Mbay, Vox NTT-Wacana pembangunan waduk Lambo, di Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo hingga kini menuai pro dan kontra.
Pada 18 Maret lalu, kelompok kontra yang terdiri dari masyarakat adat Lambo, Rendu, dan Ndora menggelar aksi unjuk rasa di halaman Kantor Bupati Nagekeo.
Saat itu mereka datang di bawah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Nusa Bunga.
Dalam tuntutannya, AMAN sebenarnya tidak menolak pembangunan waduk Lambo. Mereka hanya menolak terkait lokasi dan diusulkan waduk tersebut harus bertempat di Malawaka atau Lowopebhu, bukan di Lowose.
Dasar penolakannya yakni karena lokasi yang akan dibangun waduk di Lowose terdapat tanah adat.
Di dalamnya memiliki tempat ritus budaya, kubur leluhur, tanaman produktif, pemukiman warga, rumah ibadah, dan sekolah.
Menurut AMAN, tempat-tempat tersebut perlu dijaga dan dilestarikan dari masa ke masa hingga anak cucu.
Selanjutnya, pada Kamis 4 April 2019, ada 23 orang Lembaga Pemangku Adat (LPA) masyarakat Labo-Kawa Desa Labolewa mendatangi Aula Kantor Bupati Nagekeo.
Kedatangan mereka bertujuan untuk mendukung sepenuhnya proses percepatan pembangunan waduk Lambo.
Ke-23 warga tersebut meminta Pemerintah segera mendata lahan yang terkena dampak akibat pembangunan waduk Lambo di Tabase, Desa Labolewa.
Mereka juga meminta Pemerintah untuk tetap menggunakan nama “Waduk Lambo”. Alasannya, lokasi pembangunan Waduk Lambo merupakan tanah ulayat Labo-Kawa.
“Hari ini kami datang mau memberitahukan kepada publik bahwa yang terkena dampak adalah hak masyarakat adat Labo-Kawa,” tutur Marselinus Ladho, salah satu warga yang tergabung dalam LPA Labo-Kawa, di hadapan Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco Do dan para awak media.
Hal itu kemudian dipertegas oleh Ketua LPA Labo-Kawa, Thomas Jawa Sina.
Lewat pernyataan sikap LPA Desa Labolewa, Thomas menegaskan, masyarakat adat Labo-Kawa meminta Bupati Nagekeo agar secepatnya menindaklanjuti proses pengukuran atau pendataan. Itu terutama untuk melindungi kepentingan masyarakat yang terkena dampak proyek strategis nasional tersebut.
Masyarakat adat Labo-Kawa, kata dia, menolak hasil survey Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari Land Acqusition Resetrlmen Action (LARAP) dan Balai Wilayah Sungai (BWS) dengan volume seluas 295 hektare.
Thomas menambahkan, masyarakat adat Labo-Kawa mendukung usulan Pemkab Nagekeo di bawah kepimpinan Bupati Elias Djo dan Wakil Bupati Paulina Y Nuwa Veto, yakni waduk Lambo sebesar 431 hektare.
Menurut dia, usulan pada 24 Desember 2017 lalu tersebut disetujui oleh Goriez Mere sebagai staf khusus presiden Indonesia.
Ia menegaskan, nama “Waduk Lambo” sudah harga mati dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Alasannya, hasil survey dari titik nol terletak di Tabase yang adalah tanah masyarakat adat Labo -Kawa.
Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco Do dalam kesempatan itu berjanji akan menindaklanjuti tuntutan LPA Labo -Kawa.
Bupati Don pun meminta BPN untuk melakukan survey secara lebih detail. Itu terkait dampak yang akan diterima warga di balik pembangunan “Waduk Lambo”.
Survey detail itu bertujuan untuk mencegah hak-hak pribadi warga, baik rumah, penerangan maupun lahan tidak terhitung terkena dampak.
“Sebagai kepala daerah yang bertanggung jawab terakhir pada persoalan warga ini, saya memutuskan untuk meminta kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan pengukuran secara detail. Karena dalam keterangan BPN warga akan mendapatkan tiga kategori yakni rumah dan pekarangan, kebun, serta tanah sisa,” ujar Bupati Don.
Penulis: Arkadius Togo
Editor: Ardy Abba