Oleh: Rikardus Yonogas Goa*
Korupsi Dana Desa terkuak gara-gara kekurangan volume pekerjaan fisik, begitu kira-kira judul kedua artikel pada Pemberitaan VoxNtt.com tertanggal 27/3/2017 dan 22/10/2017.
BACA: Penggunaan Uang Rp 670 Juta di Desa Kakor Ruteng Disinyalir Bermasalah
Benar jika kemudian berbagai lembaga riset mengatakan, pemberian otonomi ke desa hanya untuk memindahkan korupsi dari kota ke desa.
Hal ini didukung laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mengungkapkan, setidaknya ada 900 kepala desa berhadapan dengan hukum karena dana desa hingga awal 2018 lalu.
Kebanyakan perkara level desa memang sampai pada wilayah anti-rasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sekitar 102 kepala desa menyandang jabatan baru sebagai tersangka korupsi.
BACA JUGA: Penyidikan Dugaan Korupsi Dana Desa Kakor Terus Dikawal
Perubahan cara pandang desa dari objek ke subjek malah disalahgunakan.
Dana desa yang diharapkan untuk memberantas ketimpangan sosial dan ekonomi malah dijadikan komoditas pemenuhan kebutuhan individu.
Kasus yang terjadi di Desa Kakor, Kabupaten Manggarai tersebut merupakan satu di antara sekian kasus korupsi di tingkat desa. Modus penyelewengan dilakukan dengan pengadaan proyek pemeliharaan jalan.
BACA JUGA: Dilaporkan Bendahara, Penyidik Tahan Kades Sono Terkait Dana Desa
Kecurigaan saya sama seperti kasus korupsi lainnya penyelewangan dana desa pasti melibatkan sektor pemerintah, swasta dan masyarakat sipil (desa) tentunya.
Melibatkan pemerintah dalam hal ini adalah lemahnya sektor kontrol Pemerintah sesuai amanat UU Desa, menyediakan tenaga pendamping profesional, yaitu: Pendamping Lokal Desa (PLD), Pendamping Desa (PD), sampai Tenaga Ahli (TA) di tingkat Pusat, untuk memfasilitasi Pemerintah Desa melaksanakan UU Desa secara konsisten.
Sehingga pertanyaannya sebelum ditemukan kasus seperti di atas dimana tenaga Pendamping Desa saat terjadi kasus ini? Atau jangan jangan tenaga pendamping desa menyelamatkan diri saat kasus ini.
Pendamping desa sebagai fasilitator seharusnya mengarahkan perangkat desa tentang manajemen tata kelola desa yang baik.
Pelibatan sektor swasta dalam hal ini adalah pihak ketiga sebagai kontraktor. Kontraktor tentunya tahu soal penggelembungan anggaran pada saat terjadi deal-dealan pengerjaan proyek. Kongkalikong atau persen-persenan antara kades dan swasta sebagai pihak ketiga kerap terjadi di ruang ini.
BACA JUGA: Diduga Terima Aliran Dana Desa, Istri dan Anak Kades Ikut Diperiksa Polisi
Sementara pelibatan masyarakat dalam hal ini adalah soal lemahnya kontrol. Masyarakat tidak secara serius dalam mengontrol pengelolaan pembangunan Desa yang objektif dan up to date.
Masyarakat masih lemah dalam hal pengontrolan proyek pembangunan fisik yang berjalan sesuai dengan anggaran yang ditetapkan dalam APBDES dan atas titipan MUSRENBANGDes.
Hasil penelitian ICW mengungkapkan setidaknya ada 12 modus korupsi dana desa. Diantaranya yaitu rancangan anggaran biaya di atas harga pasar, mengklaim pembiayaan pembangunan fisik dari sumber lain ternyata dari dana desa, meminjam dana desa untuk kepentingan pribadi tetapi tidak dikembalikan, pungutan atau potongan oleh oknum pejabat, penggelembungan pembayaran honorarium dan alat tulis, pungutan pajak/retribusi desa yang tidak disetorkan ke kantor pajak, privatisasi inventaris desa, alokasi kepentingan untuk perangkat desa, kongkalikong proyek dan proyek-proyek fiktif.
Singkatnya modus-modus itu meliputi roses perencanaan, monitoring dan evaluasi, dan pelaksanaan pengelolaan dana desa.
BACA JUGA: Indikasi Kerugian Rp 560 Juta, Kades Salama Jadi Tersangka
Penelitian ICW jika merunut pada kasus Desa Kakor bisa dipastikan proses perencanaan tidak berjalan maksimal. Perencanaan proyek diduga hanya untuk keperluan pribadi ataupun titipan berbagai pihak yang tidak sesuai dengan rencana atau anggaran sebenarnya.
Meminimalisir Korupsi Dana Desa
Dalam UU Desa pasal 68 menjelaskan bagaimana keterlibatan masyarakat desa, hal ini menjelaskan bagaimana hak dan kewajiban masyarakat desa.
Di sini, keterlibatan masyarakat desa sangat penting dalam hal perencanaan dan pengawasan dana desa. Semakin banyaknya sumber-sumber dana yang masuk ke desa sebenarya semakin kompetitif masyarakat untuk hadir dalam mengawasi laju perkembangan ke mana dana yang beredar di desa dialokasikan.
Sangat penting bagi aktor desa untuk memberi tahu masyarakat soal visi dan ismi kepala desa. Sebab dari visi misi ini terpapar bayangan pembangunan atau pemberdayaan seperti apa yang akan ditawarkan kepala desa melalui dana desa.
Hal lain adalah kepala desa wajib memposting seluruh anggaran desa selama satu tahun pembangunan secara transparan. Tujuannya agar masyarakat bisa mengingatkan pemerintah desa soal anggaran yang sudah direalisasi atau belum.
BACA JUGA: Kades dan Sekdes Noenasi TTU Divonis 1,8 Tahun Penjara
Hal yang paling penting juga adalah mekanisme kontrol BPD sebagai wakil masyarakat dalam memberikan masukan atau evaluasi bagi perkembangan pembangunan desa.
Tidak hanya sampai pada evaluasi antara BPD dan Kepala Desa, BPD juga wajib memberitahukan kepada masyarakat poin-poin yang sudah dibahas bersama kepala desa.
Ketika BPD berdiri bersama masyarakat desa, maka dengan sendirinya kepala desa akan menjalankan roda pemerintahanya sesuai amanat masyarakat.
Akan tetapi jika BPD dan Kepala desa bersekongkol melakukan korupsi, maka Dana Desa hanya menyejahterakan elit-elit desa.
Selain itu pemerintah dalam hal ini DPMPD harus meredesain tata kelola penyaluran dana desa melalui pengecekan laporan penggunaan dana desa.
Pengecekan dalam hal ini adalah pengecekan fisik tidak hanya pada batas format laporan tentang salah dan benar. Proses penyaluran dana desa untuk tahun berikutnya tidak boleh dicairkan selama pengerjaan fisik betul-betul nyata sesuai dengan laporan kepela desa.
Reformasi tata kelola pemerintah desa mutlak diperlukan guna membangkitkan prakarsa-prakarsa lokal sehingga desa tidak hanya sibuk mengahabiskan anggaran negara melalui dana desa tetapi juga bisa mandiri melalui beragam inovasi desa.
*Penulis adalah Sekretaris pada Lembaga Change Operator Manggarai