Borong, Vox NTT-Senyum sumringah tampak dari kedua parasnya. Tak peduli panasnya terik, mereka tetap mengais rezeki.
Senin (13/05/2019), matahari perlahan menuju ke arah barat. Kedua pasangan itu tengah duduk di dalam sebuah pondok yang renyot. Bertiang batu. Beralas pelupuh. Beratap terpal yang kusam dan sobek.
Walau demikian, pondok itu rupanya tempat bagi mereka untuk berteduh dan menjinjing harapan. Sudah 17 tahun lamanya mereka mengumpul pundi-pundi rupiah dari tempat itu. Tempat berdebu bahkan rawan longsor. Mereka memiliki nyali yang tinggi.
Sepintas, lokasi itu tak layak dijadikan tempat untuk mengais rezeki bagi keduanya. Namun, tak ada pilihan lain sepasang suami istri, Polus Tutu dan Susana Eti tetap memilih menjadi penambang pasir.
Usia Polus sudah tak uzon lagi. Ia sudah 68 tahun. Pria kelahiran Ngada itu terlahir 6 tahun setelah Indonesia merdeka. Tubuhnya kurus dan pendek. Aliran darah tampak dari urat tangannya.
Begitupun Susana sang istri. Ia sudah berusia 55 tahun. Sudah lebih dari setengah abad. Susana berasal dari Kampung Pagal, Kabupaten Manggarai.
Ketika Polus merantau ke Ruteng tahun 1973 ia bertemu Susana. Mereka merajut asmara. Berpacaran dan akhirnya menikah. Lama waktu berselang Susana mengandung. Mereka dikaruniai seorang putri. Namanya, Yeni Tutu. Kini sudah bersuami. Suaminya berasal dari Rowang, Kabupaten Manggarai.
Tahun 1983, keduanya memilih menetap di Kampung Wolokolo, Kelurahan Kota Ndora, Kecamatan Borong. Sekitar 400 meter dengan tempat mereka menambang pasir.
“Waktu itu kami pacaran saya masih sopir oto,” kenang Polus tentang kisah cinta keduanya.
Susana tersenyum. Keduanya saling menatap. Melempar senyum. Mereka membuka lembar kenangan. Semuanya pun ceriah.
Di Tanah Pemda
Semasa jadi penambang keduanya mengaku tidak pernah mengalami peristiwa kelam di tempat itu.
“Saya belum pernah sakit berat tetapi kalau flu, demam itu biasa. Kalau tidak kerja pasti lebih para sakitnya, terpaksa saya harus kerja supaya bisa keluar keringat,” ucap Polus.
Kendati demikian kata Polus, tempat itu bukanlah milik pribadi melainkan milik pemerintah daerah (pemda) Matim.
Dikisahkannya, pada tahun 2002 lalu mereka membayar retribusi Rp 25.000 setiap bulan. Namun, saat ini mereka tidak lagi membayar restribusi.
“Mereka suruh kami kerja, nanti kalau mereka bangun sesuatu di sini berarti kami berhenti sudah jadi penambang pasir,” ujar Polus.
Diakui Polus, dalam waktu seminggu keduanya hanya mampu menampung 2 sampai 3 kumpul pasir. Setiap kumpulnya itu dijual Rp 150.000.
Itu pun kalau ada yang membelinya. Kalau tidak dalam waktu seminggu bahkan sebulan mereka tak mendapatkan sepeser rupiah pun.
Baca Juga: Mimpi Antonius Tamat
“Ada yang beli dengan Rp 100.000 kalau sangat membutuhkan uang kami pasti jual, tapi saya bilang di mereka jangan terus-terus e..,” keluh Susana.
Peralatan Seadanya
Hampir setiap hari tepat pukul 08.00 Wita mareka mulai beraktivitas. Hanya bermodalkan skop, linggis dan besi mereka mulai bekerja.
“Kami kalau pulang jam 02.00 Wita atau 03.00 Wita, kalau hari Sabtu kami pulang tengah hari karena persiapan misa,” ujarnya.
Kata Polus, menggali pasir taklah mudah. Nyali, semangat dan tak putus asa merupakan hal yang paling utama.
Baca Juga: Ene Regina, “Ata Mbeko” Asal Matim yang Mencari Jalan Penyembuhan
“Bukan hanya kami bekerja di sini ada 10 penambang lainnya, yang memilih senasib seperti kami,” kata Polus.
Bersambung….
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba