Borong, Vox NTT-Wajahnya berkeriput. Aliran darah tampak dari tangannya yang berurat. Dia memang pekerja. Rambutnya putih berkilau. Dengan nada pelan ia berucap, aku sejak kecil menjadi peracik sopi.
Adalah Simon Diko seorang pria 68 tahun yang kini masih memanfaatkan dan mengolah air pohon lontar menjadi sebuah minuman tradisional. Minuman yang ia hasilkan dikenal dengan nama Arak.
Arak sendiri merupakan salah satu jenis minuman berakohol. Walau seteguk atau masyarakat menyebutnya se –sloki, rasanya panas. Menghangatkan dada.
Kenikamatan akan hangatan itulah yang dicari para pecinta minuman tradisional seperti sopi, moke dan arak.
Arak milik Simon, demikian Simon Diko disapa, level atau kelasnya di bawah Sopi Kobok buatan Gregorius Modo yang kini tinggal di kampung Pongkeling, Kelurahan Ronggakoe.
Ditilik dari harganya pun sangat jauh berbeda. Milik Simon dijual Rp 15.000 per botol, sedangkan milik Gregorius Rp 60.000 per botol.
Simon memiliki lima orang anak. Ia tinggal di kampung Lekolembo, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba. Kampung Lekolembo sangat strategis. Ia berada tepat di bibir pantai.
Dari kelima buah hati, satu di antaranya, kini berada di Negara Polandia. Maklum, Dortin demikian sang anak disapa, suaminya orang Polandia.
Kata Simon, putrinya itu sudah memiliki dua orang anak dan rencanya akan berlibur ke Lekolembo pada bulan Juli mendatang.
Kisah percintaan Dortin cukup rumit. Sebagai seorang ayah Simon sempat menolaknya lantaran putrinya itu akan menjadi istri seorang bule. Walau demikian ia akhirnya legowo, lantaran karena jodoh.
“Setelah seselai kuliah di Yogyakarta dia datang ke sini dengan suaminya. Saya sempat tolak. Tapi mau bagaimana lagi, itulah jodoh,” kisahnya kepada VoxNtt.com di kediamannya, Minggu (24/2/2019) siang.
Siang itu, cuaca Lekolembo tampak cerah. Sesekali Simon mengeluh. Keringat yang terus keluar dari tubuhnya membuat ia sedikit tak nyaman. Tetapi ia tetap bersemangat untuk bercerita.
Sambil menunggu tetesan air lontar menuju jeriken berukuran lima liter, ia pun berkisah tentang masanya.
Simon lahir, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga pengiris air pohon lontar.
Geliatnya menjadi pengiris sejak tahun 1963 silam. Kala itu usianya baru 12 tahun. Pengalaman itu ia dapatkan dari ayah dan kakeknya.
Simon pernah mengenyam pendidikan dasar, namun tak sampai selesai. Ia berhenti dan memilih menjadi pengiris dan pemasak air pohon lontar.
Kisah Simon seperti Julius (64) peracik air pohon lontar yang ada di pesisir pantai Oesapa, Kelurahan Oesapa, Kota Kupang, Provinsi NTT. Minuman milik Julius dikenal dengan nama Laru. Enak rasanya. Sesekali mampirlah ke sana.
Singkat cerita Julius yang merupakan pria berdarah Rote itu, sempat mengenyam pendidikan, namun ia berhenti dan memilih menjadi pengiris lontar mengikuti jejak ayahnya.
Julius lebih muda dari Simon. Keduanya terpagut usia hanya empat tahun.
Mudah Lupa
Usia yang sudah melebihi setengah abad kadang membuat Simon lupa akan banyak hal. Sesekali ia memegang jarinya, mengangkat kepala. Mencoba membuka ingatannya.
Dortin putrinya pun ia tak ingat kapan selesai kuliah, tahun nikah bahkan nama suaminya. Ia mencoba memaksa membuka ingatannya. Namun, tetap tak bisa.
“Kapan e…kapan e…,” imbuhnya mencoba mengingatkan sesuatu.
Rumah Simon tak jauh dari Waelengga, ibu kota kecamatan Kota Komba. Jaraknya sekitar 4 kilometer (km). Dari arah timur, arahkan kendaraan menuju Waelengga lalu masuk cabang kiri. Kalau dari arah barat masuk cabang kiri.
Jalan masuk itu menuju pantai Mbolata. Salah satu destinasi wisata yang cukup familiar di Matim. Melewati perkampugan warga. Anda akan akan disuguhkan udara pantai yang sejuk.
Ketika memasuki tanjakan tepat di bagian kiri di situlah rumah Simon.
Tempat racikan Laru miliknya berada di depan rumah yang diatapi dengan daun lontar. Air lontar itu pun ia masak dengan kuali yang cukup besar.
“Saya masaknya dengan kayu kesambi pak, harganya Rp 400.000, itu harga kayu untuk satu mobil pak,” tukasnya.
Simon tinggal dengan istri dan seorang anak yang masih mengenyam pendidikan. Nama istrinya Regina Ndakis. Regina berasal dari Bamo. Tempatnya cukup jauh.
Produksi
Pohon lontar yang dimanfaatkan Simon merupakan kepunyaanya. Banyak dan tidaknya air lontar yang diperoleh sangat bergantung pada musim. Kalau banyak biasanya pada bulan April sampai Oktober.
Pada musim itu, dalam sehari Simon mampu memanjat 20 pohon lontar, tapi kalau tidak musim hanya 8 sampai 10 pohon lontar.
Dalam sehari Simon bisa menghasilkan 3 jeriken minuman Arak. Satu jeriken menghasilkan 8 botol. Berarti dalam sehari ia menghasilkan 32 botol.
“Satu jumbo itukan 48 botol, berarti dua hari saya menghasilkan satu jumbo,” ungkapnya.
Dikisahkan Simon, kala masih muda ia menjual arak miliknya memakai kuda di pasar Waerana. Salah satu pasar tradisonal yang ada di Kelurahan Ronggakoe. Sampai saat pasar itu masih beropreasi.
“Kami biasa jual dipasar, dulu bukan pakai botol tapi pakai bambu yang besar,” kisahnya.
Namun, itu dulu, saat ini Simon sudah memiliki pelanggan tetap. Mauponggo, Ketang, Lait adalah lokasi distribusi minuman araknya kini. Satu jeriken jumbo ia biasa jual dengan harga Rp 700.000.
Simon tampak geram. Raut wajahnya berubah seketika. Ia marah lantaran para peminum minuman tradisional tidak bertanggung jawab. Banyak yang orang menikmati sopi, tapi ia lupa bahwa itu hanya pelepas penat dan lelah.
“Kami sempat ingin tutup, tapi banyak orang yang sudah sukses dari hasil menjual sopi,” imbuhnya bernada pelan.
Siang itu Simon sangat ceriah. Ia senang dengan pertemuan siang itu.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba