Oleh: Donatus Vedin
Tiga minggu lagi rakyat Indonesia akan melangsungkan pemilihan presiden/wakil presiden dan anggota legislatif.
Pemilihan umum yang kerap juga disebut sebagai pesta rakyat ini, bagi sebagian orang merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu, terutama bagi mereka yang telah secara pasti memiliki calon ideal.
Namun, di lain pihak tidak dapat disangkal bahwa masih ada orang yang kurang dan bahkan tidak meminati pesta rakyat ini. Tentu ada berbagai alasan yang melatarbelakangi hal ini.
Salah satu alasan yang melatarbelakanginya, hemat saya adalah keraguan akan kapabilitas para calon dalam memimpin atau mewakili rakyat. Dapat diasumsikan bahwa para voters masih ragu apakah para calon memang merupakan pribadi ideal yang dapat merealisasikan aspirasi dan harapan mereka.
Keraguan terhadap para calon merupakan hal yang wajar dan dapat diterima secara akal sehat. Namun, keraguan ini tidak bisa menjadi alasan untuk tidak memilih satu pun (golput) dari para calon, karena bagaimanapun seseorang tidak dapat meragu secara radikal.
Dengan lain perkataan, meski kapabilitas seluruh calon patut diragukan, tetap ada calon yang sekurang-kurangnya lebih baik. Dengan ini mau dikatakan bahwa momentum pemilihan umum bukan sekadar ajang memilih calon yang sempurna.
Pemilihan umum adalah kesempatan untuk memilih calon yang lebih baik dan kesempatan untuk mengagalkan calon yang buruk (kapabilitas) berkuasa. Pertanyaannya adalah apa saja kriteria seorang (calon) pemimpin yang baik itu?
Kriteria (Calon) Pemimpin Ideal
Tulisan sederhana ini ditujukan pertama-tama kepada para voters yang mungkin masih bimbang dan ragu dalam menentukan sosok calon pemimpin yang akan dipilih. Secara keseluruhan isi tulisan ini berbicara tentang Yohanes Paulus II.
Menurut saya Yohanes Paulus II adalah salah satu sosok pemimpin ideal. Keutamaan dan keteladanan Yohanes Paulus II saat menjadi pemimpin Gereja Katolik Roma bisa menjadi acuan atau pembanding bagi voters dalam memilih calon pemimpin.
Harapannya adalah dengan mengenal Yohanes Paulus II dan mengetahui keteladanannya, voters yang masih ragu dapat secara pasti menentukan pilihan. Lebih dari itu, tujuan lain dari tulisan ini yakni agar para calon yang nantinya terpilih sekurang-kurangnya bisa meneladani kepemimpinan Yohanes Paulus II.
Yohanes Paulus II dipilih menjadi Paus setelah pendahulunya Yohanes Paulus I meninggal dunia setelah satu bulan lebih menduduki Tahta Suci Vatikan.
Segera setelah dinobatkan sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik, tatkala ia untuk pertama kali bertemu dengan umat di lapangan Santo Petrus untuk memberikan berkat, ada teladan (baru) yang ia tunjukkan. Sebelum memberikan berkatnya terlebih dahulu ia meminta agar umat mendoakan dia, baru setelah itu ia memberkati umat yang hadir.
Suatu yang harus diakui mengenai perbuatannya (meminta doa) menunjukkan bahwa ia menghormati umatnya. Ia menyadari dengan sungguh bahwa dalam diri umat, Tuhan juga hadir sehingga layak dan pantas baginya untuk memohon doa. Adalah benar jika dari teladan kecil ini bisa disimpulkan ia menghormati dan mencintai umatnya.
Hal ini bisa dilihat dari ensikilik pertama (Redemptor Hominis) yang ia keluarkan menempatkan manusia sebagai pribadi yang luhur. Manusia (umat) memiliki martabat yang luhur sebagai Citra Allah dan karena itu relasi yang dibangun harus di atas suatu pemahaman bahwa manusia adalah yang persona bukan hanya sebatas instrumen.
Kenyataan bahwa Yohanes Paulus II menghormati dan mencintai umatnya tidak hanya sebatas pada dikeluarkannya ensiklik Redemptor Hominis.
Lawatannya ke berbagai negara menjadi bukti kalau ia tidak hanya sebatas berteori tentang melihat manusia sebagai persona tetapi lebih dari itu ia sendiri telah membuktikannya dalam aksi nyata.
Untuk orang, bangsa dan negara yang masih melihat sesamanya sebagai instrumen belaka, Paus dengan penuh keberanian datang, masuk dan mampu mengubah pola pikir tersebut. Mereka pun mulai dan akhirnya menerima pembaharuan dan perubahan (manusia sebagai persona) yang dibawanya.
Dalam masa kepausannya (kepemimpinannya) praktik mendengarkan kerap kali ia tunjukkan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya audiensi yang ia lakukan baik dengan para petinggi gereja, umat (orang tua dan kaum muda) juga dengan agama-agama lain.
Sesungguhnya ajaran “mendengarkan sama pentingnya dengan berbicara” telah menjiwai sosok ini. Baginya aktus “mendengar” adalah hal terpenting agar relasi tetap berjalan baik.
Tatkala menyebut nama Galileo Galeli, dunia diingatkan pada kesalahan (besar) yang dibuat oleh Gereja. Gereja yang memandang Kitab Suci sebagai sumber dan pedoman segala ilmu dalam arti sempit dan keras sempat menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.
Ajaran “Heliosentrisme” (matahari pusat segala kehidupan) yang dilahirkan oleh Copernicus (seorang pastor) kemudian dikembangkan (diterkenalkan) oleh Galileo Galeli mendapat kutukan dari Gereja.
Gereja mengutuki paham ini karena bertentangan dengan Kitab Suci yang mengajarkan paham “Geosentrisme” (bumi pusat segala sesuatu). Baru kemudian diketahui paham Geosentrisme salah.
Gereja berefleksi tetapi mungkin karena belum mendalam sehingga kesalahan yang dilakukan ini belum diturutsertakan dengan permohonan maaf.
Setelah puluhan tahun berlalu, barulah pada masa kepemimpinan Yohanes Paulus II, Gereja dengan berani dan tegas menyampaikan permohonan maaf kepada dunia khususnya ilmuwan atas kekeliruan yang dilakukan Gereja.
Keberanian Yohanes Paulus II menyampaikan permohonan maaf menunjukkan kerendahan hatinya. Ia berani mengakui kesalahan.
Karya-karya besarnya mencapai puncak kepenuhan dalam cita-citanya untuk dunia yang damai dan sejahtera. Ia tanpa takut mengkritisi negara-negara yang berperang.
Dalam ensiklik sosialnya, Centesimus Annus, Paus menegaskan bahwa perang dan pembunuhan lebih menghasilkan kebencian, kemarahan serta balas dendam.
Ia mengajak setiap orang untuk saling mengampuni agar dunia yang adil dan damai bisa tercapai. Paus mengharapkan agar setiap negara lebih membangun “jembatan” dan bukan “tembok”. Ia mengatakan, jembatan akan menghubungkan yang terpisah sedangkan tembok akan memisahkan yang telah bersatu.
Dalam masa kepemimpinannya yang terutama ia lakukan semata-mata demi kebahagian dan kesejahteraan umat yang dipimpinnya. Dari semua yang ia lakukan dan tunjukkan tidak salah jika dikatakan bahwa ia adalah seorang Paus yang berkharakter pelayan.
Keberadaanya sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik tidak menjadikan dia sebagai seorang yang dilayani. Ia malah menjadikan dirinya sebagai pelayan. Kebaikan dan kebahagian umat yang dipimpinnya adalah yang terutama dan bukan kebahagian dirinya sendiri.
