Borong, Vox NTT-Pembabatan Puar (hutan) Wae Sele di Desa Lembur, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) pada 02 Februari lalu memang tidak didahului ritual adat.
Meski demikian, acara itu tetap dilakukan pada Kamis 07 Maret 2019. Nama ritual itu adalah Kelas.
Kelas di kalangan masyarakat manggarai pada umumnya adalah ritual kenduri, atau upacara penghormatan bagi arwah orang yang telah meninggal.
Hutan Wae Sele oleh masyarakat kampung sekitar, dipercaya sebagai tempat tinggal leluhur mereka.
Upacara kelas penting dilakukan, sebagai bentuk penghormatan kepada kayu-kayu atau pepohonan yang sudah ditebang itu.
Selain penghormatan, upacara kelas juga sebagai ungkapan permohonan maaf kepada para penghuni hutan, sebagai leluhur mereka karena sudah menebang/membunuh mereka.
Di saat yang sama, warga juga meminta agar debit air di hutan itu tidak berkurang. Di Hutan itu terdapat tiga mata air. Pasca dibabat, kondisi hutan sebagiannya menggundul dan satu mata air, debitnya mulai berkurang.
Ritual Teing Hang
Berdasarkan pengakuan Nikolaus Nalang, selaku tetua adat Lembur, ritual adat di hutan itu bukan yang pertama kali dilakukan. Tetapi sudah dilakukan sejak tahun 1950 dan diwariskan nenek moyang mereka secara temurun hingga sekarang, selama sekali setahun. Ritual selain kelas adalah teing hang atau kasih makan leluhur.
Ritual itu biasa dilakukan saat musim tanam (bersawah), sebagai pemberitahuan dan permohonan kepada leluhur agar senantiasa menjaga tanaman mereka dari serangan hama dan jenis penyakit tanaman lainnya, serta meminta hasil yang baik.
Selain itu, ritual juga dilakukan saat gagal panen dan apabila ada warga kampung yang sakit, terutama anggota keluarga pemanfaat air dari hutan itu.
Gagal panen, oleh warga sekitar dipercaya karena tanaman itu tidak dijaga oleh para leluhur, penghuni hutan. Demikianpun sakit yang diderita anggota keluarga pemanfaat air, akibat kemarahan atau kutukan para leluhur.
Ema Nikolaus, demikian ia disapa mengisahkan, ritual pertama kali dilakukan untuk meminta izin sekaligus memberitahukan kepada para penghuni hutan, bahwa, warga sekitar akan menggunakan air yang bersumber di hutan itu untuk kebutuhan persawahan.
Karena itu dalam ritual, warga juga meminta agar mata air itu tidak boleh mati karena akan berakibat pada kehidupan warga kampung sebagai anak-anak dari para penghuni hutan yang menggantungkan kebutuhan akan air di hutan itu.
Ema Nikolaus kepada VoxNtt.com menuturkan, keharmonisan antara Puar Wae Sele dengan warga kampung sekitarnya sudah dimulai sejak saat itu (1950).
Ema Nikolaus mengakui, sejak saat itu juga, warga sekitar tidak pernah menebang pohon di puar tersebut.
“Karena kami dulu tidak pernah tebang kayu di hutan. Maka acara ini adalah, kelas, untuk kayu-kayu yang sudah ditebang,” ucap Ema Nikolaus.
Ema Nikolaus menjelaskan, ritual pertama kali dilakukan oleh Fedatus Kembung sebagai tetua adat di zaman itu. Namun setelah Kembung meninggal pada tahun 1967, tradisi itu dimandatkan kepada Karolus Ndolu, ayah Ema Nikolaus.
Ketika Ndolu meninggal tahun 1986, barulah Ema Nikolaus mendapatkan titah untuk mewariskan, tradisi tersebut.
“Pertama kalinya adalah almarhum Fedatus Kembung pada tahun 1950, namun setelah ia meninggal tahun 1967, ritual itu dilanjutkan oleh almarhum Karolus Ndolu, ayah saya. Dan ketika Ndolu meninggal tahun 1986, maka pada tahun 1987 hingga sekarang saya yang melanjutkan tradisi itu,” kisah Niko.
Dikisahkan juga oleh Ema Nikolaus, selain sebagai pewaris tradisi ritual teing hang dan kelas di Hutan Wae Sele, Fedatus Kembung juga merupakan tetua yang membagikan lahan atau tanah di Wae Sele.
Kembung membagi tanah itu menjadi beberapa bagian. Bagian atas menjadi milik Kembung, Nggada, Ndolu, Mando, Ndo’i, Jama. Bagian bawah menjadi milik Tanggang, Tanis, Taros, Jani.
Sedangkan di bagian bawah, milik Tanggang dan anggotanya, dikasih kepada mereka yang berasal dari Tanah Rata yang dipimpin oleh Dominikus Sarong dan beberapa orang lainnya yakni Jani, Jala, Babu, Latu, Wajo.
Saat ini kata Ema Nikolaus ada 31 Kepala Keluarga (KK) atau 589 jiwa yang memanfaatkan air dari hutan Wae Sele.
Kerbau Merah sebagai Kurban
Dalam ritual pertama (tahun 1950), kerbau warna merah, dalam bahasa setempat dokong torong dan seekor babi merupakan hewan kurban yang disembelih di hutan itu. “Kerbau itu dipotong oleh almarhum Fedatus Kembung,” kisahnya.
Namun, demikian Ema Niko, ritual menggunakan kerbau merah itu tidak berlaku setiap tahun. Kerbau merah itu hanya disembelih pada saat terjadi gagal panen atau ada ada anggota keluarga dari pemanfaat air di hutan itu yang mengalami sakit. Kebanyakan, ritual tahunan itu menggunakan babi sebagai kurban.
“Tidak setiap tahun, di saat dan kondisi tertentu kita pakai kerbau merah, kebanyakan kita pakai babi,” ujarnya.
Sebelum ritual dimulai, para pemanfaat air berkumpul pada satu tempat yang sudah ditentukan oelh Ema Niko. Setelah itu, warga diarahkan menuju satu pohon kayu. Warga menyebutnya, pohon Silor. Di situlah, Ema Niko memberitahukan kepada seluruh penguhuni air dan para pendahulu di hutan itu, bahwa mereka akan melakukan ritual adat. Setelah itu dilanjutkan dengan pemotongan babi dan kerbau.
Hewan kurban, kerbau merah dan babi yang disembelih dalam ritual itu, dagingnya bisa dimakan di tempat (hutan) itu, bisa juga dibawa di rumah-rumah. Terkecuali pada saat ritual gagal panen dan orang sakit, daging kurban harus dimakan hingga habis di tempat itu.
Sebagaimana dilansir pada berita sebelumnya, penebangan hutan Wae Sele dikarenakan letaknya yang masuk dalam SUTT alias Saluran Udara Tegangan Tinggi PLN 150 KV Ruteng-Bajawa.
Baca: Hutan Mata Air Wae Sele di Matim Sepakat Dibabat
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Boni J