Ruteng, Vox NTT-Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di Kabupaten Manggarai terkesan masih sebatas program yang sulit diterapkan pada guru. Padahal, sekolah-sekolah sudah mendapat bantuan buku-buku literasi dan sejumlah guru pun telah mendapatkan pelatihan literasi.
Faktanya, pemahaman dan praktik literasi para guru belum memadai. Halaman-halaman sekolah, ruangan-ruangan kelas, dan fasilitas sekolah belum menunjukkan perubahan kebiasaan membaca.
Inilah yang dijumpai dosen-dosen FKIP UKI Santu Paulus Ruteng ketika melakukan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) di SDN Reo II dengan tema “Meningkatkan Kemampuan Guru SDN Reo II dalam Pengelolaan Pembelajaran Literasi Membaca Permulaan Sebagai Dasar GLS”.
Tim beranggotakan Florianus Dus Arifian, M.Pd., Yosef Firman Narut, S.Si.,M.Pd., Ambros Leonangung Edu, S.Fil.,M.Pd., Fabianus Hadiman Bosco, M.Pd., dan Vinsensius Sumardi, M.Pd. Kegiatan dilaksanakan pada 24-26 Juli 2019.
Dalam paparan materinya, Arifian mengangkat mispersepsi sebagian guru terkait membaca permulaan di sekolah dasar di Manggarai.
“Membaca dipahami guru sebagai membaca, menulis, dan berhitung belaka. Tidaklah heran, guru-guru menguras energi hanya untuk melatih anak-anak membaca. Konten bacaan direduksi secara literal, dimana para siswa memahami lurus-lurus fakta yang ada dalam teks,” ungkap Arifin.
Para guru, lanjut Arifian, pelu mengubah konsep tentang literasi membaca siswa pemula.
“Selama ini guru-guru melatih “belajar membaca”, seharusnya guru mendidik siswa “membaca untuk belajar”. Membaca sebenarnya adalah senjata untuk belajar. Membaca bukan untuk tahu membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga bernalar (berpikir saintifik),” tandasnya.
Maka dari itu, kata dia, belajar harus mengantar para siswa untuk berpikir tingkat tinggi (produktif), bukan lagi hanya mengingat atau menghafal (reproduktif). Membaca juga tidak hanya membuat anak didik bisa baca, melainkan juga suka membaca.
“Membaca yang baik berisi materi-materi kontekstual yang siswa lihat atau alami dalam kehidupan sehari-hari, tidak boleh mengambil contoh-contoh yang jauh pandangan siswa,” tegasnya.
Arifian, mengutip Thomkins dan Hoskisson, menjelaskan tiga fase perkembangan kemampuan membaca siswa pemula, yakni tahap muncul (emergent phase), tahap awal (early phase), dan tahap lancar (fluent phase).
Arifian kemudian memberikan pembekalan kepada para guru di SDN Reo II tentang strategi untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa pemula, seperti assisted reading (bersama-sama membaca buku), shared reading (berbagi cerita dari buku), dan language experience approach (menggunakan bahasa yang dipakai anak sehari-hari).
“Kelas dan sekolah juga harus kaya literasi dengan adanya buleting dinding, label nama-nama benda atau ruangan, papan informasi, brosur/katalog, kliping artikel, karya siswa, opportunities for writing, dramatic play centers, writing center, mailboxes, dan the author’s chair,” tambahnya.
Lebih lanjut, sejumlah dosen memberikan tambahan untuk memajukan budaya membaca permulaan di sekolah tersebut.
Yosef Narut menguraikan literasi sains di SD, Ambros Edu menambahkan literasi sosial, Vinsen Sumardi menjelaskan literasi dari perspektif manajemen atau tata kelola sekolah, dan Hadiman Bosco terfokus pada ranah psikologi agar para siswa termotivasi untuk membaca.
Presentasi dan diskusi berlangsung seru. Hadir dalam kegiatan PkM tersebut adalah kepala sekolah, guru-guru, dan pegawai SDN Reo II. Para peserta sangat antusias mengikuti kegiatan hingga selesai.
Kepala sekolah, Emitria Jehimut, S.Pd., dalam sambutannya, mengucapkan terima kasih atas program PkM yang dinilainya luar biasa dari FKIP UKI Santu Paulus Ruteng.
Literasi di sekolah dasar, lanjutnya, perlu mendapatkan pendampingan dari kampus secara terus-menerus. (VoN)