Oleh: Jean Loustar Jewadut
Mahasiswa STFK Ledalero, Tinggal di Ritapiret, Maumere
Demokrasi adalah sebuah proses panjang. Kelahirannya ribuan tahun silam di Yunani memerlukan waktu berabad-abad.
Demikian juga yang dialami bangsa-bangsa di Benua Eropa. Mereka telah mengusahakan terciptanya negara demokratis dengan berjuang melawan kekerasan dan kekejaman dua perang dunia.
Di Indonesia, demokrasi telah melewati proses yang panjang dan melelahkan. Jika demikian, tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa kesetiaan pada proses akan melahirkan demokrasi.
Namun, pertanyaan provokatif yang muncul adalah apakah kesetiaan pada proses sungguh melahirkan demokrasi yang bisa menjamin kedaulatan dan kesejahteraan rakyat?
Sejenak menelisik realitas demokrasi di Indonesia beberapa waktu akhir-akhir ini, demokrasi kita kian diramaikan oleh adegan politik di atas penderitaan rakyat.
Politik yang pada galibnya akrab dengan kehidupan rakyat dan yang substansinya jelas menjamin kemashalatan rakyat, berevolusi menjadi sarana yang menjamin kesejahteraan kaum elit semata.
Politik digiring ke dalam penjara kepentingan para elit, sementara rakyat makin terlempar jauh menuju jurang ketidakadilan dan kemiskinan struktural.
Kenyataan korupsi yang diaktori oleh mereka yang berkendaraan plat merah kian berseliweran di mana-mana seraya membahasakan bahwa kehidupan demokrasi kita sudah masuk pada taraf kehancuran yang mencemaskan rakyat.
Berbagai realitas destruktif yang mewarnai kehidupan demokrasi di Indonesia sebenarnya ingin membahasakan problem klasik demokrasi yaitu kuantitas wacana demokrasi yang tidak berjalan searah dengan kualitas.
Keseringan melakukan wacana demokrasi belum memberi efek yang berarti bagi peningkatan kualitas kehidupan demokrasi. Untuk konteks Indonesia, perlu diakui bahwa kuantitas wacana demokrasi patut diacungi jempol.
Hal tersebut terbukti melalui keseringan menjalankan pemilihan umum, jumlah partai politik yang semakin banyak dan jumlah calon anggota lembaga legislatif yang semakin bertambah.
Persoalan mendasarnya adalah keseringan menjalankan pemilihan umum tidak memberi jaminan bagi tampilnya pemimpin yang populis. Jumlah partai politik yang semakin banyak belum mampu menjadi modal yang meningkatkan kualitas demokrasi sebab banyak partai politik yang kehilangan ideologi partainya karena digantikan oleh ketokohan seorang figur tertentu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai partai dan partai adalah dirinya.
Ada partai politik tertentu pula yang mandek sistem kaderisasinya karena alasan keterdesakan waktu. Jumlah calon anggota lembaga legislatif yang semakin bertambah juga tidak menjadi jaminan lantaran ada calon tertentu yang hanya terobsesi pada kekuasaan, kekayaan dan ketenaran.
Demokrasi Borjuistik
Jika ditanya mengenai defenisi demokrasi, maka hampir pasti orang akan ramai-ramai menjawab “pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat”.
Aspek dari dan oleh sering dimaknai sebagai aspek prosedural dari demokrasi. Bahwa seorang pemimpin yang demokratis mesti dipilih dari dan oleh rakyat. Sebuah pemilihan yang sungguh-sungguh berasal dari rakyat akan bebas dari segala tekanan dan intimidasi.
Jelas bahwa seturut jargon demokrasi, rakyatlah yang berdaulat dalam sebuah negara demokratis. Rakyat memiliki kuasa penuh atas politik tanpa tekanan dan intimidasi. Dalam sebuah negara demokratis, calon pemimpin berasal dari rakyat, dipilih oleh rakyat melalui sistem pemilihan umum dan selanjutnya pemimpin yang terpilih mewajibkan dirinya berjuang untuk kepentingan rakyat.
Meninjau perjalanan demokrasi kita saat ini, sepertinya status rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam konstelasi politik dilanda bencana yang membahayakan bahkan mematikan.
