Ruteng, Vox NTT – Lembaga Justice, Peace, Integration of Creation (JPIC) Keuskupan Ruteng turut berkomentar terkait polemik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT.
Koordinator JPIC Keuskupan Ruteng Pastor Marten Jenarut mengatakan, persoalan tersebut sudah mulai berdampak dan meresahkan para petani hasil bumi.
Hal itu dinilai karena sikap Kepala Kantor Pajak (KPP) Pratama Ruteng yang dengan cara represif dan main kuasa untuk menegakkan aturan hukum pajak terhadap subyek pajak.
“Para pembeli hasil bumi di wilayah Ruteng dan sekitarnya mulai mengalami tekanan ketika kewajiban PPN 10% harus diambil dari total omset kotor yang tertera dalam rekening koran para pengusaha,” ujar Pastor Marten kepada VoxNtt.com melalui pesan WhatsApp, Minggu (04/08/2019).
Pastor yang juga sebagai public lawyer itu menambahkan, rekening koran tidak secara eksplisit bisa menunjukkan keuntungan (selisi harga beli dan harga jual) sebagai dasar pembebanan PPN.
Sebab, di dalam rekening koran juga terdapat pinjaman bank dan uang pribadi lainnya.
“Karena itu, kewajiban 10% PPN dari omset kotor adalah langkah yang tidak fair dan cenderung memiskinkan para pengusaha,” tegasnya.
Asas hukum pajak Indonesia, kata Pastor Marten, adalah self assesment, dimana pengusaha menghitung sendiri besaran pajak dari pendapatan atau keuntungan.
Sehingga selama ini para pengusaha hasil bumi hanya dibebani kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) dan tidak pernah diminta untuk membayar PPN.
Menurut Pastor Marten, KPP Pratama Ruteng tidak pernah melakukan peringatan kepada wajib pajak ketika PPN-nya tidak dibayar.
Dia menegaskan, agak mengejutkan secara tiba-tiba ketika KPP Pratama Ruteng dengan sedikit arogan memaksa wajib pajak tersebut membayar besaran PPN sejak tahun 2016.
Ia menilai KPP Pratama Ruteng lalai memberikan pendampingan dan pengawasan terhadap wajib pajak.
“Wajib pajak sebaiknya diajak secara persuasif untuk menyelesaikan persoalan pajak daripada dengan cara menekan dan menakut-nakuti,” ujarnya.
Dikatakan, masyarakat Manggarai sebagian besar adalah produsen hasil bumi. Dan, apabila hasil bumi tidak dapat terjual, maka akan mengganggu kehidupan ekonomi mikro.
Ketika kehidupan ekonomi sudah mulai terganggu, menurut Pastor Marten hal itu akan menyebabkan kemiskinan dan peristiwa sosial lainnya.
“Pertanyaan yang perlu dijawab oleh KPP Pratama Ruteng adalah apakah kebijakaan penarikan PPN 10% yang diambil dari total omset kotor yang terlihat dalam rekening koran, itu berlaku nasional?” tanya Pastor Marten.
“Kalau asosiasi pembeli hasil bumi bersikap tidak lagi membeli hasil bumi, maka risiko akan dialami masyarakat. Masyarakat akan mengalami kehidupan ekonomi yang sangat berat,” tambahnya lagi.
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba