Oleh: Rudi Haryatno
Pengajar SMP YPPK Seminari Petrus van Diepen, Sorong-Papua Barat
Salah satu isu sentral pasca pembacaan putusan MK perihal sengketa Pilpres dan penetapan Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024 oleh KPU adalah peralihan langkah partai koalisi Indonesia Adil Makmur, koalisi yang mendukung pasangan Prabowo-Sandi.
Prabowo dalam sebuah rapat internal koalisi Indonesia Adil Makmur, 28 Juni 2019 memberikan kebebasan kepada partai pendukungnya untuk memilih langkah politik otonom pasca Pilpres.
Latar belakang sikap Prabowo yang secara langsung membubarkan koalisi Indonesia Adil Makmur bisa jadi karena sikap dua partai pendukungnya, Demokrat dan PAN yang sudah mulai menunjukan isyarat untuk merapat ke koalisi Indonesia Kerja.
Sebagaimana diketahui publik, partai Demokrat dan PAN mulai menunjukan isyarat untuk merapat ke koalisi Indonesia Maju. Ingat! Hanya menunjukan isyarat. Bukan sudah bergabung dengan koalisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Sementar Gerindra dan PKS masih berada pada posisi untuk berdiri di luar koalisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Sebagai warga negara yang peduli terhadap nasib bangsa, penulis coba menanggapi sikap beberapa partai yang menunjukan isyarat masuk koalisi Indonesia Kerja.
Dalam politik tidak ada lawan abadi. Politik selalu menampilkan wajahnya yang dinamis dan relativistis. Bahwa, politik itu ruang universal, terbuka untuk berbagai kemungkinan.
Tentu, kita hormati sikap partai Demokrat dan PAN. Dan pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf, pasti bangga mendengar isu ini. Bahwa, dengan banyak koalisi, program pemerintah akan berjalan mulus. Yah, konsekuensinya pasti demikian. Semua program pemerintah pasti mulus di parlemen. Bisa jadi. Ini sebuah hipotesis.
Pada titik ini, sebelum masuk pada substansi tulisan, penulis sedikit menginterpretasi langkah partai Demokrat dan PAN. Partai Demokrat sudah sejak sebelum 17 April 2019 (Pemilu) sudah menunjukan isyarat merapat ke Jokowi-Ma’ruf.
Beberapa kader Demokrat di beberapa daerah yang secara terang-terangan mendukung Jokowi-Ma’ruf tidak diberi tindakan tegas oleh petingggi partai.
Selain itu, ada beberapa gelagat politik lain yang ditunjukan Demokrat. Seperti, adanya pertemuan internal antara Jokowi dengan Agus Harimurti Yudoyono (AHY).
Sementara PAN baru mulai menunjukan isyarat untuk bergabung dengan koalisi pemerintahan pasca Pilpres. Wakil Ketua Umum PAN, Bara Hasibuan sebagaimana diwartakan indopos.co.id, menyatakan bahwa ada kemungkinan, PAN bergabung dengan koalisi pemerintah.
Hemat penulis, sikap partai Demokrat dan PAN sangat pragmatis jika mereka benar-benar melepaskan mantol oposisi, berada di luar pemerintah Jokowi-Ma’ruf. Mereka tidak mempunyai prinsip partai yang dipegang secara konsisten. Akan ada kesan, bahwa kedua partai ini lebih suka cari kuasa.
Mereka mendekatkan diri pada pasangan terpilih, bukan tidak mungkin dengan asa mendapat jatah kuasa.
Membaca situsi ini, ada ketakutan bahwa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf tak akan ada oposisi. Mesti diingat, bahwa pemerintahan tanpa oposisi akan mudah digiring menunju otoritarianisme.
Pemerintah akan mudah berlaku otoriter, melahirkan dan mengeksekusi kebijakan semaunya, karena toh semua partai, semua penggerak mesin bangsa berada dalam lingkarannya. Pemerintahan tanpa oposisi akan berlaku manja, karena takan ada lagi pengkritik.
Penulis berasumsi, bahwa oposisi merupakan wajah niscaya dalam politik demokratis. Walaupun tidak diatur dalam UU atau konstitusi, tetapi pengambilan sikap oposisi penting dalam sebuah negara demokratis.
Eksistensi kelompok oposisi sangat urgen bagi pembangunan bangsa. Oposisi punya tugas mulia dalam pembangunan bangsa, yakni mengawal jalannya kekuasaan dan pemerintahan, dan menyaring semua kebijakan pemerintah melalui laku kritis. Tanpa oposisi, kekuasaan akan berjalan liar tanpa kendali.
Karena tak ada yang mengkritik, rakyat yang menjadi sentral pelayanan pemerintahan niscaya akan menjadi korban dari pergerakan politik tanpa pengawalan oposisi ini. Tetapi harus pada prinsip bahwa sikap kritis oposisi adalah sikap kritis yang membangun, bukan menghancurkan bangsa. Oposisi mesti bisa membedakan antara literasi dan aksi kritis, dengan literasi dan aksi kebencian.
Menempatkan diri sebagai oposisi juga bukan berarti tidak mengakui pemerintahan terpilih. Memilih untuk berada di luar pemerintahan itu sangat mulia. Sebab itu juga adalah salah satu pilihan yang tepat dan agung untuk membangun bangsa.
Semoga masyarakat tidak mengawal sendiri pemerintahan Jokowi. Rakyat perlu dipayungi kekuatan parpol oposisi untuk mengawal kekuasaan, sembari mengingatkan pemerintah akan janji kampanyenya. Tanpa adanya oposisi, rakyat akan mengawal sendiri pemerintahan. Kasihan kan?
Memang ada Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi jika semua partai masuk dalam kolaisi, eksistensi DPR sebagai perwakilan rakyat bukan tidak mungkin, akan lumpuh dan melempem. Ini bukan berarti tidak percaya pada DPR sebagai wakil rakyat, tetapi setidaknya ini hanya sebuah seruan antisipatif.
Karena itu, ada baiknya, Jokowi tidak menerima partai koalisi Indonesia Adil Makmur masuk dalam koalisi pemerintahannya. Ini bukan seruan untuk balas dendam. Tetapi ini adalah pekikan untuk membangun bangsa.