Oleh: Frederikus Kolo*
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kabupaten Timor Tengah Utara hampir terjadi setiap hari dan terus meningkat.
KDRT yang terjadi tidak hanya menimpa perempuan dewasa yang sudah menikah tetapi juga perempuan dewasa yang belum menikah.
Penelitian YABIKU NTT sepanjang tahun 2015-2017, mengungkap KDRT terjadi bukan karena faktor gender. KDRT justru terjadi karena ada kesenjangan pendidikan, usia, pekerjaan, budaya, akses dan kontrol antara pelaku dan korban.
Ketika seseorang merasa lebih berkuasa dan lebih kuat atas individu lain dalam satu kelompok, maka akan berpotensi menjadi pelaku. Demikian pula ketika seseorang dikuasai dan merasa lemah terhadap individu lain, maka berpotensi menjadi korban.
Jumlah kasus KDRT yang terjadi dari tahun ke tahun terus meningkat meski sudah ada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004. Bahkan di Kabupaten TTU telah ada Perda Nomor 14 Tahun 2016 tentang penyelenggaraan perlindungan perempuan.
Perda ini lahir karena proses penyelesaian kasus KDRT masih secara kekeluargaan atau adat sehingga belum memberikan efek jera kepada pelaku.
Hal ini terbukti dari total 30 kasus KDRT yang terjadi di desa Kuanek dan desa Maubesi sepanjang 2015-2017, tidak ada kasus yang diselesaikan secara hukum atau di pengadilan. Selain penyelesaiannya memilih jalur adat, para saksi juga takut melapor atau menjadi saksi di hadapan aparat penegak hukum.
Padahal sudah jelas tertulis di Undang-Undang perlindungan perempuan dan anak korban bahwa perempuan dan anak berhak memperolah rasa aman, nyaman, dan hak mendapatkan perlindungan hukum dari berbagai tindakan kekerasan.
Hal ini yang membuat kasus-kasus kekerasan hanya diselesaikan melalui mediasi keluarga.
Lebih jauh pilihan memakai jalur adat dilatari oleh beberapa faktor berikut:
Pertama, korban memiliki ketergantungan ekonomi terhadap pelaku. Beberapa korban KDRT sudah berupaya melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada polisi, namun kemudian mencabut kembali laporanya lantaran khawatir tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Berikut adalah hasil kutipan pernyataan dari seorang korban KDRT.
“Saya ingin melaporkan masalah tersebut ke polisi akan tetapi setelah saya pikir-pikir saya akan susah untuk mencari nafkah dan mengurus anak-anak. Hal ini yang membuat saya memilih untuk masalah kami diselesaikan secara kekeluargaan dengan membuat sumpah adat, sehingga apabila besok-besok dia mengulangi lagi perbuatan tersebut maka akan ditegur oleh alam dan para leluhur kami, misalnya sakit tiba-tiba atau mati tiba-tiba.” ( EF, penyintas, 10 juli 2018).
“Saya ingin melaporkan masalah tersebut ke polisi, tapi karena faktor uang dan ada masukan dari keluarga bahwa untuk sementara ini kita tidak boleh lapor karena kejadian baru satu kali, apabila dia mengulangi lagi perbuatanya baru kita lapor ke polisi. Saya dan keluarga juga merasa puas dengan proses penyelesaian secara adat karena denda yang diberikan tidak terlalu banyak, hanya RP 250.000, sopi satu botol, dan ayam dua ekor . uang denda tersebut tidak diberikan kepada saya (Korban), akan tetapi diberikan kepada Atoin Amaf ( paman /om dari korban) dengan alasan kami dua sudah mempermalukan mereka. Meskipun denda tersebut tidak diberikan kepada saya (korban) akan tetapi saya merasa puas karena pada saat itu juga pelaku disumpah secara adat dan sekarang dia sudah tobat.” (TS perempuan penyintas, 22 juli 2018)
Kedua, KDRT masih dianggap sebagai urusan privat/pribadi. Warga yang mendengar bahkan menyaksikan langsung KDRT enggan memberikan pertolongan kepada korban atau melaporkan ke pihak berwenang lantaran menilai persoalan itu sebagai masalah internal keluarga sehingga tidak mau terlibat.
Bahkan korban maupun keluarga korban masih menganggap kekerasan yang dialaminya bukan sebagai hal yang serius, melainkan hanya persoalan keluarga yang cukup diselesaikan melalui mediasi keluarga.
Anggapan tersebut yang masih diterapkan di masyarakat sehingga kasus-kasus KDRT yang terjadi tidak terungkap.
Ketiga, sosialisasi PERDA Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan di Kabupaten Timor Tengah Utara Belum Maksimal.
Salah satu upaya untuk meminimalisir kasus kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten TTU oleh Pemerintah Daerah Kabupaten yakni melalui Peraturan Daerah Timor Tengah Utara Nomor 14 Tahun 2016 tentang penyelenggaraan perlindungan perempuan.
PERDA tersebut merupakan inisiatif dari DPRD Kabupaten TTU, yang digodok sejak tahun 2014 dan disahkan pada tahun 2016 dengan tujuan agar masyarakat TTU secara umum dapat mengetahui bahwa sudah ada payung hukum yang menaungi perempuan korban kekerasan.
Sayangnya, sampai saat ini PERDA tersebut belum disampaikan kepada seluruh masyarakat di Kabupaten TTU. Padahal kalau PERDA tersebut sudah diketahui oleh masyarakat maka semua pemerintah desa akan menurunkan lagi menjadi peraturan desa atau PERDES sehingga dapat menekan terjadinya kekerasan terhadap perempuan sekaligus memberikan efek jera kepada pelaku.
Oleh karena itu sebagai bentuk kepedulian terhadap perempuan maka Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak perlu bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan baik yang ada di level desa maupun di kabupaten untuk mensosialisasikan PERDA tersebut kepada seluruh masyarakat di kabupaten TTU.
Selain itu, mendorong semua desa untuk membuat PERDES perlindungan perempuan di desa.
Kegiatan sosialisasi PERDA merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten TTU.
Hal tersebut karena Dinas P3A yang mempunyai wewenang di level kabupaten untuk menyebarluaskan isu perlindungan perempuan dan anak kepada masyarakat.
Materi sosialisasinya harus dipilih dan dikemas sedemikian rupa sehingga apa yang disampaikan dapat dimengerti dan bersentuhan lansung dengan kebutuhan masyarakat.
*Penulis adalah anggota/pelaksana YABIKU NTT