Borong, Vox NTT-Hari itu, Senin, 27 Mei 2019, fajar mulai meredup. Matahari bergeser menuju pukul 11.00 Wita. Cuaca tampak cerah. Udara sejuk dan dingin menyelimuti seisi desa itu. Nama desa itu, Gurung Liwut, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Flores NTT.
Desa indah nan hijau. Berada di bagian utara dari kota Borong. Topografinya berbukit dan berlembah. Sungguh eksotis dan luar biasa bila menatap ibu kota Matim dari tempat itu. Sesekali mampirlah ke Desa Gurung Liwut.
Di desa itu ada tempat bernama Wae Kaco. Tak tahu pasti alasan di balik pemberian nama itu. Namun, tempat itu ada sumber mata air yang tak pernah kering. Menghalau setiap musim kemarau. Tak pernah lekang oleh zaman.
Saat berada di tempat itu, gemercik air di antara bebatuan begitu terasa. Sunyi dan sepih.
Namun, bagi Kornelis Ranggus (51), Wae Kaco adalah berkah.Tempat mereka mengadu. Mendulang rupiah. Tumpuan hidup. Demi menafkai keluarga dan pendidikan anak-anaknya.
Di kala malam siulan burung jadi penghibur. Lampu pelita jadi andalan.
Sudah 3 Tahun
Saat bersua dengan VoxNtt.com, Kornelis tengah duduk di rumahnya seorang diri. Rumahnya berada di atas bukit yang di kelilingi bebatuan. Jaraknya, sekitar 10 meter dari jalan raya dengan ukuran 4×5 meter.
Kala itu, istri tercinta Serina Nanur sedang pergi mengetam padi milik keluarganya. Sedangkan ketiga buah hati sedang berada di sekolah. Tepat di samping rumah Kornelis ada air tengah mengalir.
“Air ini adalah rezeki apalagi berada di tanah milik saya sendiri,” ujarnya.
Kornelis merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ketiga saudaranya sedang merantau di negeri orang. Awalnya ia dan keluarganya tinggal di Kampung Rehes yang letaknya tak jauh dari Wae Kaco. Namun, karena ada “sesuatu” mereka memilih tinggal di Wae Kaco. Di tempat ini ia mengabdi sudah 3 tahun lamanya.
“Awalnya saya bingung mendapatkan uang dari air ini, tetapi karena lihat oto dan motor cuci di sini saya pikir bagaimana kakau air ini saya jual. Akhirnya saya beli selang. Untuk bisa alir dari atas mata air. Setelah itu saya jual dengan sopir yang datang beli air,” kisahnya.
Usahanya pun tak sia-sia. Keberuntungan berada di pihaknya. Ia kian dikenal. Tak heran, namanya tak begitu asing bagi para sopir pengangkut air di Borong.
“Kalau sopir datang biasanya satu tangki 1000 liter saya jual Rp 10.000,” ujarnya.
Penghasilan Kornelis mencapai Rp 500.000 setiap hari. Namun lambat laun penghasilannya kian berkurang. Kini setiap hari ia hanya mampu Rp 50.000 sampai Rp 60.000.
Tetapi, geliat dan semangatnya tak pernah pudar. Ia optimistis usahanya akan segera pulih.
“Saya yakin pasti bisa bangkit selama itu punya niat yang kuat dan melibatkan Tuhan dari setiap proses hidup ini,” tukasnya.
Membiayai Pendidikan hingga Kuliah
Bapak Amel adalah sapaan akrab bagi Kornelis. Pria kelahiran 1968 itu dikaruniai lima orang anak. Satu di antaranya sudah menyelesaikan pendidikan tinggi di salah satu universitas yang berada di Pulau Jawa.
“Bulan April lalu dia wisuda, satunya masuk kuliah tahun ini, satunya masuk SMA, dan ada yang SMP dan SD,” ucapnya.
Kornelis tak peduli betapa susahnya membiayai pendidikan anak-anaknya. Ia tak pernah mendapat bantuan pemerintah. Ia optimistis ke empat buah hatinya yang tengah mengenyam pendidikan bisa sukses. Kornelis belum kalah, tetapi ia adalah pemenang.
“Saya memang susah tak pernah dapat bantuan tetapi saya harus tetap bekerja untuk pendidikan anak-anak saya,” imbuhnya.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba