*)Cerpen Jimmy Y. Hyronmus
“Akhirnya. Sudah lama ya ketika terakhir kali aku melihatmu. Perjalanan dari Rusia ke Indonesia makan waktu 20 jam, setidaknya butuh satu kali transit di Qatar. Tapi kurasa itu tak seberapa ketika melihatmu sekarang. Lalu rumah ini, sepertinya tidak banyak yang berubah, kecuali, pusaran makam ibumu di depan rumah.” Si ayah tanpa basa-basi menelusuri setiap jengkal rumahnya yang telah ditinggal 20 tahun.
“Kenapa tidak direct flight saja, dari Domodedovo airport ke Ngurah Rai, kan lebih singkat? Dan juga aku sengaja tidak membuat banyak perubahan, karena aku tidak ingin merusak kenangan ayah. Aku yakin, suatu saat kau akan pulang. Hadiah perjumpaan yang bisa kuberikan hanyalah kenanganmu.”
“hahahaha…jarak, dari tempat tinggalku ke Domodedovo lumayan jauh. Satu setengah jam perjalanan. Belum kalau macet. Lagipula aku juga tidak mau terlalu cepat bertemumu. Biar rasa penasaran itu membakar jiwaku. Terlepas dari itu, aku senang karena kau mau merawat ingatanku. Tapi sebenarnya aku sudah membunuh semua kenangan itu, kecuali kau dan ibumu. Karena kalian adalah kenangan abadi. Tapi rumah ini, beserta rezim yang bertumbuh bersamanya sudah kulupakan selama pelarian ke Rusia.”
“Aku tahu kau kesakitan oleh ingatan itu. Tapi masa lalu tidak pernah berlalu. Dia abadi, bertumbuh bersama kita. Mungkin mati suri bersama pikun yang dibawa umur, tapi paling tidak dia tetap hidup dalam ruang ketidaksadaran.”
Dua orang pria, yang satu paruh baya dan lebih muda, dan yang lainnya sudah uzur, bisa dilihat dari keriput wajahnya yang tidak bisa disembunyikan kosmetik apapun, saling melepas rindu. 20 tahun sudah mereka tak berjumpa. Dipisahkan jarak, Indonesia dan Rusia.
20 tahun lalu Si ayah harus mengasingkan diri ke Rusia karena menjadi buronan dalam negeri. Bukan karena melakukan kejahatan, tetapi karena menentang rezim yang korup waktu itu. Moskow menjadi pilihan, karena sekutu dianggapnya sebagai musuh. Sementara soviet kala itu dinilainya lebih aman. Apalagi dia punya kenalan di Moskow, Ginar, teman sejawat waktu kuliah di Universitas Barkeley yang lebih dulu lari ke sana karena diburu rezim.
“Tapi, aku masih heran, kenapa sampai ayah bisa membelot? Padahal dulu ayah juga masuk jaringan kekuasaan. Sampai sekarang aku belum mendengar alasan pasti. Terakhir kau hanya berkata, ‘jangan sampai kepalamu utuh karena pro rezim. Bolongi dia demi kebaikan’”.
“Pertanyaan itu terlalu cepat. Kenapa tidak mulai dengan pesan terakhir isteriku, ibumu.” Sang ayah mengedipkan matanya, menyentil anaknya manja.
“Tidak juga, tapi kupikir kau lebih suka membuka dengan topik politik. Akan ada banyak waktu untuk membahas ibu. Sekarang aku ingin pertanyaan yang selama ini meracuni otakku menemukan penawarnya dulu.” Sang anak merasa bersalah. Tetapi tetap ngotot dengan rasa ingin tahunya.
“Baiklah kalau kau sudah tak sabaran. Memang kataku tempo dulu terlalu metaforis. Waktu itu kau masih terlalu kecil untuk paham.” Sambil mengusap kacamatanya si ayah mulai menjelaskan.
“Singkat saja. Aku tidak ingin kau jadi anjing peliharaan rezim. Peliharaan harus selalu siap disembelih ketika membelot. Matinya tidak mulia. Berbeda dengan, pemberontak. Memang juga diburu rezim bahkan harus siap disembelih. Tapi matinya mulia. Darahnya tumpah menggenangi seluruh negeri atas nama kebaikan.” Sang Ayah memulai percakapan dengan motivasi kuat.
“ Mulanya aku juga masuk dalam rezim. Karena aku dididik di sekolah yang dirancang khusus demi kepentingan ‘bule-bule’ rakus itu. Tapi nak, urat nadi patriotis telah berakar dan tertanam dalam kulit keriput ini.” Sang Ayah melanjuti sambil menunjuk ke arah pergelangan tangan yang kelihatan bersusah payah membungkus tulang yang terus menyembul keluar.
“Hahahahaha….dasar bodoh. Sok pahlawan. Padahal dulu, kita punya harta yang banyak. Kenapa, tidak cabut saja urat nadi itu, tambal dengan yang lain. Bisa kan? Tahan sedikit saja rasa sakitnya.” Pertanyaan menggoda dilontarkan si anak.
“Oh, rupanya otakmu juga telah tidur. Makanya jangan terlalu sering nonton sinetron juga membaca tulisan bergenre romantis, cinta-cintaan. Baca juga karya-karya Prameodya, Jonatan Stroud, Khaled Hosseini. Supaya otakmu itu tetap terjaga. Supaya nadi pejuang itu juga berakar dalam dirimu.”
“Ia aku tahu penulis-penulis itu memiliki semangat pejuang. Ayah juga sama. Tetapi paling tidak cari amanlah sedikit. Jangan terlalu frontal. ”
“Pengecut namanya itu. Kami akan mati kalau tidak mengeritik ketimpangan. Urat nadi kami berdenyut karena kritik. Kalau kau mencangkoknya, lalu menggantinya, kami lebih memilih mati. Logikanya sederhana, barang bajakan tidak punya kualitas yang baik.” Si ayah menjawab dengan enteng.
“Yah minum dulu, baru lanjutkan perbincangannya.” Sang menantu menyela pembicaraan. Seolah telah lama berjumpa, sudah akrab. Tapi sepertinya itu hanya laku canggung saja. Basa-basi pada awal jumpa. Tidak enak kalau langsung banyak bicara.
“Bercakap-cakap sambil menyeduh kopi lebih nikmat. Apalagi ayah sedang capek, menempuh perjalanan jauh dari Moskow.” Si menantu kemudian menuangkan ke cangkir-cangkir kaca, satu untuk suaminya, dan satu buat Bapak mantu.
Harum kafein menguar, bersahutan dengan aroma kamboja yang tumbuh di samping makam ibu membungkus ruang jumpa dua pria itu. Momennya pas, apalagi suhu dingin sudah menyapa dan mencium kulit keriput si ayah. Memang tidak seekstrem cuaca di Rusia, tapi tetap saja, untuk orang berusia 75 tahun, suhu 20 derajat celcius sudah kelewatan dinginnya. Paling tidak segelas kopi dapat mengekstrak hangat dalam tubuh.
“Minumlah, ini sempurna,” sang ayah, menyeduh kopi itu sambil menutup mata. Mencoba membangkitkan ingatan 20 tahun silam.
“Omong-omong. Itu isterimu? Aku lupa memberikan salam perjumpaan.”
Tidak ada kata yang keluar dari mulut si anak kecuali anggukan kepala.
“Oh ya. luar biasa pilihanmu nak, kau punya isteri yang cantik. Dia mirip ibumu.” Sentilan genit keluar dari mulut pria tua itu.
“Ah…jangan kau berpikir, aku meminangnya untuk merawat ingatan juga ya. Kami telah menikah selama 5 tahun.”
Perbincangan mereka sedikit mencair. Topik keluarga menjadi reklame lepas rindu itu. Rupanya sang ayah telah menjadi kakek. Hanya dia belum punya cap sah.
Sang cucu hanya berjumpa via foto pas yang dipajang di ruang tamu. Sudah begitu hitam putih lagi. Entah bagaiamana pikiran sang cucu ketika melihat perubahan sang kakek sekarang. Tidak setampan dan setegap dulu, seperti yang ada di foto.
Tapi family time hanya bertahan sebentar. DNA patriotis sekaligus nasionalis memang sudah mengakar dalam diri si ayah. Bisa ditebak tema seputar kemajuan bangsa kembali diangkat. Apalagi dulu ia juga adalah tahanan politik . Pasti ada rasa penasaran tentang situasi pasca jatuhnya rezim.