Banyak kebijakan politik yang dijalankan setengah hati yang pada gilirannya akan mewariskan korupsi yang beranak cucu. Rakyat menderita sengsara dan hidup melarat sebagai akibat dari ketidakadilan dan kemiskinan struktural, tetapi pada saat yang sama banyak pemimpin kita yang sibuk mengenyangkan perut dan mempertebal dompet milik pribadi.
Bahkan menjadi lebih parah ketika kemiskinan rakyat menjadi objek yang dipolitisir. Politisasi kemiskinan adalah upaya untuk menempatkan kemiskinan sebagai objek politik, objek untuk memperoleh kekuasaan.
Politisasi kemiskinan tidak pernah melihat kemiskinan sebagai persoalan krusial yang mesti segera diatasi, melainkan dipandang sebagai sesuatu yang bernilai politis sehingga terus dibiarkan.
Konsekuensi logisnya adalah yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Gap antara rakyat yang miskin dengan kaum elit yang kaya raya semakin menganga lebar. Kenyataan di atas sudah cukup membahasakan bahwa kita sebagai rakyat sudah tidak dianggap lagi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Demokrasi kita saat ini kian jauh panggang dari api kedaulatan rakyat. Demokrasi yang pada hakikatnya akrab dengan kehidupan rakyat, kini bermetamorfosis menjadi demokrasi yang akrab dengan kehidupan kaum elit.
Inilah yang dinamakan dengan demokrasi borjuistik yaitu demokrasi yang hanya dinikmati oleh kelas menengah ke atas atau kelas borjuasi dan hanya melayani kepentingan mereka. Demokrasi semacam ini bisa juga dijadikan alat yang penggunaanya semata-mata menguntungkan kelas elit.
Demokrasi borjuistik dalam pernyataan Harold D. Lasswell cenderung mencanangkan kegiatan-kegiatan politik yang sesungguhnya merupakan produk dari “alasan-alasan pribadi yang mengatasnamakan kegiatan umum dan dirasionalisasikan menurut jasa umum” (Eduardus Lemanto, 2013:3).
Demokrasi borjuistik menjalankan perannya dengan memegang teguh prinsip etsi populus non daretur (seolah-olah rakyat tidak ada). Yang ada hanyalah kaum elit/borjuasi dengan segala kepentingan mereka dan demokrasi didesain sedemikian rupa untuk memenuhi segala kepentingan mereka. Aspek untuk rakyat serentak berubah menjadi untuk diri sendiri dan keluarga.
Demokrasi borjuistik jarang sekali mendiskusikan persoalan-persoalan politik krusial yang jauh lebih substantif seperti masalah urgen apa yang sedang dihadapi masyarakat, kebutuhan konkret apa yang dibutuhkan warga, lalu merencanakan strategi-strategi apa saja yang bisa mengatasi berbagai persoalan tersebut.
Hal-hal seperti di atas bukan cakupan wilayah demokrasi borjuistik. Demokrasi borjuistik membatasi dirinya hanya pada persoalan-persoalan seputar kaum borjuis: bagaimana strategi untuk memenuhi kepentingan kaum borjuis? Dalam rangka memenuhi kepentingan kaum borjuis, semua strategi dan upaya, termasuk yang melawan hukum menjadi sebuah kemungkinan.
Jika demikian, tidaklah heran kalau korupsi menjadi hal yang sangat lumrah dalam sistem demokrasi borjuistik.
Demokrasi borjuistik secara metafor bisa diterangkan oleh David Low, dari Center for the Study of Cartoon and Caricature, University of Kent, Canterbury pada tahun 1933 silam, yang membuat sebuah kartun politik yang sangat menarik dan mengandung makna politis yang mendalam.
Melalui kartun yang dibuatnya, Low melukiskan demokrasi dengan seekor kuda kurus yang ditunggangi oleh tiga orang pria berbadan gemuk dan seorang lainnya lagi menarik ekor kuda kurus tersebut.
Pada jarak semeter di depan kuda kurus tersebut, ada seekor anjing yang sedang menyalak. Gonggongan anjing itu pasti ditujukan kepada tiga orang pria berbadan gemuk yang tidak tahu malu menunggangi kuda kurus itu secara beramai-ramai (Max Regus, 2009:117-118).
Kuda hanya akan berhasil dalam menjalankan tugasnya untuk mengantar orang menuju sebuah tempat tujuan jika beban yang berada di punggungnya tidak terlampau berat (sesuai dengan kemampuan kuda yang bersangkutan). Jika beban yang berada di punggungnya terlampau berat, pemenuhan tugas untuk memobilisasi orang dari satu tempat ke tempat lain hanya sekadar menjadi angan-angan saja.
