Kupang, Vox NTT-Andreas Agas, Bupati Manggarai Timur kembali mendapat sorotan terkait polemik perbatasan Manggarai Timur-Ngada.
Agas dinilai lemah lantaran hasil kesepakatan yang dimediasi Gubernur NTT beberapa waktu lalu, merugikan masyarakat Manggarai Timur.
“Masalah batas wilayah Manggarai Timur-Ngada yang ramai sekarang ini menunjukan bahwa Ande Agas itu bupati paling lemah di NTT. Dia seakan-akan tak bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankan perbatasan wilayah Matim,” kata pengamat politik, Ferdy Hasiman, Sabtu (22/06/2019).
Menurut Ferdy, faktor kelemahan Bupati Agas disebabkan karena tidak memiliki kemampuan lobi politik yang baik dengan Gubernur dan pemerintah pusat.
Selain itu, lanjut Ferdy, Bupati Agas tidak memahami sejarah lahan di daerah perbatasan dan tak mampu memahami landasan antropologis dan budaya soal tanah bagi warga Manggarai Timur.
“Tanah itu sesuatu yang melekat dan dekat dengan manusia. Menginjak tanah sama dengan menginjak harga diri. Budaya orang manggarai timur juga sangat dekat dengan tanah, seperti Rahim ibu yang mengandung,” kata Ferdy.
Karena Bupati Agas tak memahami sejarah, tak memiliki pandangan holistic tentang tanah dan budaya bagi orang Matim, lanjut Ferdy, makanya Bupati tak mampu berkomunikasi dengan baik dengan gubernur dan pemerintah pusat.
Agas juga dinilai tak memiliki niat untuk berkomunikasi dari hati ke hati dengan pemerintah Ngada, bagiamana solusi terbaik terkait masalah lahan di perbatasan.
“Yang ada dia ikut logika pemerintah Provinsi. Menyerahkan lahan itu ke pemerintah Ngada dengan alasan, rakyat akan mudah mendapat akses dalam pembangunan dan ekonomi. Itu kan logika sangat deterministic, logika ekonomi dan membenarkan pemimpin-pemimpin di Matim tidak memiliki niat politik mengurus rakyat termasuk di daerah perbatasan,” tegas Ferdy.
Menurutnya, tugas pemerintah dan bupati seharusnya melindungi rakyat, termasuk melindungi tanah warga yang sedang bersengketa. Urusan lahan di daerah perbatasan juga bukan soal urusan aksesibilitas, tetapi urusan harga diri, sejarah, dan martabat orang Matim yang melekat dengan tanah.
Masalah wilayah perbatasan Matim-Ngada juga menunjukan bahwa Ande Agas tidak memiliki solusi yang brilian dan cerdas.
“Rakyat Matim memilih Agas sebagai bupati karena percaya, beliau bisa menyelesaikan dan memiliki solusi terhadap masalah ekonomi, politik dan budaya orang Matim. Namun, kenyataannya Agas tak memiliki solusi, banyak orang-orangnya ikut mendantangani kesepakatan penyerahan lahan ke Ngada. Bupati Agas tak boleh membiarkan warga mencari sendiri solusi untuk mengurus masalah tapal batas,” kata Ferdy.
Menurut Ferdy, idealnya jika bupati tidak memiliki solusi, dia harus menyerahkan kepada mekanisme demokrasi. Namun, itu mengandaikan bupati Agas harus menggalang kekuatan politik dan melakukan konsolidasi politik internal di Matim. Berbicara dengan DPRD, tokoh-tokoh masyarakat, mendengar masukan masyarakat perbatasan, terkait lahan perbatasan.
Namun kata Ferdy, persoalannya Agas tidak mahir melakukan konsolidasi politik. Komunikasi politik dengan DPRD dan masyarakat Matim terputus yang menyebabkan dia mengambil keputusan sendiri. (VoN)