.
Hal-hal yang jelas di mata tidak ditangani. Mulai dari polisi yang tidak bikin di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dan malah jadi pejabat di Polda metro Jaya, dalam kasus perbudakan orang NTT di Medan (Lihat video di youtube ‘Kabar Dari Medan’), hingga Presiden yang gagal menegakkan rule of law untuk korban perbudakan, padahal dokumen perbudakan sudah diserahkan ke tangan tuan Jokowi (dan saya serahkan sendiri).
Lalu sampai di sini, apakah kita yang kecewa dengan petugas partai lantas menganggap ‘Republik itu fiksi’? Ataukah kami yang tinggal di neraka kemiskinan ini ikut menganggap ‘Tuhan telah mati’, dan kitab suci sekedar ekstasi manusia pemalas?
Kelima, sebagai penulis, saya terganggu. Ketika polisi yang biasa menilang orang, atau meneliti tentang perkara pembunuhan ikut-ikutan menyidik kesalahan pilot di cockpit saya bertanya, apakah cukup kemampuan polisi untuk menyidik kesalahan para pilot (selain yang terkait tes urin narkoba)? Lalu polisi mau masuk dalam mengadili premis-premis filsafat ketuhanan? Apakah anda sehat?
Tidak semua orang beragama punya kitab suci. Agama alam (natural religion, sebutan orang asing) di tempat kami, dalam tradisi nenek moyang di pedalaman Timor tidak punya kitab suci. Tetapi ‘Uis Neno’ itu diyakini ada. Kitab-kitab asing muncul sekian abad silam. Apakah kalian juga akan masuk dalam lorong waktu dan memeriksa proses kelahiran agama-agama abrahamik yang sangat narsistik ini–setiap bersembayang harus diperlihatkan dan diketahui dunia? Dan setiap pertikaian harus dibawa ke taraf hidup-mati?
Republik punya kitab sendiri, dan saya anggap suci. Namanya konstitusi. Aturan dasar itu mengatur tata hidup kita bersama. Jika alumni 212 lebih mementingkan cacah (baca: mayoritas populasi) dalam berpolitik, dan Jokowi juga demikian (Jokowi juga orang Jawa), maka alat negara yang namanya polisi tidak boleh keliru. Polisi seharusnya menjadi garda republik, dan tidak bermain dalam politik kekuasaan. Struktur republik harus dijaga.
Republik Indonesia bukan fiksi, karena Republik bukan fiksi maka prinsip egaliter wajib dijalankan. Kritik terhadap Tito atau pun Jokowi atau siapa pun harus dijamin. Karena dalam Republik yang sakral itu konstitusi, ada aturan dasar yang mengatur posisi atau cara duduk (sila) dalam hidup publik. Jika sekali mengganti dasar negara, kita tidak pernah mungkin kembali.
Dalam Pemilu lalu saya pilih Jokowi. Sampai mati saya tidak akan pilih Prabowo. Tetapi saya menghargai kawan-kawan yang memilih dan bekerja untuk Prabowo.
Kita wajib menggeleng terhadap kekuasaan, jika keliru. Saya setuju dengan Rocky di bagian ini. Soal kitab suci, pernyatannya bukan untuk dibantah, apalagi diperiksa polisi. Wilayah hukum positif tidak akan mampu memeriksa klaim filsafat (yang sifatnya abstrak). Di bagian ini saya rindu Gus Dur, bukan Jokowi.
Bagi saya kekeliruan reformasi dimulai saat Gus Dur dikudeta. Ketika ke lubang buaya beberapa minggu lalu, di museum baju-baju piyama yang dipakai terakhir para jendral Angkatan Darat dipampang di sana. Gus Dur ketika keluar hanya menggunakan piyama. Baju tidur. Gus Dur tidak pernah diperhamba oleh kekuasaan, walaupun pendukungnya tidak ikhlas membiarkan Gus Dur dikudeta. “Kekuasaan tidak perlu dipertahankan mati-matian…” Hal yang sama ditunjukkan oleh Bung Karno, mati dalam tahanan rumah meskipun sekian angkatan masih berdiri di belakangnya.
Baik Bung Karno dan Gus Dur tidak pernah diperhamba oleh kekuasaan. Kader PDIP dan PKB harusnya lebih tahu dari saya. Kita tidak boleh keblinger…
*Penulis adalah Warga Negara Republik Indonesia
Catatan redaksi: Tulisan ini diambil dari Facebook penulis, Dominggus Elcid Li. Redaksi memuatnya atas persetujuan penulis.