Oleh: Donatus Vedin*
Istilah politisasi tubuh pertama kali dikemukakan oleh filsuf poststrukturalis Michel Foucault. Politisasi tubuh merujuk pada realitas pereduksian makna dan fungsi tubuh hanya sebagai obyek yang memberikan kenikmatan dan keuntungan.
Istilah ini tidak dapat dipisahkan dari konteks fenomena seks dan wacana seksualitas masyarakat postmodern. Penjajaan tubuh (perempuan) dan komersialisasi seks merupakan fenomena khas masyarakat ini.
Realitas Politisasi Tubuh Perempuan
Praktik pereduksian makna tubuh perempuan bisa dalam berbagai bentuk. Pada kesempatan ini hanya akan dikemukakan dua yang pada umumnya telah diketahui dan dimaklumi olah masyarakat umum.
Pertama, praktik prostitusi. Pada era postmodern ini seks dipaksa masuk dalam ruang yang bersifat publik. Seiring dengan masuknya seks pada ruang publik maka ia pun menjadi komoditi yang potensial diperjualbelikan.
Praktik prostitusi adalah contoh yang paling pas untuk mendeskripsikan hal ini. Orang (pria) harus membayar untuk mendapatkan kenikmatan seks dengan salah satu (perempuan) pekerja seks komersial yang dipilihnya.
Dengan demikian seks dalam arti tertentu telah menjadi barang. Hubungan seks kemudian dalam praksisnya tidak saja diartikan sebagai ekspresi cinta seorang suami kepada istri dan sebaliknya istri kepada suaminya, tetapi juga kepada semua orang yang “dianggap layak” menerima limpahan ekspresi tersebut tanpa memandang status.
Dalam praktik prostitusi, tubuh perempuan tidak lagi memiliki nilai suci. Ia seolah-olah dibuat terlepas dari spritualitasnya dan dikondisikan untuk memusatkan perhatian hanya sebagai pemberi kenikmatan seksual semata.
Di sini ada pergeseran pemaknaan akan tubuh perempuan. Pria menilai tubuh perempuan hanya sebagai barang yang memberikan kepuasan seksual baginya.
Perempuan sendiri dalam artian tertentu tidak memiliki tubuhnya itu. Tubuhnya adalah milik pria. Tatkala pria telah mendapatkan kepuasan seksual maka tubuh itu akan segera ditinggalkan.
Pria akan kembali menemuinya ketika ia mendambakan kepuasan seksual. Tiba pada suatu saat, ketika tubuh (perempuan) itu tidak lagi mampu memberikan kepuasan bagi pria maka ia akan ‘dibuang’ layaknya seonggok sampah. Dengan demikian, tubuh perempuan tidak ada bedanya dengan barang yang dibeli di pasar.
Kedua, mereduksi makna tubuh pada keuntungan. Mari menyimak uraian berikut. Masa kampanye, baik kampanye pilpres, pilkada atau legislatif adalah masa untuk mamaparkan visi misi. Tujuan utama kampanye sebetulnya adalah menggalang dukungan.
Dalam kampanye, para calon biasanya melibatkan berbagai pihak dan menggunakan berbagai cara. Salah satunya adalah melibatkan artis. Artis dipilih berdasarkan popularitas pribadinya juga kemolekan tubuh.
Para artis “dipakai” untuk mendongkrak citra para calon. Di sini, artis dengan kemolekan tubuhnya menjadi alat pemikat para voters. Tubuh yang molek direduksi hanya sebagai alat pembawa keuntungan.
Praktik pereduksian makna tubuh pada keuntungan juga ditunjukkan oleh agen otomotif. Adalah kenyataan yang tidak disangkal ketika sebuah motor atau mobil mewah dipajangkan pada etalase, sudah barang tentu ada seorang perempuan bertubuh seksi yang berada di dekat mobil atau motor tersebut.
Keberadaan perempuan tersebut pertama-tama bertujuan untuk memikat para pengunjung. Tubuh seksi perempuan tersebut dijadikan alat pembawa keuntungan. Praktik pereduksian makna tubuh terjadi di sana.
Menyandingkan perempuan seksi dengan mobil atau motor mewah sebetulnya merupakan sebuah usaha membangun perspektif baru para pengunjung. Para pengunjung tengah digiring pada pemahaman bahwa memiliki mobil atau motor mewah sama dengan memiliki tubuh perempuan seksi tersebut. Di sini, tubuh perempuan tersebut sama nilainya dengan benda yang dipajangkan. Sekali lagi, tubuh perempuan direduksi hanya sebagai benda mati.
Hari Perempuan: Momen Mengkritik Cara Pandang
Tanggal 8 Maret lalu adalah Hari Perempuan. Hari Perempuan, menurut hemat saya adalah momen bagi perempuan untuk merayakan diri sebagai manusia, bukan hanya sebagai perempuan.
Mengapa sebagai manusia? Kembali pada uraian mengenai realitas politisasi tubuh. Praktik politisasi tubuh perempuan bukan karena pelaku (pria) tidak mengakui korban sebagai perempuan tetapi lebih karena pelaku melihat korban bukan sebagai manusia. Dalam praktik politisasi tubuh, perempuan pada dasarnya disamakan dengan barang.
Konsep perempuan sebagai barang dan praktik menyamakan perempuan dengan barang sudah sangat mengakar dalam sejarah peradaban manusia.
Filsuf Aristoteles, misalnya melihat perempuan sebagai pria yang tak lengkap. Dalam uraian filsafat politiknya, Aristoteles membatasi peran perempuan dalam hidup bernegara. Perempuan tidak memiliki legal standing berpartisipasi dalam negara. Bahkan perempuan tidak menjadi bagian dari warga negara karena mereka bukanlah orang-orang bebas.
Keberadaan perempuan disetarakan dengan barang dan dilihat sebagai salah satu harta yang dimiliki pria. Dengan demikian pria bebas memperlakukan perempuan sesuai kehendaknya.
Konsekuensi logis dari cara pandang seperti ini adalah perempuan dipisahkan dari identitas kemanusiaannya yang bermartabat. Hanya pria yang dinilai sebagai manusia!
Pandangan yang negatif tentang perempuan juga dikemukakan filsuf abad modern, Arthur Schopenhauer. Ia mencap perempuan sebagai makhluk yang terbelakang dalam segala hal dan tak dilengkapi dengan kapasitas nalar serta refleksi. Sepanjang hidupnya ia sering menghina perempuan tetapi ia suka “menikmati” tubuh perempuan. Ia mereduksi perempuan hanya sebagai barang pemuas kebutuhan seksual.
Sampai pada titik ini, terlihat jelas bahwa praktik politisasi tubuh perempuan (dan mungkin aktus-aktus lain yang merendahkan martabat perempuan) dimungkinkan karena konsep dan cara pandang yang salah tentang perempuan.
Perempuan diterima bukan sebagai manusia tetapi sebagai barang. Dengan demikian, perempuan mendapat arti sejauh ia mewujudkan diri atau mengaktualisasikan dirinya sebagai barang.
Hari Perempuan adalah momen di mana perempuan sebetulnya secara mendunia mengkritik cara pandang yang salah dan praktik pereduksian terhadap dirinya.
Perempuan, melalui Hari Perempuan mengingatkan semua orang, terutama para penista martabat perempuan tentang keluhuran martabatnya dan tentang identitas khas kemanusiaannya.
Perempuan adalah juga manusia, yang tidak pantas dan tidak seharusnya menjadi korban KDRT, korban pelecehan seksual, korban human trafficking, dan korban kesesatan paradigma berpikir.
Perempuan dan Peradaban
Perempuan adalah pencipta sejarah manusia. Dunianya terlampau luas karena mencakup dunia kaum pria dan juga dunia anak keturunan. Perempuan bisa disejajarkan dengan bumi yang melahirkan berbagai macam jenis kehidupan.
Kehidupan masa lalu manusia dalam dekade nomaden ditandai dengan adanya perjuangan dalam totalitas tata alam. Pertentangan antara kekuatan manusia dan alam merupakan identitas masa itu.
Persaingan dalam dan melawan alam tentu mengancam kepunahan spesies manusia. Konsekuensinya jelas. Kelahiran baru merupakan hal yang diharapkan dan dibanggakan. Target kelahiran sebanyak-banyaknya menjadi inti perjuangan.
Siapa yang memberikan jawaban terhadap masalah ini? Perempuan! Kelangsungan peradaban manusia ada di tangan perempuan.
Di sini kita melihat peran perempuan begitu sentral karena menentukan keberlanjutan peradaban manusia. Andai kata, pada waktu itu, perempuan memutuskan untuk tidak menghadirkan manusia baru maka kepunahan spesies manusia mungkin saja terjadi.
Oleh karena perannya yang begitu penting ini, perempuan pada masa ini dipuja-puja, dihormati dan, dijaga. Ia dipuja, dihormati dan dijaga karena memiliki arti sebagai manusia. Bahkan perempuan diterima sebagai penentu keberadaan pria.
Perempuan tidak dipandang sebagai obyek yang memberikan keuntungan bagi pria. Bahkan, pada masa ini sesungguhnya kaum pria dinilai sebagai makhluk yang lemah karena tidak mampu melahirkan manusia baru. Selamat Hari Perempuan, Hari Ibu Peradaban.
*Penulis adalah calon imam keuskupan Ruteng. Tinggal di Ritapiret.