Baginya, pemimpin adalah pelayan dan bukan penguasa. Penguasa cenderung untuk memeras dan tidak mendengarkan orang yang dipimpinnya. Berbeda dengan pelayan, hal utama yang ia perjuangkan adalah kebahagian orang yang dilayaninya dan hal ini telah ditunjukkan oleh Yohanes Paulus II.
Sosok ini telah meninggalkan dunia. Kalaupun demikian ingatan tentang dirinya, tentang karya-karyanya, tentang keutamaannya masih segar dalam memori manusia (umat katolik khususnya).
Paus yang kini telah menjadi Santo (yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober) kirannya patut untuk diteladani. Menurut hemat saya, begitu banyak keutamaan yang bisa diteladani terutama dari kepemimpinannya.
Pada kesempatan ini saya mengemukakan dua keutamaan yang bisa menjadi kriteria bagi voters dalam memilih calon pemimpin juga bagi calon pemimpin yang nantinya terpilih untuk diteladani dalam kepemimpinan.
Pertama, kerendahan hati. Kerendahan hati telah menjadi kepribadian dari sosok Yohanes Paulus II. Mengakui kesalahan sendiri dan memaafkan kesalahan orang lain adalah bukti nyata dari kerendahan hatinya. Mewakili Gereja yang adalah bagian dari dirinya, ia tanpa malu menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan yang dilakukan pendahulunya. Ia mengakui bahwa Gereja pernah menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.
Peristiwa yang menunjukkan kerendahan hatinya tidak hanya sebatas mengakui kesalahan. Kerendahan hatinya juga ia tunjukkan tatkala memaafkan Ali Agca yang mencoba membunuhnya dengan menembakan peluru tepat di luar jantungnya. Terhadap Ali Agca ia tidak menaruh dendam. Sedikitpun ia tidak berpikir bahwa ia hampir mati tetapi yang ia pikirkan adalah syukur karena masih hidup. Dengan pemikiran ini, ia pun bisa memaafkan dan melupakan kesalahan Ali Agca.
Dari teladan Yohanes Paulus II ini, kita bisa menyimpulkan bahwa kerendahan hati menjadi hal yang terpenting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Kerendahan hati menjadikan ia memiliki kedekatan dengan orang yang dipimpinnya dan bisa mengetahui kebutuhan orang yang dipimpinnya. Hanya mungkin dengan kerendahan hati seorang pemimpin menjadi orang yang besar di mata orang yang dipimpinnya.
Kedua, mendengarkan. Keutamaan lain yang patut diteladani dari sosok Yohanes Paulus II adalah antusiasnya untuk mendengarkan orang lain. Bukan menjadi hal yang sulit baginya untuk mengetahui kebutuhan umatnya karena ia terlebih dahulu mau mendengarkan mereka. Tatkala melawati suatu negara ia menyempatkan diri untuk mendengarkan para imam, orang tua dan kaum muda. Beliau menyadari bahwa mendengar sangatlah penting karena dengan mendengar ia bisa berbuat sesuatu yang menjadi kebutuhan dari orang yang dipimpinnya.
Mendengarkan sangatlah penting bagi seorang pemimpin. Hanya karena terlebih dahulu mendengar maka ia akan memahami dan mengetahui kebutuhan orang yang dipimpinnya. Dan tidak pernah sebaliknya yaitu terlebih dahulu ia berbuat baru setelah itu ia mendengarkan. Jika demikian, kemungkinan untuk terjadinya penolakan oleh orang yang dipimpin lebih besar.
Kerendahan hati dan mau mendengar sangat penting untuk dimiliki oleh seorang (calon) pemimpin. Beragamnya persoalan dan kebutuhan manusia (rakyat) hanya mungkin dapat terselesaikan jika pemimpinnya adalah seorang yang mau mendengarkan dan rendah hati.
(Calon) pemimpin harus menyadari bahwa mereka bukanlah penguasa yang hanya tahu memeras tetapi pemimpin adalah pelayan yang memiliki tanggung jawab untuk kebahagian orang yang dipimpinnya.
*Penulis adalah calon imam keuskupan Ruteng. Tinggal di Ritapiret.