Ruteng, Vox NTT- Rumahnya berdindingkan pelupuh bambu. Dinding rumah itu pun banyak lubang karena sudah keropos.
Atapnya memang terbuat dari sink, namun sudah berkarat. Warnanya pun berubah menjadi hitam kecoklatan.
Lantainya memang dari semen. Bagian ini saja yang dianggap aman baginya.
Selama bertahun-tahun, di rumah “reot” ini sudah menjadi saksi bisu bagaimana penderitaan terus merongrong Marta Dini (66) dan keluarganya.
Marta Dini adalah seorang janda asal Bongko, Dusun Lempis, Desa Langkas, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT.
Rumah Tidak Layak Huni (RLTH) ini dibangun semasa suaminya Aleksius Noe masih hidup pada tahun 2002 lalu.
Sejak suami tercinta meninggal pada tahun 2009 lalu, wanita paruh baya itu hidup dengan serba kekurangan. Penderitaan akibat kemiskinan seakan terus menghantamnya tanpa ampun.
Rumah mereka pun tak lagi terawat. Rehabilitasi rumah bukan lagi konsentrasinya. Marta hanya berpikir bagaimana menghidupi ketiga buah hati hasil pernikahannya dengan Aleksius (Alm.).
Marta mengakui, sebelumnya Pemerintah Desa Langkas sempat menawarkan bantuan untuk memperbaiki rumahnya.
Sayangnya, anggaran dari Dana Desa itu hanya bersifat stimulus dan tidak untuk membangun satu rumah yang utuh.
Karena tidak memiliki modal, terpaksa Marta harus menolak tawaran itu sekalipun hatinya mendambakan untuk tinggal di rumah yang lebih bagus.
Kepala Desa Langkas, Rofinus Tan membenarkan bahwa pihaknya pernah menawarkan bantuan rumah kepada Marta.
Namun penawaran itu ditolaknya dengan alasan tidak memiliki modal tambahan untuk membangun rumah.
Sebab, pada tahun 2018 bantuan rumah di Desa Langkas hanya menganggarkan Rp 11.000.000 per unit.
Karena ditolak Marta, kata Rofinus, Pemerintah Desa Langkas pun mengalihkan bantuan rumah itu kepada orang lain.
“Hanya itu anggaran untuk setiap unit rumah, kalau masyarakat tidak siap ya kami alihkan kepada orang lain. Kami juga tidak mau melebihi anggaran yang sudah ditetapkan,” jelas Kades Rofinus kepada VoxNtt.com saat ditemui di rumahnya, Rabu (22/05/2019) malam.
Ia juga mangaku belum memberikan bantuan lain kepada Marta dan keluarganya.
Jadi Tulang Punggung Keluarga
Kepergian sang suami, membuat keluarga Marta menjadi pincang. Ia tak lagi hanya sebagai ibu rumah tangga.
Demi keberlangsungan ekonomi keluarga, Marta beralih posisi menjadi tulang punggung utama menggantikan sang suami. Ia harus menjadi penanggungjawab untuk ketiga orang anaknya.
Melihat penderitaan Marta yang seakan tanpa ampun, ada kelurga mereka yang iba. Keluarga itu pun meminta anak sulung Marta untuk tinggal bersama mereka sejak SMP. Marta pun menyetujui penawaran itu karena dianggap membantu meringankan bebannya.
Kini anak sulungnya itu sudah selesai sekolah di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan di Kecamatan Wae Ri’i. Marta hanya tinggal bersama kedua anaknya di rumah “reot” itu.
Sebelumnya, Marta hanya menjadi petani musiman yang bekerja di lahan milik orang lain. Ia hanya diberi upah Rp 30.000 per hari. Itu pun tidak setiap hari.
Dengan penghasilan itu, ia harus menafkahi kedua anaknya.
Kini usia Marta semakin tua. Pendengarannya sudah terganggu. Daya tahan tubuhnya semakin berkurang. Ia sering jatuh sakit. Sebab itu, ia memilih untuk berhenti bekerja menggarap lahan orang lain.
Kini Marta hanya bekerja di dalam rumah. Satu-satunya pekejaan yang bisa dilakukannya hanya menenun. Ia pun menafkahi anaknya dari hasil tenunan.
Diakuinya, satu bulan ia hanya bisa menyelesaikan satu kain tenun songket. Harga satu buah kain songket hanya senilai Rp 450.000. Namun dari hasil penjualan itu, Marta harus mengeluarkan kembali untuk membeli bahan tenunan sekitar Rp 250.000.
Marta mengaku, penghasilannya setiap bulan hanya sekitar Rp 200.000. Dengan penghasilan itu, ia harus menafkahi dan menyekolahkan anaknya.
Anak keduanya kini sudah selesai sekolah di salah satu sekolah menengah pertama di Kecamatan Cibal.
Marta mengaku tidak bisa lagi membiayai anak keduanya itu ke jenjang pendidikan SMA, karena penghasilannya sangat minim.
“Weli dea kat pait, eme cai daat hang muku kat ami. Apalagi tombo sekolah hitu bo ga (Biaya makan sehari-hari saja sangat susah, kadang hanya makan pisang. Apalagi kalau untuk biaya sekolah),” katanya dalam bahasa daerah Manggarai.
Namun nasib tidak baik dialami oleh anak bungsunya. Tidak seperti anak-anak sekampungnya yang kebutuhan sehari-harinya terpenuhi dan bisa bersekolah.
Anak bungsu Marta terpaksa harus berhenti sekolah, lantaran ekonomi keluarga yang tidak mendukung. Apalagi Marta kini semakin tua. Kulitnya sudah keriput. Penghasilannya pun semakin berkurang.
Dua tahun lalu, anak bungsu Marta sudah menyelesaikan Sekolah Dasar (SD). Kini ia hanya membatu sang ibu di rumah yang sudah tidak bersemangat lagi untuk bekerja.
Anak bungsu Marta mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan dari sekolahnya. Sebab itu, ia memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya.
“Bo aku ngoeng sekolah kaka, tapi toe manga seng ga (Saya sebenarnya masih mau sekolah kakak, tapi karena tidak ada uang,” kata anak itu dengan raut wajah sedih.
Untuk diketahui, Marta mendapatkan bantuan dari pemerintah melalui Program Keluarga Harapan. Awalnya, ia hanya menerima Rp 350.000, tapi terakhir mereka menerima Rp 900.000.
Namun, kata Marta, jumlahnya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Bantuan dari Pemerintah Desa pun tak pernah mereka peroleh.
Marta hanya berharap agar mendapat bantuan pendidikan untuk anaknya. Ia berharap pula agar pemerintah memberikan bantuan rumah layak huni untuk memperbaiki tempat tinggalnya.
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba
https://www.youtube.com/watch?v=m07YkjJFceU