*) Cerpen Jimmy Y. Hyronimus
Malam itu di alun-alun desa, sejumlah lelaki berkumpul. Suasananya begitu tegang. Masing-masing orang cemas dengan kejadian yang telah menimpa desa Siong dua minggu terakhir. Terhitung sejak dua minggu yang lalu, sudah 6 gadis dari desa Siong yang hilang diculik orang tak dikenal. Tiada satu pun saksi mata yang melihat peristiwa itu.
Akan tetapi, menurut kabar burung yang beredar, mereka diculik untuk dijadikan tenaga kerja ilegal di negeri tetangga. Para lelaki di desa itu pun akhirnya memutuskan untuk mengambil sikap. Mereka tidak mau anak-anak gadis mereka dijadikan korban human trafficking.
Malam itu juga mereka memilih Sony, seorang pemuda gagah dari desa Siong, untuk menjadi pemimpin. Tekad mereka sudah bulat, apa pun caranya mereka harus menemukan jalan keluar dari masalah yang telah menimpa desa dua minggu terakhir. Mereka juga harus mampu menemukan kembali para gadis yang telah diculik dari desa.
*****
“Aldi, aku masih belum puas. Pokoknya aku masih belum puas”, kata Sony sambil mondar-mandir di depan Aldi.
“Son, apalagi masalahnya sekarang? Bukankah kita sudah berhasil menemukan para gadis?” ketus Aldi.
“Aku rasa, hanya menemukan para gadis bukan memecahkan masalah yang ada”, timpal Sony sambil menatap Aldi serius.
“Kau tahu Di, jika kita masih membiarkan para penculik itu berkeliaran di luar sana, berarti mereka masih akan melakukan aksi mereka di desa lain. Atau bahkan bukan tidak mungkin mereka akan kembali ke Desa ini”, lanjut Sony penuh yakin.
“Ah, sudahlah, kalau memang mereka melakukan aksi mereka di desa lain, itu urusan warga di sana. Untuk apa kita terlalu ambil pusing. Nah, kalau mereka kembali ke desa kita, baru kita beraksi”, jawab Aldi dengan santai.
“Tapi, dari ekspresi wajahmu, aku curiga, ada sesuatu yang kau sembunyikan. Ini pasti ada kaitannya dengan Intan? Benar bukan? Ayo mengakulah”, rutuk Aldi dengan wajah mengejek.
“Memang sih, aku juga takut kehilangan Intan lagi, tapi kan….” Sony tidak melanjutkan perkatannya. Dia menjadi grogi ketika disinggung soal Intan.
Intan adalah salah satu gadis yang menjadi korban penculikan oleh orang-orang tak dikenal itu. Beruntung berkat usaha Sony dan teman-temannya kini Intan berhasil kembali ke desa.
Kisah penculikan itu menjadi awal dari kisah cinta Sony dan Intan. Paras Intan yang menawan ampuh meluluhkan hati Sony. Walaupun bertemu dalam suasana yang sedikit menegangkan, Sony tetap merasakan debar yang hebat di jantungnya. Ia pun akhirrnya akui, ia tak sekadar kagum. Ia jatuh cinta pada Intan.
Berawal dari situ, wajah Intan selalu singgah di mimpi-mimpi malamnya. Ia selalu memikirkan Intan, meneleponnya, dan mengajaknya jalan-jalan. Karena keseringan bersama Intan, ia akhirnya tahu apa yang disukai Intan dan bagaimana harus merebut hatinya, hingga suatu saat yang sulit ia lukiskan sendiri, Intan renggut di hatinya.
Di bukit Sylvia yang indah, di situlah Sony jujur menyatakan perasaannya kepada Intan. Anggukan malu-malu dari Intan menjadikan hari itu terasa singkat baginya. Intan menjadi wanita pertama yang mengisi ruang paling sunyi di hatinya.
Benih cinta Intan dan sony kian hari kian tumbuh subur. Sony merasa seperti seekor elang yang beruntung, di mana sayap-sayapnya adalah Intan sendiri. Begitu juga Intan, gadis jelita itu merasa seperti bebunga yang mekar di sisa musim hujan, di mana Sony adalah kelopaknya, yang selalu siaga menopang sekalipun musim terus berganti.
Rindu adalah ranting-ranting yang tak pernah mati meski kadang mereka terpisahkan oleh jarak. Dan jarak telah mengajarkan mereka arti kesetiaan yang sesunggguhnya. Itulah cinta sejati: tetap mencinta dengan sungguh, sekalipun dilakukan di dalam ruang-waktu yang terbatas.
Awalnya, Sony memang sempat ragu. Dia begitu dicemaskan oleh tuntutan belis yang mahal, yang bisa saja menjadi aral bagi hubungannya dengan Intan.
