*) Cerpen Ikel Male
Entah sampai kapan ini akan terus berlangsung, sampai semua makhluk bener-benar lupa dan tidak pernah tahu bahwa sejarah masa lalu nenek moyang telah menciptakan mitos, sampai manusia tidak lagi memiliki agama dan iman mereka telah digantikan dengan kyakinan yang mereka temukan pada generasi mereka.
Perihal Nitu Nua (julukan untuk makhluk supranatural yang dipercaya sebagai penjaga kampung) sudah sejak generasi pertama yang mendiami kampung kecil ini hingga sekarang, setidaknya masih ada yang meyakini bahwa ada sosok kasat mata yang menjaga kampung tua ini.
Keyakinan macam apakah itu? Apakah seperti umat Israel yang mempercayai Yahwe sebagai pelindung mereka dari serangan musuh? Suatu perbandingan yang tidak akan pernah mungkin setara, sebab ini hanyalah mitos biasa sebagai cerita penghibur duka, cerita pengantar tidur anak-anak yang takut akan kegelapan malam tanpa cahaya.
Kebetulan ada benda asing yang mereka sebut tiang listrik terbaring kaku di pinggir-pingir jalan, pikir anak-anak jangan jangan tengah malam ketika semua telah terlelap, benda asing ini mengambil mereka dari dekapan ibunya. Itulah kegilaan imajinasi anak-anak dan untuk meyakinakan mereka bahwa semuanya akan baik baik saja maka terciptalah cerita penghibur.
Nitu Nua, penjaga kampung (makhluk misterius) yang sanggup memberikan ketentraman dan kedamaian hidup bagi warga kampung, mengusir musuh yang mengganggu, dan malapetaka lain.
Namun demikian masih ada saling membunuh dan merebut kekuasaan menjadi tuan tanah dengan cara apapun. Bahkan kadang saudara sendiri pun dibunuh. Saya bingung dan bertanya di mana peran Nitu Nua? Suatu ironi bukan?
***
Satu minggu terakhir ini di setiap rumah, di setiap kerumunan satu dua orang berada, laki perempuan, tua muda, besar kecil disibukan dengan cerita seputar Nitu Nua yang sedang marah. Pasalnya salah satu anak laki-laki yang hilang ditemukan tergeletak di atas dahan pohon besar, yang menurut cerita pohon tersebut adalah tempat tinggal Nitu Nua.
Banyak orang berasumsi bahwa peristiwa ini terjadi karena kenakalan anak tersebut yang telah membunuh ular di bawah pohon besar sekitar jam satu dini hari sebelum anak itu menghilang.
Kegemparan cerita ini menjalar hingga ke kampung-kampung tetangga sehingga yang tidak takut menjadi takut, yang sudah takut semakin takut, Itulah kedasayatan cerita dari mulut ke mulut.
Satu kesempatan mosalaki ria bewa (para tetua yang memegang jabatan tertentu dalam adat) memanggil semua ana kalo fai walu (sebutan untuk masyarakat biasa selain para tetua adat dalam adat masyarakat Lio).
“Anak-anaku tentu kita semua tahu akan peristiwa yang telah menimpa kampung kita tercinta. Adalah suatu pertanda bahwa ada yang tidak beres dengan kehidupan kita di kampung ini, sehingga yang menjadi korban adalah anak kita sendiri. Ini adalah hal yang tidak mudah dibiarkan begitu saja. Kita harus melakukan permohonan maaf dengan mempersembakan tanduk Kerbau merah agar jiwa anak kita yang ditemukan berbaring di atas dahan tua itu dikembalikan, jika tidak nyawa anak itu menjadi taruhan, yang ada dalam gengaman kita sekarang hanyalah anak tanpa jiwa”.
Menanggapi hal tersebut, dalam waktu satu minggu selanjutnya kesibukan masyaraskat benar-benar total. Bunyi gong gendang, tarian pemujaan, nyanyian syair-syair adat dilantunkan, pembunuhan kerbau merah dilangsungkan tepat di bawah pohon tua itu darahnya dioles pada anak lelaki malang dan tanduknya digantungkan.
Malam harinya ketua adat mendapat suatu pengelihatan, bahwa ada seekor ular besar melilit pohon tua itu dan menjilat percikan serta genangan darah yang ada disekitar pohon tempat pemenggalan kepala Kerbau.
Dari balik kulitnya keluarlah semacam kabut berbentuk manusia terbang meninggalkan ular dan pohon tua itu. Suatu mukjizat yang memang sudah diyakini oleh seluruh masyarakat bahwa hal itu akan terjadi. Anak itu berangsur angsur mulai pulih, pada tengah hari ia sudah kembali beraktivitas seperti biasa walaupun masih dalam pengawasan.
Dedu, mahasiswa salah satu universitas metropolitan yang kebetulan berlibur mengalami suatu pergulatan, mengaku kebenaran mitos yang sudah lama ia tinggalkan ataukah berusaha mencari tahu fenomena apa di balik pristiwa ini.
Pada saat ia memutuskan mencari tahu ia dihadapkan pada suatu persoalan baru yang tidak ia pikirkan sebelumnya. Dedu menjadi buah bibir masyarakat, ia dicap sebagai anak tidak tau diri, seorang anak pembangkang yang ingin merusak segala keharmonisan dalam kampungnya.
Suatu kesempatan Dedu berkata, “Keharmonisan seperti apakah yang kalian maksudkan? Di sini, di kampung ini hanya ada kebobrokan yang tidak pernah disadari oleh kalian semua. Apakah upaya saling membenci, saling membunuh dalam sengketa tanah, sikap iri hati yang merajalela dan saling menjatuhkan ketika yang lain ingin maju adalah suatu keharmonisan. Sadar! Cepatlah sadar sebelum samaskali terlambat.”
Dengan pernyataan seperti ini Dedu sebenarnya telah memberi secercah cahaya dalam kegelapan arus untuk orang-orang di kampung.
Kemudian ia sekali lagi berkata, “Saya yakin kalian semua takut untuk keluar dari kenyaman yang kalian miliki saat ini, takut untuk berontak terhadap ketentuan yang telah ditetapkan oleh adat istiadat, karena memang setiap orang yang melawan adat, sekalipun tidak benar selalu dicerca oleh sesamanya. Sampai kapan? Mitos-mitos yang ada hanyalah ciptaan generasi tua untuk meyakinkan dan menakutkan para warganya supaya jangan sekali-kali membangkang. Saya juga tidak mengajak kalian semua untuk tinggalkan adat istiadat yang kita pegang saat ini, sebab inilah akar kehidupan kita. Yang saya minta adalah kita sadar mana adat yang menguntungkan kita dan mana yang membodohkan kita. Perihal pristiwa kemarin yang terjadi bukanlah kemarahan penghuni yang tinggal di beringin itu tetapi suatu ketakutan yang muncul dalam diri anak itu sendiri. ketika ia memanjat pohon tua itu dalam ketinggian seperti itu ia menemukan ular yang sedang memburu burung-burung yang bersarang di pohon disaat ia memutuskan untuk turun ia ketakutan karena jaraknya terlalu tinggi. Ketakutan itulah yang membuat ia panik dan pingsan. Trauma akan pristiwa ini membuat ia sulit atau membutukan waktu untuk beraktivitas seperti biasanya. Namun atas keyakinan yang dibangun dari orang-orang sekitarnya bahwa ia akan sembuh membuat ganguan ini cepat menghilang. Maka dari ini saya ingin mengatakan sekali lagi bahwa yang mempengarui kehidupan kita adalah pikiran dan keyakinan kita. Ketika kita berpikir positif dan selalu yakin akan segalah sesuatu maka itulah yang akan terjadi. Pemenggalan kepala kerbau adalah sugesti yang dibuat untuk mengontrol pikiran kita dan membangun keyakinan kita bahwa anak ini akan sembuh. Setelah peristiwa pemengalan kepal kerbau itu apa yang terjadi, anak itu sembuh.”
Semua orang yang mendengar saling menoleh satu sama lain dengan air muka penuh sangsi, lalu menundukkan kepala perlahan-lahan.
***
Kini di kampung ini Dedu menjadi orang yang dibenci dan sekaligus disayang. Dibenci karena menciptakan keretakan pandangan dalam kampung, menciptakan kubu pro dan kontra.
Namun tidak sedikit yang menyayanginya karena dengan pemahaman yang ia berikan telah menciptakan percik-percik pikiran baru. Percikan-percikan inlah yang padaa akhirnya membuat orang keluar dari kekunoan dan mulai mengikuti peradapan yang baru, peradapan rational.
Gabriel, 15 February 2019
*Ikel Male, lahir di Ende 7 Agustus 1997. Almnus Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko. Sekarang menempuh studi filsafat di STFK Ledalero.