Oleh: Jean Loustar Jewadut
Mahasiswa STFK Ledalero dan Anggota Centro John Paul II, Tinggal di Ritapiret
Kebiasaan menjadikan tanggal 14 Februari sebagai hari untuk mengungkapkan kasih dan perhatian di kalangan milenial (kaum muda), telah masuk juga ke wilayah kita.
Konon, dalam masyarakat tradisional, berbagai kesempatan pesta adat atau tarian massal, merupakan kesempatan yang diciptakan untuk mempertemukan orang-orang muda, sekaligus merupakan ajang bagi mereka guna untuk saling mengungkapkan perasaan.
Berbeda dengan zaman now, Hari Valentine dengan berbagai bentuk perayaannya merupakan versi modern dari kebiasaan yang telah ada itu.
Hari Valentine sering disebut juga sebagai hari cinta. Karena disebut sebagai hari cinta, maka orang berusaha mengarahkan penyelenggaraan perayaan kaum muda ini menjadi sebuah kesempatan untuk merenungkan arti cinta secara universal.
Kaum muda diingatkan akan dimensi luas dari cinta, yang hendak merangkul segala, dan karena itu tidak akan pernah dapat dijawab hanya oleh penyerahan diri dari dan kepada satu orang yang dicintai.
Kerinduan yang disebut sebagai cinta itu mahaluas, tak sanggup dipuaskan hanya oleh cinta seorang manusia. Cinta mesti selalu membuka diri dan membuat orang terbuka bagi banyak orang lain, juga bagi daya cinta ilahi.
Hanya dengan demikian cinta tidak memenjara, tetapi membebaskan. Sebab itu, kaum muda diingatkan pada hari ini untuk selalu membuka mata bagi kebutuhan orang lain, mengungkapkan cinta terhadap orang-orang yang sedang memerlukan uluran tangannya.
Justru dalam keterbukaan seperti ini cinta menunjukkan keharumannya. Cinta yang mengurung orang lain dan memenjarakan diri sendiri, akan membusuk dan membusukkan.
Cinta telah menjadi sebuah kata yang tidak asing lagi bagi setiap orang. Setiap orang pasti membutuhkan cinta dari sesamanya. Tentang defenisi cinta, tidak ada suatu defenisi yang mutlak. Setiap orang mempunyai argumentasi masing-masing dalam mendefenisikan cinta sesuai dengan pengalaman cinta yang dialaminya.
Ada yang mengatakan cinta itu menggembirakan, namun ada juga yang mengatakan bahwa cinta itu menyakitkan. Proses bertumbuhnya cinta juga sangat bervariasi pada setiap orang.
Ada orang yang cintanya bertumbuh pada hal-hal yang sangat sederhana, namun ada juga orang yang cintanya tumbuh pada hal-hal yang luar biasa.
Ada seseorang yang cintanya langsung bertumbuh pada pandangan pertama, namun ada juga yang cintanya tumbuh melalui pembiasaan, dengan pertemuan dan komunikasi yang berkali-kali.
Lebih lanjut, cara mengungkapkan cinta juga sangat beragam pada setiap orang. Ada orang yang penuh keberanian dan kepercayaan diri tingkat tinggi langsung mengutarakan cintanya kepada seseorang, namun ada juga yang menggunakan jasa teman (atau yang sering disebut dengan “jembatan”) untuk membantu mengungkapkan cintanya.
Ada orang yang mengungkapkan cintanya melalui gerakan-gerakan tubuh, namun ada juga orang yang mengungkapkan cintanya melalui pemberian barang-barang seperti setangkai bunga mawar, boneka, coklat, cincin, kalung, gelang, baju dan lain sebagainya.
Singkat kata, konsep cinta, proses bertumbuhnya dan cara mengungkapkannya sangat bervariasi pada setiap orang. Karena sangat bervariasi, maka cinta itu unik adanya.
Cinta itu baik adanya. Cinta mempunyai tujuan yang amat luhur yaitu membahagiakan kedua insan yang sedang menjalani masa-masa cinta.
Namun, maraknya fenomena seks bebas yang bisa berujung pada kehamilan di luar nikah bahkan sampai pada tindakan aborsi seakan-akan melunturkan tujuan cinta yang luhur tersebut. Dalam hal ini, insan yang bercinta membuat cinta mendapat nilai merah.
Cinta sekadar dijadikan sebagai kuda tunggangan untuk mencapai kepuasan dan kenikmatan. Instrumentalisasi cinta untuk bisa merasakan “surganya dunia” menjadikan insan yang bercinta semata-mata digerakkan oleh nafsu.
Menjadi begitu jelas bahwa untuk konteks fenomena seks bebas, cinta yang dibina dan dikembangkan bukannya bertujuan untuk membahagiakan, tetapi menghancurkan masa depan kedua pihak. Lantas, apa sebabnya?
Hemat saya, penyebab utamanya adalah konsepsi yang keliru tentang cinta. Cinta hanya dilihat sebagai sarana pelampiasan nafsu birahi. Cinta yang demikian sering dinamakan cinta eros.
Cinta eros membuat seseorang melihat lawan jenisnya sebagai objek pelampiasan nafsu. Ada juga orang yang membangun konsepsi keliru bahwa cinta sejati tanpa seks adalah sebuah kebohongan. Seakan-akan, cinta sejati harus selalu dibuktikan melalui seks.
Pada prinsipnya, seksualitas pria dan wanita tidak dimaksudkan untuk pembuktian cinta. Hubungan seksual hanya menjadi pembuktian atas janji yang telah dinyatakan secara publik bahwa mereka benar-benar saling menerima dan mengasihi satu sama lain.
Menurut saya, cinta yang dibuktikan melalui hubungan seksual untuk konteks di luar perkawinan yang sah tidak layak dinamakan cinta sejati. Cinta sejati selalu mengusahakan kebahagiaan, bukan hanya kenikmatan jasmani semu semata.
Perlu diingat bahwa kenikmatan semu tidak selalu menjamin kebahagiaan. Kebahagiaan itu soal disposisi batin, sedangkan kenikmatan itu menyangkut fisik. Tubuh boleh saja mengalami kenikmatan, namun kenikmatan yang dialami tubuh tersebut belum tentu menjamin kebahagiaan batin. Itulah yang terjadi dalam konteks seks bebas.
Setiap manusia memiliki daya erotisme. Untuk melukiskan daya erotisme dalam diri manusia, Marc Gafnifni pernah menulis sebuah metafora tentang “lebah terperangkap.” Seekor lebah terperangkap dalam sebuah botol putih.
Dari luar, ia tampak menari-nari penuh gairah, meliuk dari sisi ke sisi, dari dasar ke puncak. Namun, dari dalam, ia bernasib malang. Sebenarnya tak ada tarian sukacita dalam botol itu. Tak ada liukan bergairah yang menyentuh dinding-dinding botol itu. Yang ada cuma napas satu-satu teriring harapan supaya bisa keluar dari dalam botol itu. Perlahan tapi pasti, sang lebah pun lunglai lalu mati kehabisan napas.
Bagi Gafnifni, erotisme itu seperti lebah yang terperangkap dalam sebuah botol putih. Di satu sisi, ia membahasakan gejolak yang bergelora dalam diri, yang membebaskan dia dari sepi, meskipun dia sedang berada di tengah-tengah kegemerlapan pesta.
Di sisi lain, ketika erotisme itu diekspresikan tidak sesuai dengan norma yang tentunya akan merugikan pihak lain, seperti fenomena seks bebas, maka sama seperti lebah tersebut, sebenarnya tidak ada pesta, apalagi kebahagiaan. Ketika semuanya selesai, mereka akan kembali berhadapan dengan penyesalan, kesedihan dan kehampaan. Seks bebas atau pelecehan seksual adalah sebuah bentuk erotisme yang error.
Revolusi Cinta
Menanggapi maraknya fenomena seks bebas sebagai akibat bangunan konsepsi yang keliru tentang cinta, melalui media ini saya ingin memberikan beberapa masukan tentang revolusi cinta.
Pertama, cinta yang terlibat. Penghayatan cinta terlibat sungguh-sungguh membuat seseorang merasa bahagia di kala orang yang dicintainya bahagia dan tersenyum di kala orang yang dicintainya tersenyum, tetapi juga merasa sedih pada saat orang yang dicintainya sedih dan menangis saat orang yang dicintainya menangis.
Kedua, cinta yang bertanggung jawab. Penghayatan cinta yang bertanggung jawab memampukan seorang lelaki untuk mencintai seorang wanita apa adanya, bukan ada apanya. Yang diusahakan dalam cinta yang bertanggung jawab adalah kebahagiaan kedua pihak yang saling mencinta.
Cinta yang bertanggung jawab mendorong seseorang untuk melepaskan ego pribadinya, seperti yang diutarakan oleh seorang penyair “Jangan membakar tubuhmu, tetapi bakarlah egomu! Cinta akan muncul dengan sendirinya.”
Ketiga, cinta yang peduli. Cinta yang peduli mewajibkan seseorang untuk dengan berani mengatakan “salah” jika orang yang dicintai bertindak salah. Kesediaan secara jujur untuk mengatakan “salah” adalah tanda bahwa seseorang peduli terhadap nasib orang yang dicintainya dan menginginkan agar orang yang dicintainya selalu berjalan dalam kebenaran.
Cinta yang peduli juga mengharuskan kesediaan untuk saling melengkapi satu sama lain. Prinsip dasar yang harus dipegang teguh adalah: “Kekurangan pada orang yang dicintai harus selalu diminimalisir oleh kelebihan pada diriku”.
Keempat, cinta yang rela berkorban. Menurut kisah, ada dua Valentine yang pesta namanya pernah jatuh besamaan pada hari ini. Namun kini nama keduanya tidak tercantum lagi dalam penanggalan liturgi Gereja Katolik untuk hari ini.
Valentine yang satu adalah seorang imam yang dibunuh sebagai martir di kota Roma pada sekitar tahun 270, sementara yang lain adalah seorang uskup dari Terni, sebuah kota sebelah utara Roma, yang juga dibunuh sebagai martir pada waktu yang sama.
Boleh jadi kedua versi cerita ini mengungkapkan satu tokoh yang sama. Mulai abad ke-4 mulai muncul kebiasaan untuk menghormatinya sebagai orang kudus.
Dari Valentine, kita belajar tentang makna cinta yang rela berkorban. Cinta yang demikian rela mengorbankan apa saja, termasuk nyawa sekalipun demi kebahagiaan orang yang dicintainya, sebab kebahagiaan orang yang dicintai juga menjadi kebahagiaan orang yang mencintai. Segala sesuatu mudah dikorbankan jika seseorang berani keluar dari kenyamanan diri sendiri demi kenyamanan diri orang yang dicintainya.
Akhirnya, saya berpesan “Jadikanlah hari valentinemu sebagai momen terindah untuk berbenah diri dan berkomitmen untuk menjaga kemurnian cinta dalam petualangan cinta kalian bersama dengan orang yang sangat kalian cintai”.
Happy Valentine Day For You All From the Bottom of My Heart! Salam Hari Valentin dari sahabat untuk para sahabat.