“Lalu, bagaimana kabar negeri ini. Adem ayem bukan? Kudengar dari Sasono, banyak yang telah berubah. Kami sempat berjumpa di Mechta, di kafe tempatku bekerja. Tapi waktu itu dia sudah hijrah dari gelanggang politik.”
Sambil menghela nafas panjang sang anak menyahut “Yah….berubah, tapi tetap saja ada benalu.”
“Ah masa? Anak-anak bos rezim lama?”
“Bukan, tetapi ideologinya. Oligarki.”
“Ah perkara mudah itu. Kan sekarang pers punya kebebasan yang luas. Tidak ada lagi bredel-bredelan seperti dulu. Lalu setiap orang juga punya kesempatan untuk mengontrol. Ada banyak karya-karya yang bisa menjadi oposisi. Pasti ada banyak kritik. Bisa menjadi masukanlah buat pemerintah” sambil menyeduh segelas kopi yang dihidangkan sang ayah memancing jawaban dari anaknya.
“Justru itu masalahnya. Benar kata orang. Lebih susah melawan musuh dalam selimut. Pergerakannya misterius. Timingnya sempurna. Nah media kita? Terkadang mereka hanya mengejar rating. Belum lagi pemiliknya yang adalah politisi, amburadullah pokoknya beritanya. Lalu karya-karya saat ini? Banyak sih, tetapi terlalu melankolis dan idealis lalu lupa buat mendarat. Atau mungkin tidak ada landasan buat mendarat. Memabukkan.” Dari ekspresi sang anak, si ayah tahu bagaimana ruwetnya situasi negeri ini.
“Jadi benar kata Sasono. Kebobrokan tidak hilang, malah menjadi dewasa. Lalu, diberi asupan gizi oleh para politisi. Dan di tempat lain baby sitter yang seharusnya mengasuh dan menjaga sibuk dengan hal-hal percintaan. Mau jadi apa negeri ini nanti? Tapi paling tidak ada sisi positifnya. Kalian masih bisa bersuara. Tidak dikekang”
“Ya…itu dulu yah. Sekarang ada pengadilan masal. Salah berkata, berarti sedang mengikuti seleksi menjadi napi. Orang jadi takut berkoar. Takut salah diksi.” Si anak kemudian menarik secarik koran yang berisi kasus penistaan agama.
Dengan seksama kata demi kata dibaca si ayah. “Emang Tuhan selemah itu, harus dibela? Ngawur orang-orang ini. Lalu bagaimana dengan Korupsi? Paling tidak agak berkurang kan?” Mata yang mulai sayup termakan usia itu mencuri pandang dari balik kacamata klasiknya menanti jawaban sang anak.
“Ia yah berkurang kelompoknya, tetapi semakin banyak pesertanya. Korupsi sekarang dilakukan pribadi per pribadi. Dulu mungkin hanya oleh petinggi-petinggi negara dan yang pro rezim, sekarang, siapapun korup. Dari pegawai biasa hingga kelas atas. Tidak peduli oposisi maupun tidak. Pokoknya satu jalur hanya beda kendaraannya saja.”
“Ohh begitu, jadi tidak berubah. Malah lebih parah. Tapi kubaca di koran tadi, mereka juga Tuhan ya? Donatur.”
“Benar, oleh rakyat yang kelaparan mereka adalah Tuhan. Tapi ironi juga, menerima sejuta dan melepas 1 milyar. Tiada kata yang bisa menggambarkannya. Huruf-huruf itu terlalu sedikit membentuk makna yang tepat,… mungkin” sang anak menimpal tapi sedikit agak ragu.
“Dari ekspresimu, sepertinya kau sudah putus asa. Jadi teringat kata Lev Tolstoy ‘kita kalah karena kita mengatakan pada diri sendiri bahwa kita kalah.’ Kau pikir dalam pelarianku ini, aku vakum bersuara? Fisikku mungkin jauh, tapi pikiranku tetap ada di negeri ini. Aku sering surat menyurat dengan Sasono. Lewatnya aku menyampaikan gagasan-gagasanku. Aku lega, karena ada tokoh-tokoh reformis seperti mereka yang masih bertahan di negeri ini.”
“Itu lagi jadi problem. Beberapa tokoh reformasi juga membelot. Kehabisan lahan untuk mengais harta, mereka akhirnya terjun bebas. Berbaur dengan oposisi haus kuasa. Mengais emas di gundukan sampah. Atau cara lainnya dengan tidur seranjang dengan penguasa. Agar bangunnya sama-sama melihat kuasa, padahal bukan milik mereka. Milik rakyat. Tidak tahu malu”
“ Tapi oposisi kan penting?”
“Iya benar, tapi masalahnya ini soal kepentingan. Pragmatis. Begitu tujuan pribadi tercapai kritikan menjadi vakum. Apalagi kalau kertas itu mulai bekerja. Buyar semua kritikan itu.” Sambil menunjuk lembaran uang 100 ribu yang ada di atas meja sang anak menimpal.
“Hmm…runyam juga situasinya. Susah membuat perlawanan kalau begitu. Sudah begitu nalar kritis juga telah mabuk asmara. Sayang kalau ada banyak yang meremehkan kritik lewat tulisan. Padahal huruf-huruf itu dapat membentuk kata, lalu kata menjadi sarana komunikasi yang kemudian membentuk lingkaran kehidupan. Hanya kalau kata-kata sudah terjebak cinta-cintaan yang terlalu idealis itu, apa jadinya lingkaran kehidupan bangsa ini?”
Ada jeda dalam perbincangan itu. Keduanya lalu sekian menit tanpa kata saling menatap. Mungkin ingin melihat sesuatu yang sama seperti 20 tahun lalu, sekedar bernostalgia.
“Lalu kau? Arahmu ke mana? Bermain api cinta yang membakar juga? Kudengar kau adalah dosen sekaligus novelis?” sang ayah memecah keheningan dengan pertanyaan menjebak.
“Ayah…aku mencoba bermain di zona nyaman. Tidak cenderung kiri, juga tidak terlalu kanan. Cendekiawan kata orang. Prinsipnya aku dianggap orang baik itu sudah cukup.” Sang anak berusaha membela diri.
“Orang baik katamu? Menurut siapa? Penguasa?Camkanlah ini nak, orang baik jauh lebih jahat dari orang jahat ketika dia berdiam diri melihat ketimpangan. Shakespeare pernah bilang, para pengecut pernah mati berkali-kali sebelum kematian mereka yang sesungguhnya. Kau juga mau mati berkali-kali?”
Tidak ada jawab. Hanya sepasang mata kosong menatap lilin yang dibakar sang isteri di makam ibu. Sang anak tidak punya alibi lagi. Selama ini dia memang sadar akan hal itu, tetapi berusaha yang pura-pura tidak tahu.
Hari semakin larut. Burung hantu yang biasa bertengger di pohon kamboja samping makam ibu sedang berjaga. Langit juga telah lelah bersinar. Menyisakan sebuah cahaya berbentuk sabit.
Hanya ada cahaya sabit itu dan bintang seperti remah-remah roti yang terlihat. Sang ayah belum ngantuk. Dia masih perlu beradaptasi. Sementara sang anak? Dia telah sangat ngantuk, tetapi malu untuk pamit setelah pertanyaan pamungkas dari sang ayah. Dia menjadi malu. Sedari tadi menggonggong kebobrokan negeri, tetapi hanya tahu mengomel tanpa aksi.
Percakapan mereka tidak tampak menemui waktu usai. Walau semakin canggung.
“Anakku…bagaimana de…”
Prak…sebuah hantaman keras menghujam ubun-ubunku.
“Mas, lihat tu, rokokmu sudah tinggal puntung. Kopi juga tinggal ampas. Terus, balpoin itu sudah habis tintanya. Sana beli dulu yang baru. Persediaan yang ada semua sudah kau gunakan.”
Rupanya hujaman itu berasal dari Yuni isteriku. Aku terlalu asyik menulis dan bercakap dengan ideku sampai lupa diri. Tapi begitulah, banyak yang telah habis dikorbankan sementara kisah tentang negeri ini tidak pernah habis, begitu juga tulisanku. Masih banyak yang harus dikupas. Banyak. Pokoknya masih banyak yang harus dikupas.
*Penulis adalah Penggiat Sastra, tinggal di Maumere, Flores, NTT