Borong, Vox NTT-Mantan Bupati Manggarai dua periode, Christian Rotok mempertanyakan keabsahan Surat Keputusan (SK) Nomor Khusus/1973 terkait tapal batas Matim dan Ngada.
Hal itu dinyatakan Rotok, bersama beberapa tokoh Manggarai lainnya saat melakukan pertemuan dengan Bupati Agas dan beberapa pejabat lingkup pemkab Matim.
Pertemuan itu berlangsung di ruangan Bupati Matim, Senin (21/05/2010).
Mereka datang untuk menanyakan dasar keputusan penyelesaian konflik perbatasan yang dilakukan oleh kedua bupati Matim dan Ngada bersama gubernur NTT di Kupang beberapa waktu lalu.
“Bagaimana tanda tangan gubernur sekarang dan tanda tangan bupati sekarang sah, sedangkan tanda tangan bupati Bota, Bupati Lega dan gubernur El Tari pada kesepakatan 1973 itu tidak sah, itukan menjadi pertanyaan besar kita,” ujar Rotok.
Dikatakannya, dokumen itu menjadi dasar pertimbangan dimekarnya wilayah Kabupaten Manggarai Timur (Matim) pada 2007 silam.
“Berawal dari situ dulukan kita ini, karena itu kita mekar ini (Matim) wilayah, supaya ada pendekatan pelayanan ke situ dan mereka memang lebih dekat ke Ngada, ini pertimbangan kita mekar dulu, bukan lalu ambil dengan wilayahnya,” ujarnya.
Diakui Rotok, saat menjabat sebagai Bupati Manggarai, ia membuka diri dengan Pemkab Ngada dan menunjukkan dokumen sejarah tentang perbatasan kedua wilayah itu.
“Kita tunjukkan dokumen kita dan mereka (Ngada) tidak pernah menunjukkan dokumen mereka kepada kita,” imbuhnya.
“Kita tidak pernah melarang orang Bajawa punya tanah di Manggarai Timur, itu tunduk pada hukum agraria, kalau yang ini tunduk pada hukum administrasi Negara yang ada pada Manggarai Timur,” sambung Rotok.
Sementara itu, Bupati Agas mengaku Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah melakukan survei di wilayah perbatasan antara Matim dan Ngada.
“Kita sudah presentasikan dokumen-dokumen di Jakarta, setelah presentasi itu mereka (Mendagri) datang tanpa sepengetahuan Ngada dan tanpa sepengetahuan Manggarai Timur untuk survei,” ujar Bupati Agas.
Bupati Agas menuturkan, Mendagri sudah membuat peta dalam istilah Manggarai Leko Wase. Saat survei itu kata dia, ada klaim Ngada di wilayah Wae Rasan, terutama di utara sekitar 20 km dari batas yang sesungguhnya.
“Terus kita mengacu pada dokumen yang kita usulkan, karena perintah Undang-undang (UU) pada pemekaran kabupaten waktu itu, batas ditetapkan enam tahun setelah pemekaran,” ujarnya.
“Sekarang sudah tahun 2019, mestinya sudah selesai, sehingga mereka (Kemendagri) datang kembali menawarkan solusi dengan fakta-fakta yang ada di lapangan,” jelasnya.
Dikatakannya, setelah diteliti fakta -fakta di lapangan bahwa di Wae Rasan bahkan sampai pada rumah yang paling ujung, menurut Kemendagri hampir 99 persen masyarakat di situ ber KTP Ngada.
“Itulah pertimbangan Mendagri kemarin, daripada urusan administrasi di gonta-ganti. Keputusan inikan nanti diperkuatkan dengan putusan terakhir dari Mendagri,” imbuhnya.
Lanjut Agas, setelah pihaknya melihat peta dan diperbaiki dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan, maka dirinya setuju untuk melakukan penandatanganan setelah mendapat dukungan dari tokoh masyarakat.
“Hasil kesepakatan inilah nanti besok yang menjadi dasar Mendagri untuk mentapkan peraturan Kemendagri,” ujarnya.
Dari hasil peta itu menyatakan ada wilayah Matim bagian utara dan selatan sudah dimiliki oleh Ngada.
Keputusan 1973
Adapun keputusan tahun 1973 yang dituangkan dalam SK No Khusus/1973 dan ditandatangani oleh Bupati Manggarai, Frans Sales Lega dan Bupati Ngada Jan Jos Botha dan diserahkan kepada Gubernur NTT, Ketua DPRD NTT, Muspida Provinsi NTT, Ketua DPRD Manggarai, Ketua DPRD Ngada, Muspida Manggarai dan Ngada, para camat sekabupaten Ngada dan Manggarai, serta kepala desa di wilayah perbatasan.
Poin kesepakatan dalam keputusan tersebut di antaranya, pertama, batas wilayah Ngada dan Manggarai tetap atau tidak berubah sesuai peta historis topografis tahun 1916 dan 1918.
Kedua, Pemerintah Manggarai dan Ngada menegakkan kembali tonggak pilar perbatasan yang tidak jelas di tempat-tempat yang perlu sepanjang garis perbatasan dari utara ke selatan.
Mulai dari Labuan Kelambu/Nanga Waru, Wae Baka, Hulu Wae Baka, Golo Lentung, Golo Tana Peta, Golo Mogel, Golo Bokakarusa, Golo Watu Weri, Golo Tagang, Golo Mara Kolong, Golo Poso Naur. Hulu Alo Deda, Hulu Alo Mola Timur, Hulu Wae Goong menuju Wae Mapar ke pertemuan Wae Mokel hingga muara teluk Aimere.
Ketiga, apabila terdapat rakyat dari masing-masing kabupaten ingin berdomisili di salah satu daerah kabupaten, maka rakyat tersebut harus bersedia menjadi rakyat dari daerah kabupaten yang bersangkutan. Selanjutnya jika ada rakyat yang berdomisili di salah satu kabupaten ingin menggarap tanah di daerah kabupaten lain, maka rakyat yang bersangkutan wajib membayar ipeda kepada kabupaten di mana yang bersangkutan menggarap tanah.
Keempat, lumbung desa yang dibangun warga Desa Sambi Nasi, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada di Buntal, Desa Golo Lijun, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai yang telah dirusaki warga Golo Lijun diganti Pemerintah Kabupaten Manggarai sebesar Rp 100.000,00.
Kelima, penegasan kepada rakyat Sambi Nasi dan Golo Lijun dilaksanakan oleh kedua pemerintah.
Keenam, penertiban terhadap pelaksanaan pernyataan penegasan dilaksanakan oleh pemerintah daerah masing-masing.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba