Borong, VoxNTT-Sejak 2007 silam Regina Kiong (61) hidup menjanda setelah kepergian abadi suaminya, Alosius Jalo.
Ene Regina, demikian sapaan akrabnya, tinggal di kampung Watunggong, Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Flores-NTT.
Hari-harinya hanya ditemani sang cucu yang sedang mengenyam pendidikan sekolah menengah pertama. Rumahnya beratap sink, berdinding pelupuh. Dapurnya beralaskan tanah.
Di bagian lehernya ada bekas luka bakar. Kata Ene Regina, bekas luka itu akibat peristiwa kelam yang terjadi 1991 silam.
Kala itu Regina sekeluarga sedang terlelap. Rumahnya belum dialiri listrik. Lampu pelita menjadi andalan satu-satunya waktu itu.
Naas menimpa, lampu pelita itu jatuh dan minyaknya tumpah mengenai leher Regina. Namun, ia tidak merasa ada api yang akan membakarnya.
“Saya tidak tahu, bahkan saya merasa gatal pada leher saya ketika api itu membakar saya,” kisahnya saat ditemui VoxNtt.com, Senin 11 Maret 2019.
Regina kaget ketika sang suami berusaha memadamkan api yang membakar lehernya. Ia tak sadar kalau api itu nyaris merenggut nyawanya.
Atas peristiwa itu pun Regina pun dirawat di kampung halamannya di Rana Kolong.
Sebelas bulan berselang ia baru sembuh. Namun, hinggga kini luka bakar itu masih membekas di lehernya.
Eko Jawa, Warisan Nenek
Tepat pada Februari 1992, ia mendapat titah dari sang nenek untuk melanjutkan Eko Jawa, sebuah karunia untuk mencari jalan penyembuhan bagi yang menderita sakit.
Kemampuan Eko Jawa juga bisa dipakai untuk menemukan kembali barang yang hilang.
Hanya orang-orang tertentu yang memiliki karunia itu. Tak tahu pasti sejarahnya. Namun yang jelas, sudah banyak kesaksian akan kebenarannya.
Dalam masyarakat tradisional Manggarai, orang-orang seperti Regina memang masih banyak ditemukan. Mereka biasa disebut Ata Mbeko (dukun).
Aliran kepercayaan ini percaya bahwa keberadaan roh alam dan roh nenek moyang tidak terlepas dari kehidupan manusia.
Itulah sebabnya kampung-kampung di Manggarai memiliki Compang atau altar sesajian untuk nenek moyang.
Compang menjadi salah satu filosofi hidup orang Manggarai, selain mbaru (rumah), natas (halaman bermain), uma (kebun), dan wae (air).
Kembali ke Eko Jawa, ritual ini dilakukan dengan cara menghitung jagung (jagung dalam bahasa Rongga disebut jawa). Hanya mereka yang terpilih yang mampu menginterpretasikan biji-biji jagung itu sehingga memberikan makna dan arti tertentu.
Ene Regina mengisahkan kala itu ia sedang baring di rumah neneknya.
“Waktu itu ada om yang datang ke rumah, dia datang lapor kudanya hilang dia minta bantuan nenek, langsung saya minta di nenek biar saya yang lakukan Eko Jawa,” kisahnya.
Permintaan Regina pun dikabulkan. Neneknya memberikan kesempatan untuknya. Dengan biji-biji jagung itu ia pun mulai berhitung seperti yang pernah dilakukan neneknya.
Tepat. Sesaat kemudian warga kampung memberitahukan kalau kuda itu sudah ditemukan.
Lama waktu berselang, nama Ene Regina mulai tersiar berkat kemampuannya. Hampir semua warga kampung itu meminta pertolongannya.
Lantas karena sudah siap, neneknya pun memberikan semua karunia yang dimilikinya kepada Regina. Ia berpesan untuk terus menjaga dan merawat warisan ilmu metafisika itu dengan baik.
“Jangan sampai salah memakainya bantulah orang-orang yang membutuhkannya,” ujar Regina mengulangi kata-kata neneknya.
Dipercaya
Pada tahun yang sama setelah sembuh dan mendapat warisan supranatural tesebut, Regina kembali ke kampung suaminya di Watunggong.
Kala itu masyarakat sudah mengetahui kemampuan Regina dari cerita warga yang datang mengunjungi dirinya selama di kampung Rana Kolong.
“Banyak selain warga ada juga bidan, romo/pastor dan beberapa orang terpandang lainnya,” ucapnya.
Selama seminggu, nyaris rumahnya selalu dikunjungi. Bahkan kata Ene Regina, mereka yang datang kadang antre.
Kadang sehari dia harus melayani tiga sampai empat orang ‘pasien’. Namun, prosesnya tidak seperti di rumah sakit atau puskesmas.
“Kalau satu orang sudah, 2 sampai 3 jam baru orang lain, tidak bisa satu kali,” ujarnya.
Hingga kini karunia itu pun dimanfaatkan Regina untuk membantu mereka yang membutuhkan pertolongan. Kendati demikian, Ene Regina tak bisa menggunakan karunia itu untuk penyembuhan dirinya ketika sakit.
“Itu semua saya yang tahu, saya tidak bisa memberitahukan kepada semua orang apa alasannya,” ucapnya.
Ene Regina tidak memiliki obat khusus, namun ia hanyalah jalan untuk mencari penyembuhan dari setiap orang yang mengalami persoalan hidup.
Cerita tentang orang-orang berkemampuan khusus seperti Ene Regina mungkin tidak bisa dipercaya seutuhnya. Namun tidak berarti, itu tidak benar.
Kebenaran kadang melampui logika manusia. Yang tidak logis itu, tidak selamanya tak benar. Bisa jadi pengetahuan manusia belum bisa mengungkapnya, sebab masyarakat lokal punya sistem pengetahuan tersendiri yang berbeda dengan pengetahuan positivisme.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Irvan K