Borong, Vox NTT-Cinta itu menguatkan lagi menyatukan. Dengan cinta, dua insan yang berbeda dapat disatukan. Bila sudah satu dalam cinta, maka tak ada alasan untuk berpisah.
Caputo benar, “Satu-satunya ukuran mencintai adalah mencintai tanpa ukuran. Hakikat cinta adalah berusaha untuk mengatasi segala hakikat”. Demikianlah cinta itu, berwujud ketulusan.
Apa yang dilukiskan Caputo itu diwujudkan oleh sepasang suami istri (pasutri), Kaliktus Nua dan Emeriansana Tanggo, warga Kampung Papang, Desa Rana Masak, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Flores-NTT.
Kaliktus adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Sepekan lalu, ditemani Patrisius warga kampung itu, VoxNtt.com mengunjungi rumahnya.
Tiba di rumahnya, Kaliktus tengah terpulas. Tubuhnya diselimuti sehelai kain tipis berwarna cokelat. Kaki kananya diapiti dua balok besar. Lubang hanya dibuat untuk ukuran kaki lelaki 49 tahun itu.
Sudah sembilan tahun, Ia hanya hidup di dalam rumahnya yang sederhana, beralas dan berdinding papan, beratap sing, ditemani Sang Istri.
Dapurnya sempit namun tampak mulai reot. Cahaya matahari menembus atap yang sudah dipenuhi lubang-lubang kecil. Saat hujan tiba, airnya masuk lalu menggguyur seisi dapur.
“Pak dia sudah tidur dari tadi. Itu lama baru bangun. Memang tadi sudah bangun tetapi tidur lagi. Tapi tidak apa-apa tidak perlu takut, kita omong-omong di sini saja,” ujar Emerensiana, istri yang setia menemani Sang Suami yang mengalami gangguan jiwa itu, sembari memppersilahkan kami duduk.
Dikisahkan perempuan 40 tahun itu, Ia dan Sang Suami dikaruniai empat orang buah hati. Dua di antaranya tengah mengenyam pendidikan di Sekoah Menengah Kejuruan (SMK) Tiranusa Borong. Sedang dua lainnya masih Sekolah Dasar (SD).
Sejak membangun bahtera rumah tangga, Pasutri itu hidup bahagia. Sang Istri tidak pernah diperlakukan secara kasar, apalagi dipukul. Mereka hidup damai, canda tawa mengalir setiap hari dalam rumah mereka yang sederhana.
Demikian Emerensiana mengenang kehangatan cinta bersama Kaliktus. Kisah demi kisah perjalanannya, terpatri rapi di hati emerensiana.
Ia mengisahkan dengan penuh semangat walau berbalut air mata, tentang bagaimana ia dan suaminya saling berbagi kasih dan cinta yang tulus, sejak keduanya dipersatukan.
Mereka merasakan cinta yang begitu kuat. Mereka tidak pernah membaca atau mendengarkan apa arti cinta versi Caputo. Tetapi apa yang dilukiskan Caputo nyata dalam perbuatan mereka setiap hari.
Memang Emeriansa selalu bilang, Ia akan menyimpan semua kisah itu. Bila kelak Kaliktus mendapat mukjizat kesembuhan, Ia akan mengajak suaminya untuk mengenang kembali kisah perjalanan mereka.
Bila mukjizat itu tak ada, Ia berjanji akan mengisahkan kepada keempat buah hatinya, tentang bagaimana cinta di anatara keduanya, cinta seperti yang dikatakan Caputo, walau setiap hari harus menahan badai duka yang menerjang, namun suka cita berdiri kokoh merawat hati mereka.
Ia ingin mengajarkan kepada anak-anaknya tentang kekuatan cinta dan bagaimana cinta di antaranya bekerja.
2009, Kaliktus Mulai Berubah
Hari-hari yang penuh keceriahan di antara Emerensiana dan Kaliktus sejak keduanya menikah dan dikaruniai anak, berubah sekejap ketika Kaliktus pada tahun 2009.
Saat itu, Kaliktus bersikap sikap aneh kepada sang istri. pertengkaran demi pertengkaran mulai mewarnai hari-hari mereka.
Emerensiana yang setiap hari sebelumnya mendapatkan belaian penuh kasih sayang Sang Suami berubah menjadi kekerasan fisik. Sungguh sesuatu yang tidak pernah mereka alami sejak menikah.
“Sudah sering dan bahkan ulang-ulang dia pukul saya. Ia juga mulai keluar sembarang. Kadang pergi pagi pulang malam. Kalau pulang itu pasti bertengkar. Saya bingung, entah apa yang ada di pikiran dan hatinya waktu itu,” kisahnya.
Namun, Emerensiana tak tahu, apa gerangan yang membuat suaminya berubah sikap.
Ia mulai kaget, tatkala suatu waktu, Kaliktus lupa jika dia adalah istrinya. Sejak saat itu, dia mulai sadar kalau sesuatu telah terjadi pada diri suaminya. Hal itu membuat wanita kelahiran 1979 itu, shok, sedih.
Air matanya terus mengalir di kala Ia mengenangnya.
Namun ketabahannya teruji. Ia tak putus asa. Tak sedikit pun terbersit niat di hatinya untuk meninggalkan Kaliktus.
Perasaan cinta dan kasih yang tulus membuatnya menjadi tangguh. Sejak saat itu, Ia menjelma menjadi seorang Kepala Keluarga (KK) menggantikan peran Sang Suami. Cinta kepada Kaliktus pun, tetap sama. Seperti biasa.
“Perasaan terluka, iya. Namun, waktu itu saya berpikir bahwa, suami saya dalam keadaan sakit, maka apapun itu saya tetap merawatnya dan ini adalah tugas saya sebagai seorang istri,” tukasnya.
Sepatu Pastor Menghantar Kaliktus dalam Pasungan
Emerensiana mengisahkan, konon suaminya sangat rajin. Ia dikenal baik oleh masyarakat kampung itu. Namun, sejak Kaliktus sakit, gelagatnya justru kian parah. Ia mulai mengganggu kenyamanan warga sekitar.
Lebih parahnya ia mencuri sandal seorang Pater (Pastor Katolik) yang tengah bertugas di Kampung Pau.
Karena perbuatannya, orang-orang sekampungnya tidak menerima perbuatan Kaliktus. Ia lalu ditangkap, disekap dan akhirnya dipasungkan.
“Waktu itu kondisinya sangat parah dan tak ada pilihan. Ia harus ditangkap dan dipasung. Yang tangkap dan pasung dia itu, adalah salah satu anggota keluarga kami. Saya juga tidak bisa membiarkannya untuk pergi lagi,” tutur Emerensiana.
Kini, selain merawat suami. Emerensiana harus menjaga, menafkai dan membiayai kebutuhan hidup suami dan anak-anaknya.
Dia menerima penderitaan Kaliktus sebagai cobaan hidup yang harus dilaluinya. Ia juga harus bertahan dan menepis segala buly yang ia terima.
“Dia memang pernah sembuh tetapi saya tidak berani untuk buka pasung. Karena bisa saja kambuh lagi, saya takut. Bagaimana pun kondisinya saya tetap merawatnya. Inilah jalan hidup yang kami terima,” ucapnya.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Boni J