Oleh: Petrus Natom
Konflik sosial yang terjadi Kamis 06 Juni 2019 hingga merenggut nyawa Ramos Horta Soares (19), ada rentetan peristiwa saling serang yang terjadi di kompleks pengungsian Timor Timur, Naibonat, Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang, NTT.
Kejadian saling serang, bukan baru kali ini terjadi. Kejadian serupa, hampir setiap tahun terjadi. Membakar rumah, kendaraan hingga saling serang antar kelompok dalam jumlah yang sangat besar.
Tak hanya korban harta benda, hampir setiap konflik terjadi, pasti menelan korban jiwa hingga luka fisik yang menyebabkan cacat mental hingga fisik berkepanjangan. Setiap konflik terjadi, ada dua nama organisasi masyarakat yang terus didengungkan sebagai cikal bakal konflik akibat dendam massa lalu.
Satu sisi, perguruan silat Persaudaran Setia Hati Terate (PSHT) disebut selalu berkonflik dengan perguruan silat lain yakni Ikatan Kera Sakti (IKS).
Sisi lain, ketika konflik terjadi hingga jatuh korban jiwa, publik Nusa Tenggara Timur, selalu menyebut warga eks Pengungsian Timor-Timur adalah dalang dan pengganggu kenyamanan masyarakat.
Cuitan sumpah serapahpun selau menghiasi dinding sosial media. Benarkah konflik sosial yang terus dilakukan oleh Pengungsi Timor-Timur, atas dasar dendam yang berkecamuk sejak lama atau sejenis unjuk rasa mencari keadilan atas Perbedaan kultural antara warga Timor Timur sehingga sulitnya mendapatkan akses atas tanah.
Selain itu, komposisi tanah di wilayah Kabupaten Kupang semakin mahal bersamaan dengan pengembangan kota dan perdagangan, serta daerah penyuplai kebutuhan masyarakat Kota Kupang yang kian mahal.
Kondisi inilah yang memungkinkan masyarakat sulit mengakses tanah, dan karena itu mereka tetap tinggal di camp terminal Noelbaki dan camp Balai Benih Induk (BBI).
Kemiskinan yang mendera pengungsi, ketiadaan tanah sebagai hak milik, rata-rata pengungsi bekerja sebagai buruh tani, telah menyebabkan banyak anak pengungsi putus sekolah (drop out), hingga jarang mengenyam pendidikan tinggi. Anak laki-laki pengungsi menjadi buruh migran. Para perempuan pengungsi bekerja serabutan.
Masa depan mereka tampak suram. Ratusan anak-anak usia sekolah yang lahir di camp atau di Timor Barat, tidak mendapatkan perhatian yang serius dari negara. Mereka seperti seperti dianak-tirikan dalam proses pembangunan.
Pada saat yang demikian, publik kadang hanya melihat peristiwa yang muncul di permukaan, sementara akar soal yang terus mendera mereka diabaikan dalam diskursus publik terutama di NTT.
Sejarah Pengungsian Timor Timur
Dalam sebuah jurnal tentang Pendidikan Kritis dan Aksi Massa Pengungsi Timor Timur di Timor Barat oleh Didimus Dedi Dhosa Tahun 2018, menyebut sejak tahun 1999, ribuan warga Timor Timur berdatangan ke Timor Barat-Nusa Tenggara Timur.
Kedatangan mereka disebabkan oleh opsi yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia pada era Presiden B.J Habibie. Opsi dimaksud adalah referendum pro-integrasi dan atau prokemerdekaan. Dikawal oleh pasukan perdamaian Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), yang disepakati oleh pemerintah Indonesia dan Portugal pada tahun 1999, momen historis ini pada akhirnya dimenangkan oleh kelompok prokemerdekaan.
Konsekuensi kekalahan kubu pro-integrasi memaksa mereka untuk keluar dari Timor Timur. Kedatangan pengungsi ke Timor diinisiasi oleh kehendak bebas (political will) atau pilihan pribadi sebagai bentuk nasionalisme yang mumpuni.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa militer Indonesia memaksa mereka untuk meninggalkan Timor Timur dan dievakuasi ke Timor Barat. Hal ini berarti bahwa terdapat indikasi kekerasan, diskriminasi, pembunuhan, dan pembakaran rumah warga sipil secara besar-besaran yang menyebabkan mereka berdatangan ke Timor Barat.
Rintih Resah Ribuan Warga Eks Tim-Tim di Kantor Gubernur NTT
Para pengungsi dievakuasi melalui tiga jalur yang berbeda. Jalur pertama adalah jalur udara. Jalur ini dilalui oleh masyarakat Timor Timur sektor timur dan sebagian sektor tengah. Proses evakuasi ini mendarat di bandara El Tari-Kupang.
Jalur kedua adalah jalur laut. Jalur laut ini dipakai oleh masyarakat sektor tengah bersama sektor timur, dan berlabuh di Kupang.
Jalur ketiga adalah jalur darat. Masyarakat sektor barat dan sebagian sektor tengah menggunakan jalur darat untuk berpergian ke Timor Barat (Lado 2014; Dhosa 2016).
Perbedaan proses evakuasi ini berdampak pada prospek kehidupan para pengungsi di kemudian hari. Pengungsi yang tinggal di Kabupaten Belu-Timor Barat, pada umumnya lebih mudah beradaptasi dengan warga lokal. Pengungsi lebih mudah memiliki akses atas tanah. Tanah itu dipakai untuk membangun rumah dan dijadikan kebun. Bahkan, pengungsi memiliki hak atas tanah.
Kemudahan-kemudahan seperti ini disebabkan paling utama oleh kesamaan sejarah, sosiokultural, dan tradisi antara warga Timor Timur dan Timor Barat (Belu-Malaka) (Lado 2014).
Potret yang cukup berbeda justru dialami pengungsi yang dievakuasi menggunakan jalur udara dan laut. Mereka pada umumnya tinggal di Kabupaten Kupang. Hingga Juli 2018, masih banyak pengungsi yang tinggal di camp-camp.
Camp ini sangat krusial dan tidak layak huni. Satu camp dihuni kadang-kadang oleh dua hingga tiga kepala keluarga.
Sisi Lain dari Konflik Adalah politik
Dikutip dari riset Dedi Dhosa, 2018, aksi massa yang digelar oleh pengungsi Timor Timur di Oebelo tidak hanya untuk memperjuangkan hak atas tanah. Mereka juga mendesak pemerintah untuk memperhatikan hak-hak mereka sebagai warga negara yang telah meninggalkan segala-galanya demi Indonesia.
Kelompok ini didampingi oleh aliansi sekelompok kaum muda yang bergabung dalam liga mahasiswa nasional untuk demokrasi (LMND) bersama kelompok Pemuda Oebelo Peduli Rakyat Tertindas (Poprater).
Aksi massa pengungsi mendesak negara paling tidak dalam dua hal yakni pemasangan kabel listrik hingga aliran arus listrik dari rumah ke rumah para pengungsi, dan pembangunan jalan raya beserta selokan sepanjang perumahan pengungsi.
Keberhasilan aksi ini tidak semata-mata produk political will negara terhadap mereka, tetapi juga dianggap sebagai produk tekanan massa yang terus menyoroti kewajiban negara untuk menyejahterakan pengungsi Timor Timur.
Aksi massa untuk menuntut hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia dipandang pula sebagai perlawanan mereka atas negara. Sebab, negara terkesan oportunistik berhadapan dengan para pengungsi.
Pada saat menggelar pesta demokrasi, warga pengungsi diberikan kartu pemilihan. Para elite politik lokal dan nasional mendatangi rumah-rumah pengungsi guna meminta dukungan.
Kata ‘pengungsi’ dan warga Timor Timur’ digunakan secara bergantian dalam tulisan ini, dengan pertimbangan bahwa meski secara de iure mereka ditetapkan sebagai warga negara Indonesia melalui pemberian status kewarganegaraan penuh (full citizenship) sekitar tahun 2004, akan tetapi de facto, nasib mereka tidak lebih dari pengungsi.
Ketika secara de iure hak mereka sebagai warga Negara Indonesia sudah diberikan oleh Negara, maka, secara sadar kita tidak boleh lagi menyebut merek warga Eks Timor-Timur, melainkan sebagai pengungsi.
Meski sudah menjadi warga Negara Indonesia, apakah mesti berkonflik agar hak-hak mereka sebagai warga Negara diperhatikan?
Sumber : Ekonomi Politik Redistribusi Tanah, Dinamika Kelas Dan Perjuangan Pengungsi Timor Timur Di Timor Barat Indonesia , Didimus Dedi Dhosa & Paulus AKL Ratumakin Program Studi Ilmu Administrasi Negara-FISIP Unika Widya Mandira, Kupang-NTT.
Pendidikan Kritis dan Aksi Massa Pengungsi Timor Timur di Timor Barat Didimus Dedi Dhosa FISIP Unika Widya Mandira, Kupang-NTT, tahun 2018