Editorial, Vox NTT-Di tengah semarak penyambutan Sopia, minuman keras lokal asal NTT yang resmi diluncurkan 18 Juni 2019 lalu, fakta miris akibat konsumsi miras masih terus bergentayangan.
Terakhir kematian akibat miras jenis sopi merenggut nyawa Leonardus Tari (40), pria asal Sabu yang tewas di Nefofatu, Dusun IV, Desa Penfui Timur, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Senin (24/06/2019).
Di TTU pada tahun 2018, Kapolres AKBP Rishian Krisna Budhiaswanto mengungkapkan, 60 persen kecelakaan lalu lintas di daerah itu terjadi akibat pengaruh minuman keras.
Di Flores Timur selama Natal dan Tahun Baru 2018, terdapat 7 kasus kekerasan yang dipicu oleh minum keras (Miras).
Dari 7 kasus kekerasan ini, 6 diantaranya adalah kasus penganiayaan dan 1 kasus pengerusakan barang yang dilakukan secara massal.
Pada tahun 2017, Kepolisian Daerah NTT mengungkap sejumlah kecelakaan lalu lintas disebabkan pengaruh minuman keras.
Miras juga tak hanya menuai soal di masyarakat kelas bawah. Mahasiswa yang merupakan kelompok terpelajar kerap berulah mulai dari perkelahian hingga bentrokan berdarah.
Kasus yang menimpa Heri Lamawuran, mahasiswa asal Adonara menjadi fakta sejarah yang sulit dilupakan. Heri tewas dalam perkelahian saat acara wisuda di RT 13/ RW 03 kelurahan Lasiana, Kota Kupang tahun 2016 lalu. Setelah diusut, ternyata penyebab dari tragedi ini ialah pesta miras.
Berbagai fakta ini adalah secuil kisah kematian akibat miras. Kasus lain yang tak sempat direkam media sudah menjadi bahan perbincangan klasik di NTT.
Namun jika ditelisik lebih jauh, pantaskah kita menyalahkan miras? Tentu kurang arif. Sebab, akar persoalan yang sesungguhnya ialah kebodohan akibat tak pandai menggunakan akal budi.
Miras hanyalah barang mati yang dampaknya tergantung manusia pereguknya.
Miras akan menghasilkan inspirasi perubahaan jika direguk oleh manusia bijaksana dan sebaliknya melahirkan musibah jika direguk orang bodoh dan sesat pikir.
Maka, persoalan sesungguhnya ialah bagaimana melahirkan manusia-manusia NTT yang cerdas dan bijaksana. Itulah langkah pertama dan paling utama sebelum kita larut dalam pro-kontra legalisasi miras.
Gubernur NTT, Viktor Laiskodat mestinya berpikir dari titik ini sebelum mewacanakan dan meluncurkan miras lokal. Gubernur harusnya menyelesaikan dulu masalah kebodohan yang terus mencengkram NTT dari tahun ke tahun.
Pada akhirnya pembangunan manusia merupakan salah satu fundasi dasar menuju NTT Bangkit dan Sejahtera.
Tahun 2017, rata-rata IPM nasional adalah 70,81. Semantara Provinsi NTT masih berjarak 7,08 poin dari rata-rata nasional dengan IPM 63.73.
Angka ini menempatkan NTT pada urutan ketiga IPM terendah di Indonesia setelah Papua dan Papua Barat.
Tahun 2018, IPM NTT hanya merangkak sampai 64.39. Artinya kenaikannya sangat lamban meski mengalami peningkatan. Jika dibandingkan dengan daerah lain, kita masih terus bertengger di posisi terendah setelah Papua.
Bayangkan, jika semua miras lokal nanti dilegalkan dalam kondisi seperti ini, maka distribusi miras antar daerah semakin lancar yang artinya juga patologi sosial maupun angka kematian akibat ‘air kebodohan’ ini dipastikan bertambah.
Dalil ini tentu punya dasar. Hasil Riskesdas tahun 2018 menyatakan prevalensi konsumsi minuman beralkohol di Provinsi NTT berada di posisi kedua setelah Sulawesi utara dengan 16% sedangkan rata-rata nasional hanya 3,3%.
Ini adalah sebuah angka yang tinggi dan fatalnya lagi survei ini dilakukan sebelum miras dilegalkan di Provinsi NTT.
Jika tidak dipikirkan ulang atau dikemas dalam perda yang ketat, maka bukan tidak mungkin NTT akan mengalami kehancuran peradaban (destruction of civilization) dan Gubernur Viktor adalah orang yang paling bertanggung jawab.
Dengan demikian, peluncuran Sopia yang ditandai dengan tos atau minum bersama di UPT Laboratorium Riset Terpadu Undana 18 Juni 2019 lalu mesti dipikirkan ulang.
Mungkinkah Sopia tanpa kebijaksanaan berhasil membuat NTT bangkit dan sejahtera? Atau Apakah tos tersebut merayakan kebangkitan atau kematian NTT? Semoga!
Oleh: Irvan Kurniawan