Kupang, Vox NTT-Beberapa tahun terakhir, tepatnya sejak tahun 2015 Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dibanjiri Jenazah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari luar negeri. Selain dari luar negeri, banyak pula pekerja asal NTT di daerah lain yang pulang tak bernyawa.
Hal itu diungkapkan, Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Pdt. Mery Kolimon. Pdt. Mery mengungkapkan hal itu di Kantor GMIT, Kamis (14/3/2019).
“Tahun 2015 misalnya, kami mencatat 24 orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pulang dalam keadaan meninggal, 2016 catatan kami dia meningkat lebih dari dua kali lipat dari 24 orang, 2017 62 orang, dan tahun 2018 itu catatan kami 105 orang pulang dalam keadaan meninggal,” kata Pdt. Mery Kolimon.
Dalam beberapa persidangan kata dia, majelis pekerja lengkap Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) disebutkan, gereja-gereja di Indonesai perlu mendukung GMIT dan Gereja Kristen Sumba (GKS), untuk memberikan tanggapan situasi yang diidentifikasikan oleh PGI sebagai darurat perdagangan orang di Indonesia
“PGI melihat, NTT dan dua Gereja anggota mereka di sini, GMIT dan GKS perlu didukung untuk memberikan tanggapan yang tepat. Dan ini, gayung bersambut dengan komitmen GMIT sendiri untuk memberikan pelayanan terkait dengan isu ini. Bahwa, kita bergereja dalam konteks warga Jemaat, warga masyarakat yang rentan dengan kejahatan pidana perdagangan orang. Dan Gereja mesti terlibat untuk hal ini,” ujarnya.
Di GMIT jelas dia, ada dua unit yang secara langsung bekerja dengan isu perdagangan orang. Pertama, Badan Advokasi Hukum dan Perdamaian yang diketuai Pdt. Emy Sahertian. Kedua, unit Tanggap Bencana Alam dan Kemanusiaan yang diketuai Pdt. Paoina Bara Pa.
“Unit-unit lain di kantor seperti kemitraan, kategorial, personalia, badan asset dan pemberdayaan ekonomi maupun unit-unit yang lain,” ungkapnya.
Pihak GMIT lanjut dia, juga mendorong kesadaran bersama Jemaat. Bahwasannya, ini merupakan tugas Gereja dalam upaya pencegahan untuk penanganan dan untuk rehabilitasi para korban, untuk pemulihan mereka yang mengalami trauma dan sebagainya.
“Pada bulan Februari 2018 lalu, kurang lebih satu, kita dalam sidang majelis sinode telah meluncurkan apa yang disebut dengan harapan GMIT. Harapan GMIT, itu adalah satuan tugas khusus di GMIT yang menangani isu perdagangan orang, kekerasan berbasis gender,” pungkasnya.
NTT menurut catatan GMIT Kata Pdt. Kolimon, salah satu daerah yang tinggi angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan berbasis gender.
“Jadi, sesjak Februari 2018 itu rumah harapan itu diluncurkan setelah dalam sidang majelis Sinode,” katanya.
Catatan Pendampingan Rumah Harapan GMIT Tahun 2018
Sementara itu, Ketua Rumah Harapan GMIT, Frederika Taduhungu mengatakan, sepanjang tahun 2018 rumah harapan GMIT telah mendampingi 33 korban, dan 11 saksi dari kasus perdagangan orang dan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Kami, Rumah Harapan GMIT juga terlibat dalam pelayanan penerimaan jenazah dan pendampingan keluarga PMI asal NTT, yang meninggal di luar negeri dan dikembalikan ke Indonesia/NTT. Dari 97 jenazah yang tiba di kargo bandara Internasional El Tari Kupang, Rumah harapan GMIT, menerima 82 layanan jenazah dan mendampingi keluarga mereka,” kata Frederika.
Jenis dan jumlah kekerasan kata dia, diantaranya, perdagangan orang berjumlah tujuh orang, kekerasan seksual berjumlah sembilan orang, ingkar janji menikah berjumlah lima orang, kekerasan anak berjumlah tiga orang, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) berjumlah tujuh orang, dan kekerasan terhadap perempuan lainnya berjumlah dua orang.
“Kekerasan seksual adalah jenis kekerasan terbanyak, sembilan kasus. Bentuk-bentuk adalah persetubuhan anak, 53% dan pemerkosaan 47 %. Pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang yang dekat atau dikenal oleh korban yakni, pacar, paman, tetangga dan tokoh agama,” jelasnya.
Melalui pendampingan dari Rumah Harapan GMIT lanjut dia, korban/penyintas mendapat layanan pendampingan rohani, konseling pribadi, layanan kesehatan, terapi kerja, pendampingan di kepolisian dan pendampingan di persidangan/pengadilan.
“Korban/penyintas kekerasan seksual umumnya juga mengalami kekerasan berlapis seperti, penipuan penjeratan utang, persoalan keluarga. Rumah Harapan GMIT juga memberikkan pelayanan seperti mediasi dengan pihak keluarga, memediasi penyelesaian utang dan memfasilitasi pemulangan,” ungkapnya.
Posisi kedua ditempati oleh kasus KDRT dan perdagangan orang yang masing-masing mencapai tujuh kasus. Bentuk kekerasan yang paling menonjol dalam KDRT kata Ferderika, pertama, penganiayaan yang berakibat lebam di wajah dan bagian tubuh lain. Kedua, penelantaran dan pengusiran dari rumah.
“Anak-anak juga terkena dampak dari masalah KDRT seperti kekerasan fisik, psikis dan penelantaran. Pelaku KDRT dari kasus yang didampingi adalah suami dari korban/penyintas dan ayah dari anak-anaknya. Bentuk pendampingan yang dilakukan oleh Rumah Harapan GMIT terhadap korban/penyintas adalah, pendampingan rohani, pendampingan psikologi, mediasi dan pendampingan hokum,” tuturnya.
Kasus perdagangan orang sepanjang tahun tahun 2018 menurut catatan Rumah Harapan GMIT berjumlah tujuh orang. Itu terdiri dari satu orang laki-laki dan enam orang perempuan. Salah satu korban di antaranya masih berstatus anak ketika terjadi perekrutan.
“Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami korban ialah pemalsuan dokumen, penganiayaan, kerja paksa/eksploitasi tenaga melebihi jam kerja, kekerasan seksual, pemulangan dalam keadaan sakit parah dan penelantaran setelah masa kerja selesai. Sebagian besar korban datang dengan keadaan sakit, trauma dan ada juga yang mengalami kehilangan sebagian memori oleh karena trauma,” ujarnya.
Frederika menambahkan, penyelesaian masalah ataupun intervensi atas kasus seringkali terhambat. Itu karena beberapa hal diantaranya:
Pertama, masih tingginya impunitas (pengampunan) terhadap pelaku, sehingga tidak berdampak pada efek jera dan pengulangan kasus yang sama, oleh pelaku yang sama terhadap perempuan yang berbeda.
Kedua, tingginya kecenderungan mempersalahkan korban (blaming the victim) sehingga korban takut melapor.
Ketiga, kesulitan pembuktian untuk proses hukum karena ketidaktahuan korban ataupun karena semua bukti atau dokumen dipegang oleh agen/majikan (khusus untuk korban perdagangan orang)
Keempat, masih ada kelambanan negara dalam proses hokum.
Kelima, format penyidikan dengan sejumlah pertanyaan yang menyudutkan korban, menyebabkan korban mengalami tekanan berlapis.
Keenam, putusan hukum yang masih belum menjawab rasa keadilan korban.
Ketujuh, pendampingan intervensi yang holistic yang berbiaya mahal.
Kedelapan, lembaga-lembaga layanan, seperti kepolisian khususnya pusat pendampingan anak yang sangat berkolaboratif dalam kerja berjejaring, meskipun dalam keterbatasan sumber daya fasilitas, dana dan manusia.
Kesembilan, keterlibatan masyarakat umum, warga Gereja dan tokoh agama dalam hal melaporkan/merujuk kasus.
Kesepuluh, keberanian korban untuk melanjutkan kasusnya meski tantangan dari pelaku yang pada umumnya adalah orang terdekat
Kesebelas, keterlibatan struktur GMIT dalam penyelesaian kasus melalui jalan pastoral, mediasi, gelar kasus, dan pendampingan hukum, baik secara langsung maupun dengan system rujukan.
Keduabelas, adanya putusan Hakim untuk kurungan penjara yang tinggi kepada pelaku yaitu dua belas (12) tahun.
Baca: GMIT NTT Kecam Keras Aksi Teror di Selandia Baru
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Boni J