Dia hanya seorang yatim piatu, tidak punya banyak modal, dan masih belum memiliki pekerjaan tetap. Tuntutan belis yang tidak kecil tak mungkin dapat ditebusnya. Tapi dia masih punya keyakinan yang selalu dijaganya baik bahwa pasti akan ada jalan keluar jika memang Intan adalah pelengkap yang sepadan baginya. Lagipula, Sony tak ingin Intan kecewa sebab dia sendiri tahu betapa besar cinta Intan untuknya.
**********
Sore itu, langit begitu cerah, secerah wajah Sony yang sudah siap melamar Intan. Setelah bertahun-tahun mempertimbangkannya, Sony akhirnya berani membuat sebuah keputusan besar dalam hidupnya: melamar Intan.
“Pak, sebenarnya maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk melamar Intan, anak bapak”, begitu Sony mengungkapkan niat yang lama dipendamnya ke pihak keluarga Intan. “Kenapa nak? Bapak tidak mendengarnya?” timpal ayah Intan.
Dengan gugup, Sony mengulang, “Saya ingin melamar anak Bapak untuk menjadi isteri saya”. Jantung Sony berdetak begitu cepat. Dia sadar cinta yang bertahun-tahun mereka bangun sedang dipertaruhkan. Seberapa pun besarnya cinta mereka, restu orangtua adalah hal yang penting.
Wajah Intan yang ayu tampak merah padam. Ia ikut gugup menanti jawaban dari sang ayah. Dalam ketegangan itu, tiba-tiba ayah Intan tertawa, membuat suasana semakin runcing. Sony jadi bingung, tapi kemudian dia berpikir mungkin itu pertanda baik. Mungkinkah itu pertanda setuju?
”Nak Sony, kamu anak yatim piatu kan? Tidak punya pekerjaan tetap, bukan? Kamu sanggup membayar belis? Sudahlah, cari saja wanita lain, lagipula banyak kok orang yang mau menikahi anakku ini”, jawab ayah Intan santai.
Begitu ringannya kata-kata itu terlontar dari mulut ayah Intan. Ia seperti baru saja menancapkan panah tajam ke hati Sony. Dan Sony, ia berusaha menahan rasa sakit yang tiada bandingnya di hatinya yang paling dalam. Sekujur tubuhnya seperti mau runtuh. Ia tak pernah menduga, ayah Intan akan setega itu, menghinanya dengan cara yang paling menyakitkan. Ia tak cukup kuat menahan semua nyeri yang menggerogoti sekujur tubuhnya.
Sony tak tahu harus berbuat apalagi. Hatinya mendidih, panas. Pikirannya menjadi kacau. Rumah Intan tiba-tiba berubah jadi rumah hantu yang menyeramkan baginya. Semakin lama ia di rumah Intan, semakin ketakutan mengejarnya; dan ketakutan terbesarnya saat ini adalah kehilangan Intan, cinta sejatinya yang tiada duanya.
Ia terancam kehilangan Intan hanya karena belis. Segalanya tampak pupus, sirna, seakan tak ada lagi harapan. Ia akhirnya memutuskan pamit dari rumah Intan, memikul segala luka yang mengangnga di hatinya. Ia menjadi tuan bagi luka dan laranya sendiri.
Sony meninggalkan rumah Intan, meninggalkan mimpi besarnya untuk sehidup-semati dengan Intan, lalu kembali ke sebuah dunia di mana Intan seolah-olah tidak pernah hadir dalam hidupnya. Ia merasa gagal, dan sejak saat itu ia tak lagi mendengar kabar dari Intan.
Dunia seperti tak lagi berpihak padanya. Ia merasa seperti seekor elang yang kehilangan sayap-sayap yang ramping: tak bisa terbang, tinggal menanti penghabisan yang kian dekat.
Ia merasa tak berarti lagi karena apa yang paling berharga dalam hidupnya telah diambil lagi darinya. Hidup Sony menjadi kacau. Ia menghabiskan waktu dengan menenggak arak dan berjudi. Kehilangan Intan membuat segalanya berubah.
Bahkan, tak jarang Sony menjadi biang rusuh, terutama ketika ada pesta nikah di kampung-kampung tetangga. Ia sering membuat ulah sehingga harus berurusan dengan tetua kampung.
Sony yang dulu dikenal sebagi anak yang sopan dan gagah kini tinggal cerita. Ia kini berubah jadi pemabuk, perusuh, dan penjudi. Kehilangan Intan membuat hidupnya hancur berantakan. Ia menjadi orang kalah, babak belur ditinju kenyataan hidup yang memang tak selalu seindah dengan yang kita mimpikan.
