Ende, Vox NTT-Masa akhir Kepemimpinan Bupati Ende, Ir. Marselinus Y.W. Petu dan Wakil Bupati H. Djafar Haji Achmad Periode 2014-2019 tinggal menghitung hari. Kepemimpinannya akan berakhir tanggal 7 April 2019 mendatang.
Meskipun demikian, keduanya akan kembali dilantik setelah menang dalam perhelatan politik pilkada Ende, 27 Juni 2018 lalu.
Keduanya menang melawan pasangan Don Bosco M. Wangge dan H. Munawar Achmad atau Paket WM.
Sejak awal masa kepemimpinan, pasangan Marsel-Djafar memang getol membangun dari desa dan kelurahan. Hasilnya memang terbukti membaik. Pembangunan desa di Ende berhasil naik peringkat di akhir jabatan periode pertama.
Mereka berhasil mengurangi 36 desa status desa tertinggal menjadi desa berkembang. Hal ini berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Ende Tahun 2018 lalu.
Kepala Seksi Statistik Sosial, Yohanes Marino menjelaskan, berdasarkan Indeks Pembangunan Desa (IPD) Tahun 2018 yang dirilis BPS terhadap 255 desa di Kabupaten Ende, sebanyak 114 (44.71,4 %) desa masuk dalam kategori desa tertinggal.
Sedangkan desa berkembang sebanyak 141 unit (55.29%) desa dan kategori desa mandiri 0 unit (0%).
Marino mengatakan, IPD tersebut diukur dari lima dimensi yakni kondisi infrastruktur, aksesibilitas transportasi, pelayanan umum, ketersediaan pelayanan dasar serta penyelenggaraan pemerintahan.
“Kelima dimensi tersebut kemudian dijadikan faktor penentu pengkategorian desa mandiri, desa berkembang dan desa tertinggal,”ungkap Marino usai penyerahan buku hasil potensi desa (Podes) kepada Wakil Bupati Ende, Djafar Achmad pada Kamis, (14/03/2019) siang di Kantor Bupati Ende.
Ia menjelaskan, perhitungan IPD ini menunjukkan bahwa tingkat perkembangan desa dalam kategori mandiri dinilai di atas 77 sampai 100.
Sedangkan, desa berkembang nilainya 50 sampai 74,99 dan nilai desa tertinggal 0 sampai 49,99.
Meski IPD Kabupaten Ende meningkat dari 47,75 pada Tahun 2014 menjadi 51,58 di Tahun 2018, belum ada desa di Kabupaten Ende masuk dalam kategori desa mandiri.
Marino menjelaskan, desa yang paling tinggi nilai IPD adalah Desa Nanganesa, Kecamatan Ndona dengan nilai 70. Sedangkan nilai IPD terendah adalah Desa Mbowora di Kecamatan Lio Timur dengan nilai 32,91.
“Jadi lima dimensi itu atas kerjasama dengan Menteri Desa Tertinggal dan mereka yang menilai untuk indeks pembangunan desa,”jelas dia.
Berdasarkan data BPS yang diperoleh Voxntt.com, dari 114 desa tertinggal dengan nilai IPD terkecil (30-39,99) ada 18 desa yakni Kecamatan Nangapanda ada 5 desa, Kecamatan Wewaria 5 desa, Kecamatan Kotabaru 3 desa, Kecamatan Lio Timur 2 desa, Kecamatan Ende 1 desa, Kecamatan Maurole 1 desa dan Kecamatan Lepembusu Kelisoke 1 desa.
Sedangkan desa tertinggal lainnya dengan nilai IPD antara 40-49,9 adalah Nangapanda ada 6 desa, Kecamatan Maukaro ada 5 desa, Kecamatan Pulau Ende 1 desa, Kecamatan Ende 16 desa, Kecamatan Ndona 2 desa, Kecamatan Ndona Timur 3 desa, Kecamatan Wolowaru 2 desa dan Kecamatan Kelimutu 4 desa.
Selanjutnya Kecamatan Ndori 2 desa, Kecamatan Maurole 4 desa, Kecamatan Kotabru 4 desa, Kecamatan Detukeli 10 desa, Kecamatan Lepembusu Kelisoke 9 desa, Kecamatan Detusoko 3 desa dan Kecamatan Wewaria 11 desa.
BPS mencatat dimensi yang mengalami kenaikan paling tinggi adalah dimensi penyelenggaraan pemerintahan desa. Sebaliknya, dimensi yang mengalami kenaikan terendah adalah pada dimensi pelayanan dasar.
“Kami berusaha mengukur dari sisi ekonomi dan sosial,” ujar Marino.
Dimensi Pelayanan Dasar
Marino menjelaskan, dimensi pelayanan dasar meningkat dari 56,73 Tahun 2014 menjadi 57,65 pada Tahun 2018.
Peningkatan pelayanan dasar itu seperti, ketersediaan sekolah menengah atas meningkat 19%, ketersediaan apotek di desa meningkat 54% serta peningkatan rumah sakit di desa naik 20%.
Sementara pada periode yang sama, kondisi infrastruktur juga mengalami peningkatan dari 39,21 menjadi 44,63. Akses bahan bakar menjadi lebih mudah karena peningkatan agen gas LPG sebesar 14%, tempat buang air besar untuk jamban di rumah pun naik 26%, serta layanan pos di desa meningkat 59%.
Demikian pula dengan indeks transportasi yang mengalami kenaikan, dari 73,50 pada Tahun 2014 menjadi 77,00 per Tahun 2018.
Waktu tempuh per kilometer transportasi kantor camat lebih singkat dari 1 jam 32 menit menjadi 34 menit.
Sedangkan untuk waktu tempuh per kilometer transportasi ke kantor bupati lebih cepat dari 2 jam 44 menit Tahun 2014 menjadi 1 jam 54 menit Tahun 2018.
Ia mengungkapkan, lalu lintas dan kualitas jalan transportasi antar desa juga meningkat dengan indikator desa yang memiliki jalan utama beraspal atau beton naik 15%.
Selain itu, jelas Marino, dimensi pelayanan umum untuk kemandirian desa juga naik dari 51,72 menjadi 53,60 selama 4 tahun.
Ketersediaan fasilitas olahraga meningkat 8%, penanganan gizi buru lebih baik sehingga desa yang ada kejadian gizi buruk turun 29%, serta penanganan kejadian luar biasa berkurang 6%.
Terakhir, dimensi penyelenggaraan pemerintah desa naik tajam dari 61,59 menjadi 71,40. Penerimaan desa selain dana desa meningkat lebih dari 50%, kelengkapan pemerintahan desa naik 13%, serta kualitas sumber daya manusia dengan pendidikan kepala desa minimal SMU meningkat sebesar 10%.
Menanggapi itu, Wakil Bupati Ende Djafar Achmad menerangkan bahwa hasil tersebut merupakan bukti kerja pemerintah terhadap masyarakat.
Ia berharap agar pada periode mendatang masyarakat serta lembaga-lembaga koordinasi lainnya dapat mendukung untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
“Kita pada prinsipnya bersyukur karena sudah ada perubahan. Kedepan, diharapkan semua elemen dapat bersinergi untuk membangun daerah ini,” katanya kepada Voxntt.com, Kamis siang di ruang kerjanya.
Penulis: Ian Balla
Editor: Irvan K