Kisah kuda kurus yang ditunggangi oleh tiga orang pria berbadan gemuk sebagaimana digambarkan Low dapat melukiskan realitas destruktif demokrasi kita saat ini.
Demokrasi dapat dianalogikan dengan seekor kuda kurus dan para pemimpin politik kita dapat diumpamakan dengan tiga orang pria berbadan gemuk. Tak dapat disangkal bahwa demokrasi kita dewasa ini terlalu dibebani oleh perilaku keji para pemimpin politik.
Pemimpin politik yang dalam hal ini bertindak sebagai penunggang demokrasi sedang mendistorsi prinsip-prinsip fundamental demokrasi seperti kesetaraan, keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat.
Berbagai perilaku keji para pemimpin politik menjadi beban yang terlampau berat untuk ditunggangi oleh demokrasi. Akibatnya, demokrasi gagal mengantar rakyat yang empunya kedaulatan untuk menikmati kesejahteraan hidup dalam berbagai bidang kehidupan.
Menanggapi perilaku keji para pemimpin politik, rakyat bagaikan “anjing” yang tak pernah berhenti menggonggong agar perilaku-perilaku apopulis dan apolitis yang dilakonkan para pemimpin politik dihentikan sehingga substansi demokrasi yaitu kedaulatan dan kesejahteraan rakyat sungguh-sungguh terwujud.
Demokrasi Patriotis
Demokrasi harus mengenakan wajah aslinya yaitu demokrasi patriotis. Demokrasi patriotis adalah demokrasi yang dijalankan untuk kepentingan nasional dan kepentingan negara. Demokrasi semacam ini sungguh-sungguh dijalankan dengan baik dan benar demi kebaikan rakyat.
Baron de Montesquieu memperkenalkan gagasan inspiratifnya tentang demokrasi “prinsip demokrasi mestinya adalah sebuah kebajikan dan kebajikan itu adalah patriotisme yakni cinta akan republik dan hukum” (Eduardus Lemanto, 2013:53).
Demokrasi patriotis memerlukan para pemimpin yang berjiwa patriot, yang bekerja melampaui kepentingan diri maupun faksi demi kesatuan nasional dan kesejahteraan rakyat.
Seorang pemimpin yang berjiwa patriot adalah seorang yang memahami dan menghayati demokrasi secara lengkap: dari, oleh dan untuk rakyat. Adalah satu pemenggalan terhadap demokrasi, kalau ada orang yang menghadapi demokrasi sebagai peluang menyelenggarakan kekuasaan dari dan oleh rakyat tetapi untuk dirinya sendiri.
Pemimpin yang berjiwa patriot tidak akan aman hidupnya jika belum berhasil melakukan sesuatu yang berguna bagi kesejahteraan rakyatnya.
Egosentrisme dikuburkannya dan kepekaan terhadap kebutuhan riil rakyat semakin ditingkatkannya. Kepekaan itu hanya akan muncul melalui keseringan berada bersama rakyat.
Pemimpin yang berjiwa patriot adalah seorang yang tidak hanya duduk manis di kursi kekuasaannya, tetapi berani turun, berada bersama rakyat, mengalami apa yang dirasakan rakyat, mendengarkan apa yang dibutuhkan rakyat dan selanjutnya berusaha memenuhi kebutuhan rakyat melalui berbagai kebijakan yang sungguh-sungguh menunjukkan keberpihakan pada seluruh rakyat.
Demokrasi patriotis adalah sistem penyelenggaraan kekuasaan yang diketahui dan dikontrol oleh rakyat. Rakyat bebas mencari informasi, menanyakan kepada pemimpin berbagai kebijakan yang masih membingungkan dan tidak menjawabi kebutuhan, menyampaikan kritik dan saran demi kebaikan bersama.
Sebab itu, ciri lain pemimpin yang berjiwa patriot adalah sikap dan tindakannya yang selalu mau dikontrol dan dikritik oleh rakyat.
Seorang pemimpin yang menolak kontrol dari rakyat, yang merasa tersinggung karena kritikan yang disampaikan rakyat, sebenarnya tidak mempunyai komitmen terhadap demokrasi patriotis.