Sampai sekarang, beberapa tahun sejak ditolak keluarga Intan, Sony tetap tidak dapat menerima kenyataan bahwa dia harus berpisah dengan Intan dan dengan mimpi-mimpi manis yang pernah mereka bangun bersama. Lebih lagi, itu terjadi hanya karena masalah belis.
Dia tak habis pikir mengapa orang-orang begitu mementingkan belis ketimbang cinta yang teguh yang sudah orang bangun dengan susah payah. Ia tetap tak menerima kenyataan kehilangan Intan hanya karena alasan belis.
Kehidupan Sony yang kacau itu perlahan-lahan membuat banyak orang gerah. Ada yang merasa iba, tapi tak sedikit yang terganggu. Teman-temannya mulai menjauhinya. Bahkan, karena ulahnya yang tak karuan, para tetua desa setempat memutuskan untuk mengusir Sony dari desa.
Mereka sudah tak tahan lagi melihat kegilaan Sony yang terus membikin ulah di desa. Dengan berat hati, Sony harus pergi. Tak ada salam perpisahan dari teman-temannya. Tak ada pula pelukan perpisahan dengan Intan.
Sony pergi dari desa tanpa ada satu pun tanda hormat atau lencana tanda terima kasih atas apa yang telah ia lakukan beberapa tahun yang lalu ketika menyelamatkan para gadis desa yang diculik. Semua itu seakan tak berarti, sama seperti ketika ia kehilangan Intan.
*******
Pagi itu, situasi desa tiba-tiba menjadi tegang. Orangtua Intan panik, begitu pula dengan warga desa: Intan hilang dari rumah. Orang tuanya bersama warga desa sudah berusaha untuk mencarinya, tapi tak membuahkan hasil. Semua warga menjadi resah.
Mungkinkah ini pertanda para penculik kembali masuk desa dan lantas menculik Intan? Dalam keresahan yang akut, ketika pergi mengecek kamar Intan, ayah Intan secara tak sengaja menemukan secarik surat yang tergeletak di samping bantal Intan. Ayah Intan membukanya, lalu membacanya perlahan. Isi surat itu demikian,
Untuk Warga Desa yang Baik,
Tulisan kecil ini adalah ungkapan permintaan maaf dariku. Aku memohon maaf terutama kepada Anda sekalian, warga desa Siong. Aku telah menganggap kalian sebagai keluargaku sendiri. Aku ini sebatang kara, jadi hanya kalianlah yang kumiliki. Itulah mengapa aku begitu menggebu-gebu menyelematkan para gadis ketika terjadi penculikan di desa beberapa tahun yang lalu. Aku telah menganggap mereka sebagai saudaraku sendiri.
Aku rasa awalnya hidupku baik-baik saja, bahkan semakin baik dengan kehadiran Intan. Aku merasa hidupku sempurna dengan hadirnya Intan di sisiku. Akan tetapi semua itu berubah ketika aku terpaksa kehilangan Intan hanya karena urusan belis. Aku sendiri sebetulnya tidak memahami, apa arti belis yang sebenarnya. Karena yang aku tahu, belis adalah bentuk penghormatan, baik kepada keluarga perempuan maupun kepada derajat perempuan itu sendiri. Maka, belis tak seharusnya menjadi harga mati. Itu sama saja dengan orang tua yang menjual anaknya untuk dijadikan suami orang. Jika memang demikian, aku berpikir lebih baik kita tidak usah menyelamatkan para gadis yang diculik, karena sama saja, toh mereka akan dijual lagi dengan kedok belis.
Untuk itu, aku meminta maaf, karena harus melakukan ini. Aku tidak dapat membiarkan Intan jauh dariku. Dia adalah hidupku. Jadi aku terpaksa membawanya. Aku juga tidak tahan jika suatu saat nanti perasaan Intan terhadap seseorang juga harus kandas hanya karena masalah belis. Jadi kurasa ini adalah jalan terbaik. Aku harap kalian memaafkanku.
Salam dan hormat,
Penculik Intan (Sony)
Entah kapan Sony dan Intan akan kembali, tak ada yang tahu. Satu hal yang pasti adalah keluarga Intan sangat menyesal dan kecewa, dan mulut orang-orang desa mengangnga, bergeming. Kini, giliran mereka yang menjadi tuan bagi penyesalan dan kekecewaan mereka sendiri.
*Penulis adalah Pencinta Sastra, Tinggal di Seminari St. Petrus Ritapiret
Catatan:
- Belis adalah adalah istilah adat dalam budaya orang Manggarai, Flores, NTT, untuk menyebut mas kawin dalam suatu urusan perkawinan.