Oleh: Irvan Kurniawan
Reverie adalah serial drama bergenre fiksi ilmiah yang menceritakan perjuangan Mara Kint, seorang ahli psikologi Amerika untuk menyelematkan manusia dari jalan sesat realitas maya.
Aplikasi realitas maya yang diproduksi perusahaan Onira-Tech itu bernama Reverie (lamunan). Aplikasi ini mampu mengembalikan ingatan, kenangan maupun pengalaman masa lalu dari para penggunanya.
Realitas maya itu dapat hadir ketika sebuah chip canggih disuntikan ke dalam otak melalui pembuluh darah untuk mengakses memori jangka panjang dan alam bawa sadar.
Para pengguna dapat mengaktifkan kembali ingatan mereka ketika menyebut kata ‘Apertus’ (bahasa Latin yang berarti membuka) pada sebuah layar yang dipajang di depan wajah. Kata sakti ini menjadi keyword penghubung yang memerintahkan chip di dalam otak untuk mulai berselancar.
Penggunanya dapat menyetel peristiwa atau kenangan apapun untuk ditampilkan kembali. Setelah ‘Apertus’ disebutkan, seketika itu pula penggunanya tak sadarkan diri dan Reverie menghubungkannya dengan masa lalu.
Alexis Barret, salah satu programmer Reverie menyebut aplikasi itu sebagai anugerah karena mampu menyembuhkan trauma, luka batin, stres dan berbagai macam penyakit psikologi lainnya.
Ambisi Alexis untuk menciptakan aplikasi tersebut didorong oleh rasa bersalah atas tragedi kematian adik kembarnya, Dylan. Obsesi gadis introvet keturunan Tionghoa ini menghadirkan kembali sosok Dylan menjadi motivasi utama menciptakan Reverie.
Namun, mimpi Alexis tak berjalan mulus. Reverie yang semula diyakini sebagai berkat malah berujung petaka.
Banyak pengguna aplikasi itu yang terjebak dalam dunia fantasi dan tak ingin keluar lagi. Padahal untuk segera sadar dan kembali ke dunia nyata cukup menyebutkan kata ‘Exitus’.
Awalnya mereka sadar bahwa peristiwa yang sedang dilakoni itu hanyalah realitas maya, namun lama kelamaan mereka meyakini sebagai realitas nyata.
Ada orang yang merasa kehilangan cinta dan Reverie menghadirkan kembali sosok yang dicintainya itu meski telah tiada.
Tony Lenton misalnya berhasil mendapatkan kembali momen bersama Naomi (istrinya) setelah peristiwa kecelakaan beberapa tahun lalu. Dia enggan keluar dari Reverie sampai mengungkapkan rasa bersalahnya atas kecelakaan yang terjadi beberapa tahun silam.
Rachel Kauffman, seorang perempuan yang telah lama kehilangan ayah, memburu seorang lelaki bernama Vater yang diyakini sebagai ayahnya dalam Reverie. Gambaran wajah Sang Ayah didapati Rachel saat mendapatkan foto dirinya kala masih bayi digendong Vater. Gambaran itu sebenarnya representasi ayah Rachel yang diciptakan Reverie.
Seperti Tony, Rachel terjebak dalam Reverie. Tubuhnya lemah. Detak jantungnya kencang di dunia nyata. Dia koma. Rachel dan Tony pun terpaksa mendapat perawatan di rumah sakit. Rachel juga harus menerima kenyataan pahit, bahwa orang yang dikejarnya dalam Reverie ternyata bukan ayahnya.
Kasus yang sama menimpa Pilar Simonet, seorang wanita tua yang menderita kangker paru-paru di sebuah panti jompo. Wanita asal Chile ini memakai Reverie untuk menampilkan kembali momen yang paling bernilai dalam hidupnya ketika menyelamatkan anak-anak Chile di zaman revolusi. Dengan menampilkan peristiwa itu, Pilar merasa dirinya kembali berharga bagi sesama meskipun fisiknya koma di ruang perawatan.
Ketiga kasus ini merupakan secuil kisah dari 10 kasus lain yang dihadapi Onira-Tech dalam serial Reverie. Untuk itulah Charlie Ventana, konsultan keamanan senior merekrut Mara Kint bekerja di Onira.
Mantan bos Mara di kantor pertahanan Amerika itu yakin dengan kepiawaian Mara di bidang psikologi, dapat membantu orang-orang yang tersesat keluar dari Reverie.
Mara yang sebelumnya menjadi dosen, tergiur menyelamatkan kehidupan orang-orang yang tersesat itu. Mara yang dibintangi Sarah Shahi merasa terpanggil untuk menebus kesalahannya setelah gagal menyelamatkan nyawa saudara perempuannya Jamie dan keponakannya Brynn dari amukan amarah suami Jamie. Dia masuk ke dalam Reverie orang-orang yang tersesat itu dan membujuk mereka keluar.
Namun, tantangannya ternyata cukup berat. Mara harus meyakinkan mereka bahwa Reverie hanyalah dunia fantasi yang penuh ilusi. Dia juga harus berhadapan dengan orang-orang yang rela mati demi melanjutkan impian romantis mereka dalam Reverie. Tubuh mereka koma dan pasti mati jika tidak segera dikeluarkan.
Meski berat, Mara tak putus asa. Dia mendengarkan masalah mereka, berempati lalu memberikan solusi. Saat orang-orang itu menceritakan semua masalah, di situlah celah bagi Mara untuk memberikan pengaruh dan membujuk mereka keluar. ‘Exitus’ dan orang-orang itu selamat.
Film yang diproduksi National Broadcasting Company pada tahun 2018 ini sesungguhnya sangat lekat dengan kehidupan manusia di era revolusi industri 4.0. Kecerdasan artifisial dan big data memampukan manusia untuk membuat berbagai aplikasi realitas maya.
Media sosial adalah contoh realitas maya yang banyak digandrungi penduduk dunia termasuk Indonesia. Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara dalam artikelnya di Kompas (18/05/2018) menyebut masyarakat Indonesia termasuk masyarakat penyokong utama tumbuhnya medsos di dunia.
Pernyataan itu merujuk data dari We Are Social- Hootsuite, Januari 2018, dimana mencatat jumlah pengguna aktif medsos di Tanah Air 130 juta orang.
Sayangnya, tidak semua orang memanfaatkan media sosial secara cerdas dan bijak. Media sosial kerap digunakan sebagai ruang untuk menutupi krisis identitas dan pelarian dari masalah.
Tak ayal, medos menjadi semacam ‘dinding ratapan’. Masalah yang seharusnya bisa diselesaikan dengan orang-orang terdekat menjadi masalah publik. Mirisnya lagi, banyak orang yang menganggap masalah selesai ketika melihat jumlah komentar, like, super, wow, love dan berbagai emoji lainnya.
Dia mungkin sadar bahwa semua itu adalah realitas maya yang bertolak belakang dengan dunia nyata. Namun kebanyakan orang memilih tinggal karena yang maya memberinya kebahagiaan, meski itu semu dan ilusif.
Ruang medos juga akhir-akhir ini diwarnai pesan kebohongan dan janji-janji semu politikus yang haus kekuasaan. Harapan rakyat untuk segera keluar dari segala kepelikan hidup tidak dijawab dengan visi-misi yang solutif dan masuk akal. Mereka malah memanfaatkan medsos untuk menggiring masyarakat ke ruang lamunan dan sensasi fantasi. Hoaks pun bergentayangan. Janji-janji utopis berseliwuran. Substansi demokrasi tertindis sensasi.
Di tengah situasi ini, kaum cendekiawan malah asyik berfilsafat genit. Tak sedikit yang bermain sensasi lewat logika ideal. Pernyataan mereka memang logis dalam ide namun tak menjawab realitas. Padahal kaum cendekiawan seharusnya berpikir dialektis berdasarkan realitas faktual. Logika yang dibangun seharusnya logika kebenaran faktual sehingga dalam dialektika pencerahaan dapat menghasilkan sintesis yang tepat dan menyelamatkan banyak orang.
Cendekiawan harus beperan sebagai ‘Apertus’ yang membuka kesadaran kritis publik untuk tajam membedakan mana yang benar dan salah, baik dan buruk.
Cendekiawan juga mesti menjadi sosok Mara Kint yang mengeluarkan orang-orang tersesat dari realitas maya atas panggilan kemanusiaan. Cendekiawan harus mampu mencerahkan orang untuk mampu menghadapi dunia nyata. Bukan berfilsafat untuk menyesatkan orang ke dalam ‘Reverie’ yang ilusif.