Oleh Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
Pemilu 2019 telah usai. Sekarang saatnya menghitung peluang dan kemungkinan. Pemilihan presiden dan wakil presiden sungguh menarik. Menarik terutama karena dua hal pokok. Pertama, adanya perhitungan cepat versi beberapa lembaga survei. Kedua, adanya perhitungan real.
Karena dua hal ini, muncul klaim satu dua pihak. Jika kelompok TKN mengacu pada hasil perhitungan cepat lembaga survei, BPN memilih jalan perhitungan real secara internal sebagai basis.
Menurut hasil perhitungan cepat 10 lembaga survei, pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin memperoleh suara mayoritas dalam kisaran 52-55%. Sebaliknya, pasangan Prabowo-Sandi memperoleh suara dalam bentangan 44-46% (nasional.kompas.com, 17/04).
Karena hasil demikian, pihak BPN meradang. Mereka kemudian mengajukan satu instrumen lain untuk mengukur kemenangan Prabowo-Sandi. Alat yang disebut perhitungan real di 40% TPS dipakai sebagai dasar. Disebutkan, menurut hitungan real, pasangan Prabowo-Sandi justeru menjadi pemenang karena berhasil meraup suara 62%.
Menyikapi hasil hitung cepat lembaga survei, Capres Joko Widodo meminta semua pihak terutama pendukungnya untuk tidak berbesar hati. Pendukung diminta tidak melakukan konvoi atas keunggulan pasangan Jokowi-Ma’ruf menurut takaran ilmiah lembaga survei. Semua pihak baru boleh menyatakan menang jika KPU sudah mengambil keputusan melalui perhitungan suara secara nasional (Suara Pembaruan, 18/04).
Lain Jokowi, lain pula Prabowo berikut pendukungnya. Prabowo bersama BPN menolak hasil survei. Bahkan, pasangan ini menyebut bahwa ada skenario besar menggiring opini publik agar bisa disebut pasangan Prabowo-Sandi kalah dalam kontestasi.
Karena itu, pihak BPN dan Prabowo hampir tiga kali melakukan deklarasi kemenangan. Dengan nada yang amat yakin, Prabowo bahkan mengklaim jika dirinya berhasil menjadi presiden untuk semua kalangan (news.detik.com, 18/04).
Pertanyaan penting kemudian ialah bagaimana kita dapat memahami fenomena ini? Pertanyaan ini laik diajukan karena realitas klaim tidak hanya menjadi hak setiap kelompok dalam demokrasi tetapi jika tidak berdasarkan data, klaim kemenangan justeru akan semakin memanaskan situasi.
Saya tidak masuk ke soal klaim itu. Yang ingin disampaikan di sini ialah urgensi legitimasi dan legalitas bagi kedua pasangan calon presiden. Tesis dasarnya ialah setiap klaim kemenangan didasarkan pada tujuan utama yakni mendapatkan basis legitimasi sosial. Selanjutnya, legitimasi sosial baru akan diakui jika aspek legalitasnya terpenuhi.
Pertarungan Legalitas dan Legitimasi
Ignas Kleden (1999) pernah menjelaskan legalitas sebagai pemerintahan yang dibentuk melalui pemilihan umum yang demokratis sesuai regulasi atau peraturan yang ada. Sebaliknya, legitimasi berhubungan dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan kemudian digunakan untuk rakyat. Dengan kata lain, legitimasi berkaitan erat dengan proses sosial sedangkan legalitas berhubungan dengan aspek hukum.
Pemilu (17/04) yang lalu harus disebut sebagai pertarungan legalitas di satu sisi dengan legitimasi di titik yang lain. Tiga kondisi yang muncul sekaligus di sini.
Pertama, proses kemarin akan menentukan apakah pemimpin yang terpilih memenuhi unsur legalitas dan legitimasi sekaligus. Seseorang dipilih menurut aturan yang berlaku dan karena itu mendapatkan legitimasi sosial di kemudian hari.
Kedua, karena satu dua sebab tertentu, penyelewengan misalnya, seseorang terpilih secara legal tetapi tidak mendapatkan legitimasi sosial. Ketiga, berkaitan dengan hal kedua tersebut, seseorang terpilih dengan menghalalkan segala cara (mengabaikan aspek legalitas) dengan konsekuensi tidak mendapatkan legitimasi dikemudian hari.
Dengan demikian, Pemilu hemat saya tidak hanya bertujuan memilih pemimpin politik. Proses itu tidak hanya menjadi pintu masuk untuk proses pembangunan politik dan demokrasi selanjutnya. Selain sebagai tolok ukur perkembangan demokrasi, Pemilu kental menguji daya legitimasi seseorang yang akan menjadi pemimpin di hari esok.
Mencari Legitimasi
Dalam demokrasi, klaim kemenangan merupakan hal wajar. Asalkan pihak yang mengklaim memiliki data yang valid dan benar. Soal menjadi muncul ketika klaim tidak diikuti dengan basis data akurat dan hanya berpatokan pada emosi hati dan rasa.
Legalitas dan legitimasi amat diperlukan setiap orang yang ingin menjadi pemimpin. Legalitas dan legitimasi merupakan kekuatan utama seseorang dalam memimpin sebuah lembaga ke depan.
Dua hal itu perlu didiskusikan di sini karena fakta pascapemilu presiden dan wakil presiden, legitimasi menjadi sesuatu yang terus dicari. Jika BPN mencari legitimasi berdasarkan perhitungan real, TKN berketetapan bahwa urusan legitimasi baru bisa didapat setelah KPU telah menetapkan pemenang kontestasi.
Pemilu merupakan basis legal agar dapat diakui legalitas hukum jika salah satu pasangan capres memerintah lima tahun ke depan. Berbasiskan hasil perhitungan cepat 10 lembaga survei yang menempatkan dirinya sebagai peraih suara mayoritas, Jokowi sebenarnya memiliki basis legitimasi yang sangat kuat untuk mengklaim kemenangan. Deklarasi kemenangan tidak dilakukan Jokowi meski sekarang sudah mulai dilakukan di beberapa titik.
Sebaliknya, karena kalah dalam perhitungan cepat, Prabowo justeru mencari basis legitimasi yang lain yakni jalur perhitungan real secara internal. Prabowo menuduh hasil perhitungan cepat lembaga survei menjadi alat satu dua kelompok untuk menggiring opini publik.
Implikasi praktis dari kondisi ini ialah kebingungan banyak pihak akan alasan klaim kemenangan yang dilakukan Prabowo dan keengganan Jokowi mendeklarasikan kemenangan. Di situ, legitimasi menjadi penting disebut.
Hemat saya, kedua pasangan calon presiden tengah mencari legitimasi sosial akan proses politik sebelumnya. Keduanya sama-sama berpeluang mendapatkan tumpahan legitimasi yang amat besar jika KPU telah mengeluarkan putusan akhir. Jika KPU memutuskan Prabowo sebagai pemenang, legitimasi kemenangannya semakin kuat.
Sebaliknya, delegitimasi justeru bukan di Jokowi tetapi pada lembaga survei. Sebab, hasil survei ternyata tidak sama dengan perhitungan KPU. Jokowi tentu berada dalam zona aman karena dia tidak pernah mendeklarasikan kemenangan sejauh ini secara terbuka seperti yang dilakukan Prabowo.
Sebaliknya, jika KPU memutuskan Jokowi sebagai pemenang, tidak saja legalitas yang didapat Jokowi, tetapi legitimasi sosial sekaligus. Di titik yang lain, legitimasi Prabowo semakin menurun karena klaim kemenangan yang dilakukannya sebelum putusan KPU.